Ekonomi

Wahyudi Anggoro : Finansial Literasi Untuk Masyarakat Panggungharjo (Bagian I)

pada

Kami bertiga seperti terbius dengan konsep finansial literasi, terlihat dari ekspresi dua temanku. Ini sesuatu yang baru yang diterapkan seorang pemimpin di masyarakatnya. Yang pasti, Wahyudi Anggoro menerapkan kebijakan untuk menyadarkan masyarakat akan manfaat finansial literasi berdasarkan data dan fakta. Bukan hanya ilusi. Bukan sekedar ‘truth claim’, istilah sekarang.

Iya, kita sedang membicarakan seorang lurah yang sedang menjadi primadona di Indonesia, Wahyudi Anggoro Hadi, Lurah Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul. Berdasar penuturan Anggoro, menurut survei, finansial literasi di Jakarta hanya 40%. Ini adalah yang tertinggi di Indonesia. Artinya apa? Maksudnya bagaimana?

Jika seseorang itu diberi uang lima puluh ribu, maka sehari akan habis. Diberi lima ratus ribu, sehari juga habis. Diberi uang lima juta, sehari juga akan habis. Bahkan bilapun diberi uang lima puluh juta, sehari tetap akan habis. Pendek kata, finansial literasi adalah bagaimana cara membelanjakan uang sesuai dengan hasil yang didapat. Sadar diri berapa yang didapat, lalu tepat dalam membelanjakan.

“Di masyarakat kita, setelah seminggu bekerja keras banting tulang, sabtu gajian, baru malam Minggu, itu uang sudah habis.”, tutur Anggoro.

Itu semua karena kercerdasan finansial yang rendah. Dan itu yang membuat masyarakat sangat sulit untuk maju. Dan ini, masih menurut Anggoro, biasanya dilakukan oleh masyarakat yang bukan pegawai negeri dan karyawan swasta. Rerata mereka yang tidak faham finansial literasi adalah buruh.

Kecerdasan finansial yang demikianlah yang mengakibatkan rendahnya tingkat pendidikan anak. Biaya kesehatan juga tidak ada. Kebutuhan keluarga untuk sehari-hari juga kacau. Bahkan, industri rumah tangga dan pengusaha muda sangat sulit berkembang jika tidak mempunyai finansial literasi. Usahanya sulit maju karena kecerdasan menghitung dan membelanjakan uangnya sangat rendah.

Terlebih para buruh.

Para buruh ini masih selalu berpikiran bahwa saat usia mereka sudah 60 tahun, mereka ini masih berpikiran akan masih bisa bekerja. Dan ini yang akan menjadi masalah nantinya. Rendahnya kesadaran akan finansial di hari tua ini yang menyebabkan kemiskinan menurun. Dari kakeknya menurun ke anaknya. Dari bapaknya menurun ke anaknya. Sampai generasi selanjutnya nanti. Bukan menurun dalam arti habis, tapi kemiskinan yang turun-temurun.

Untuk membahas hasil temuan dan cara Wahyudi Anggoro menangani cara berpikir masyarakat dengan finansial literasi yang rendah kita pending dulu. Sekarang saya bahas dulu kebijakan desa yang diterpakan Wahyudi Anggoro di Desa Panggungharjo.

Berdasar hasil penelitian para ahli dan sesuai dengan fakta, Anggoro menerapkan kebijakan arah pembangunan di Panggungharjo ke arah mindset berpikir. Bukan hanya pembangunan fisik/infrastruktur. Bersambung ke bagian II(JINTUNG IDJAM)

Sumber : Artikel tahun 2019 www.sabak.or.id

Tentang Fajar Budi Aji

Hanya seorang yang beranjak tua dan terus mencoba untuk lebih dewasa tanpa menghilangkan rasa kekanak-kanakannya. "Urip Iku Urup" dan "Rasah Wedi Dirasani Karena Hidup Banyak Rasa" Dua motto andalan inilah yang dijadikan pegangan dalam menjalani kehidupan sehari-harinya.

Baca Juga

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X