Buku

Toxic Relationship

Oleh

pada

Sering kita mendengar, dan kerap kali membaca tentang toxic relationship. Mulai dari anak-anak, remaja, orang tua bahkan lansia  berpotensi adanya toxic relationship. Baik disadari atau tidak disadari, disengaja atau tidak disengaja semua usia berpotensi menjumpai toxic relationship. Tetapi untuk kali ini, kami membatasi ruang lingkup khusus untuk remaja dalam tema relationship. Berikut sebuah kontemplasi pemikiran seorang remaja desa dalam memahami tema relationship pada era digitalisasi kali ini.

Memasuki usia remaja rasanya tidak lengkap kalau tidak tahu apa itu pacaran. Kegiatan saling mencintai –yang kadang klise—ini nyatanya justru terjadi pada masa remaja. Masa-masa romantis, melonkolis, atau bahkan tragis pada lika-liku perjalanan sebuah hubungan. Layaknya jalan yang tak selalu mulus; berlubang, rusak, penuh tambalan di mana-mana, hubungan bisa dianalogikan. Ada yang bisa melewatinya dengan penuh kesabaran dan suka cita namun ada yang sampai jatuh hingga terluka.

Mengapa seseorang ingin mempunyai hubungan? Well saya kira simpel jawabannya, karena manusia adalah makhluk sosial. Memenuhi kehidupan sehari-hari rasanya tidak mungkin jika harus bertahan pada kaki sendiri. Untuk itulah mau tidak mau, introvert atau extrovert, manusia tetap harus terkoneksi dengan orang lain. Orang-orang yang berada dalam hubungan sehat mereka akan bahagia, mengejar tujuan di dunia dengan damai sentosa. Sebaliknya, orang dalam hubungan yang ‘sakit’ bahkan untuk sekadar memejam pikirannya tidak bisa diam barang sebentar.

Hubungan beracun atau toxic relationship lumrah terjadi. Survei membuktikan setidaknya satu dari tiga perempuan atau satu dari empat laki-laki berada dalam hubungan yang toxic. Cambridge Dictionary mendefinisikan toxic relationship sebagai causing you a lot of harm and unhappiness over long period of time atau sesuatu yang menyebabkan kerugian dan ketidakbahagiaan dalam waktu yang lama. Lalu bagaimana hubungan toxic itu terbentuk?

Bagaimana Hubungan Toxic Terbentuk?

Dr. Lillian Glass, ahli psikologi dan komunikasi yang berbasis di California mengatakan bahwa toxic relationship secara konsisten tidak menyenangkan dan menguras tenaga orang yang terjebak di dalamnya. Toxic relationship bisa saja mengikat sehingga korban yang terjebak di dalamnya tidak menyadari bahwa mereka terjebak. Hubungan ini manipulatif, egosentris, penuh kebohongan, dan melelahkan.

Sebelum lebih jauh mengetahui apa itu toxic relationship maka terlebih dulu kita berangkat dari toxic person. Tipikal toxic person adalah mereka yang membawa energi negatif kepadamu baik secara pikiran maupun mental. Biasanya toxic person menghadapi trauma dan stresnya sendiri untuk itu mereka tidak menampilkan versi terbaiknya dan sering membuat kesal orang lain. Kata ‘toxic person’ digunakan untuk menggambarkan seseorang yang secara halus atau lahiriah sebagai manipulatif, egois, terlalu membutuhkan, atau suka mengendalikan. Toksisitas yang ada pada seseorang bukan berarti termasuk gangguan mental. Tetapi mungkin ada masalah mental mendasar yang menyebabkan seseorang bertindak dengan cara yang toxic, termasuk gangguan kepribadian.

Jenis-jenis toxic person pun beragam mulai dari mereka yang gemar manipulatif, tukang gosip, suka menghakimi, temperamental, the dementor, dan the positivity. Mengapa orang dengan tipe the positivity ini masuk ke dalam jenis toxic person? Karena bagi saya kepositifan yang terus-menerus diucapkan bahkan dilakukan akan membuat ilusi seolah-olah orang lain atau diri sendiri sudah mencapai titik ‘sempurna’ sehingga tidak perlu usaha untuk meningkatkan kapasitas dirinya sendiri.

Toxic relationship di sedikit dan banyak kasus biasanya diisi oleh salah satu atau bahkan lebih dari jenis orang-orang toxic yang telah saya paparkan di atas. Seperti pepatah ‘Cinta itu buta’, kamu mungkin tidak sadar sedang dalam hubungan tidak sehat karena perilaku pasangan yang demikian terus dinormalisasi. Ke-negatifan pasanganmu sudah menjadi makanan sehari-hari sehingga kamu merasa tidak perlu untuk mengevaluasinya lebih dalam. Mungkin pasanganmu memberi janji atau pengalaman yang belum pernah kamu rasakan sebelumnya hingga perilaku toxicnya seolah hanya angin lalu saja.

Di satu titik kamu mungkin lelah, butuh bahu untuk bersandar, lalu kamu ingat pasanganmu bukan tempat nyamanmu untuk bercerita. Kamu lantas membuat alibi “Mungkin dia capek”, atau saat dia mulai kasar pikiranmu mengatakan, “Nanti juga dia berubah”, dsb. Kamu terus menerus berkata “Tidak apa-apa aku baik-baik saja” padahal lukamu menganga begitu lebarnya. Itulah tanda awal kamu terjebak dalam hubungan tidak sehat ini. Pada lain kondisi kamu terikat secara emosional dengan pasanganmu seolah-olah ia memberimu masa depan padahal tangan, kaki, atau pipimu membiru, maka waspada. Mungkin kamu terjebak dalam stockholm syndrome.

Toxic Relationship dan Stockholm Syndrome

Hubungan antara perempuan dan laki-laki sepantasnya diwarnai dengan kata saling. Saling menghargai, saling mengerti, saling mengayomi, saling menjaga, saling menyayangi, dan masih banyak lagi kata ‘saling’. Mengapa? Kata ‘saling’ mengindikasikan bahwa suatu hubungan seharusnya dilakukan oleh dua orang alias masing-masing pihak harus ada effort untuk menjaga satu sama lain. Ketika hanya salah satunya yang berjuang sedangkan yang lain hanya menerima dipastikan kondisi mental akan kelelahan apalagi untuk hubungan jangka panjang. Hubungan tidak harmonis memicu pertengkaran yang tak jarang melibatkan kekerasa fisik di dalamnya. Normalnya saat seseorang disakiti maka akan timbul perasaan takut, menghindar, dan menjauh, namun beberapa justru bertahan.

Sebenarnya ada banyak teori mengenai mengapa seseorang masih bertahan ketika ia disakiti, contoh yang akan saya bahas adalah stockholm syndrome. Istilah ini berawal dari peristiwa perampokan tahun 1973 di sebuah bank daerah Stockholm, Swedia, oleh Jan-Erik Olsson dan Clark Olofsson. Mereka merampok dan menahan empat orang karyawan bank sebagai sandera di ruang penyimpanan uang selama enam hari. Dalam kasus ini para sandera justru membentuk ikatan emosional dengan pelaku perampokan, bahkan, ketika dibebaskan mereka menolak bersaksi di pengadilan pada gugatan aktor perampokan, Jan-Erik Olsson dan Clark Olofsson. Menariknya satu-satunya sandera perempuan menyatakan cintanya pada Jan-Erik Olsson hingga bertunangan.

Kisah tersebut ternyata sangat relate ditemukan dalam hubungan pacaran dimana pasangan  yang sering melakukan kekerasan, si korban justru bertahan dengan anggapan pasangannya akan berubah suatu saat nanti. Graham dkk., dengan penelitiannya berjudul ‘A Scale for Identifying Stockholm Syndrome Reactions in Young Dating Women: Factor Structure, Reliability, and Validity’ tahun 1995 mengatakan bahwa ternyata terdapat ikatan paradoks  sebagai cara untuk mengatasi kekerasan yang dialami dalam stockholm syndrome. Ikatan paradoks tersebut mengubah situasi negatif menjadi positif sehingga para korban melihat pelaku mempunyai sisi baik. Harapan inilah yang memproduksi ikatan tidak sehat dan menjadi alasan korban bertahan/menaruh hati pada pelaku/pasangan yang melakukan kekerasan tersebut.

Sama seperti gangguan kesehatan yang lainnya, stockholm syndrome juga memiliki gejala. Paling khas atau sering terjadi yakni munculnya perasaan positif terhadap pelaku kekerasan dan berkembangnya perasaan negatif pada mereka yang berusaha menyelamatkan atau membebaskan. Kabar baiknya orang dengan gejala stockholm syndrome bisa disembuhkan meski membutuhkan proses yang tidak instan. Lamanya terapi tergantung pada seberapa kuat bonding antara korban dengan pasangannya/pelaku, seberapa lama ia terjebak, dan apa jenis kekerasannya.

Untuk mengantisipasi toxic relationship berkembang menjadi stockholm syndrome ada baiknya melakukan langkah-langkah preventif guna menyelamatkan fisik dan mentalmu.

How to Deal With Toxic Relationship

Berada dalam hubungan yang toksik memang tidak menyenangkan. Pacaran yang seharusnya menyenangkan malah berujung malang karena satu atau dua pihak bermasalah. Keluar dari toxic relationship memerlukan proses dan waktu yang tidak sebentar tapi percayalah… meski ketika akan keluar kamu berdarah-darah, selepasnya akan bahagia untuk lebih mensyukuri nikmat hidup karena telah lepas dari bayang-bayangnya.

Ketika kamu memutuskan untuk keluar dari hubungan yang toksik beberapa cara ini mungkin dapat membantumu.

Build your own support system. Kelilingilah dirimu dengan orang-orang positif yang membangkitkan semangatmu. Orang-orang yang mendorongmu untuk meraih mimpi serta mereka yang selalu ada saat kau membutuhkannya.

Sederhanakan jadwal harianmu. Mempunyai jadwal harian memang memudahkan aktivitas sehari-hari hanya saja pada saat kamu sedang berusaha keluar dari hubungan yang toksik beberapa jadwal memerlukan penyesuaian. Tanyakan pada dirimu kegiatan mana yang sekiranya menambah value. Lakukan aktivitas fisik, ini membantumu untuk tetap bugar dan mengembalikan tenagamu yang terkuras karena hubunganmu. Ciptakanlah ruang bertumbuh untukmu sendiri. Mengenali diri sendiri dengan segala potensi yang ada akan dengan cepat menaikkan level dirimu. Kamu mempunyai banyak waktu untuk mengekplor dirimu lebih jauh daripada saat masih terjebak bersamanya dulu.

Dapatkan bantuan profesional atau terapis atau psikolog. Jangan takut meminta bantuan profesional apalagi menyangkut mentalmu. Sharing dengan teman saja tak cukup, pergilah ke profesional agar kamu mendapatkan penanganan yang tepat.

Kalau perlu, putuskan hubungan dengan mereka yang sudah menghancurkan hidupmu lalu hadapi mereka ketika kamu sudah siap nanti. Sementara ini hindari menyendiri, untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan. Prioritaskan dirimu dahulu di atas hubunganmu dengan orang lain.

Setting Boundaries. Tetapkan batasanmu kepada orang lain guna mencegah mereka kembali masuk dalam kehidupanmu. Berani mengatakan tidak pada hal-hal yang tidak kamu sukai serta berani untuk mengungkapkan perasaanmu tanpa takut terhakimi. Beri pengertian kepada mereka yang coba mengganggu dalam proses penyembuhanmu bahwa kamu punya batasan yang tidak sembarangan bisa dilanggar.

Closing statement

Dear, pembaca… maafkan dan hargai dirimu. Berilah apresiasi kepada diri sendiri karena sudah bertahan sejauh ini. Cobalah untuk berbuat baik kepada diri sendiri dengan tidak memaksakan sesuatu yang kamu tidak suka. Prioritaskan dirimu di atas orang lain. Tidak ada salahnya kok untuk bersikap tegas terutama kepada orang-orang yang memanfaatkan kelemahanmu.

Berada dalam hubungan toksik tidak lantas menyurutkan semangatmu untuk berkarya. Buktikan bahwa kamu mampu, bahwa kamu layak mendapat kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. It’s okay to take a rest, beristirahat bukan berarti berhenti, kan? Kamu punya banyak waktu untuk me time, hangout, memanjakan dirimu sendiri. Rencanakan masa depan dengan tanganmu. Tingkatkan value dalam dirimu, buat gerakan baru yang tak pernah disangka sebelumnya.

Pada intinya kamu memang harus keluar dan membuktikan bahwa ‘Aku bisa menjadi yang terbaik dengan versiku sendiri’. Bukan demi orang lain atau demi melihat mantan pasanganmu menyesal tapi demi dirimu sendiri (JNT).

Narasumber:

Shayra Alifyana Hafidz, Ketua PIK-R Padukuhan Krapyak Kulon, Kalurahan Panggungharjo

Tentang Junaedi

Penulis esai. Penulis Buku Cuitan Wong Ndeso. Bekerja sebagai staf PSID, yang membawahi PCL.

Baca Juga

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X