Event

Tata Nilai Poros Kebudayaan Desa Panggungharjo

Oleh

pada

Tata Nilai Poros Kebudayaan Desa: Situs Yoni Karanggede Dulu, Kini dan Nanti merupakan tajuk utama dalam Jagongan Selapanan, Sabtu, 18 November 2023 di Kampung Karanggede Padukuhan Panggungharjo Kapanewon Sewon Kabupaten Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pungki Indriatmoko, selaku Tim Perumus Masterplan Desa Panggungharjo mengatakan bahwa menyambung Panggung Krapyak sebagai Poros Kebudayaan Desa Panggungharjo, yang awalnya berhenti pada Panggung Krapyak oleh masyarakat Panggungharjo diteruskan menjadi 5 (lima) Titik Poros Kebudayaan Desa Panggungharjo.  Setelah melaui diskusi yang panjang dan kami sepakat bahwa pada tingkat perencanaan mengambil konsep 5 (lima) Titik Poros Kebudayaan Desa Panggungharjo, yang meliputi: pertama Panggung Krapyak, kedua Karangkitri, ketiga Kampoeng Mataraman, keempat Yoni Karanggede, dan kelima Balai Desa Panggungharjo sebagai kunci untuk menggerakkan empat komponen ini menjadi potensi yang harus dimanfaatkan dan menjadi bagian dari nilai yang akan dianut dalam pembangunan.

Jika dilihat 5 (lima) Titik Poros Kebudayaan Desa Panggungharjo berbentuk Gubug Penceng (Rasi Bintang Pari). Kemudian melangkah penentuan tata nilai, dari masing-masing 5 (lima) titik tersebut kondisi apa yang harus dipertahankan meliputi segi kebudayaan, hal-hal yang diperbolehkan dan hal-hal yang tidak diperbolehkan yang akhirnya menjadi basis desa mandiri budaya bisa terwujud.

Warsito, S. Sn., sebagai perwakilan dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta mengatakan bagaimana peninggalan zaman dahulu berupa Yoni Karanggede harus dilestarikan. Pada zaman dahulu sudah ada kehidupan dan sudah berketuhanan yaitu agama Hindu. Walaupun Situs Yoni Karanggede ini menjadi tanggung jawab Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah Daerah Istimewa tetapi perlu diperhatikan nantinya ada kesadaran bersama, kesepakatan bersama untuk memuliakan dalam melestarikan peninggalan zaman dahulu berupa Yoni Karanggede.

Albertus Sartono, S.S. sebagai Pemerhati Sejarah dan Budayawan mengatakan sesuai dengan temanya, Yoni Karanggede dahulu sudah jelas adalah peninggalan peradaban masa lalu kira-kira pada abad 9-10 M, pada zaman Mataram Kuno. Yoni Karanggede dulunya berdinding (ada pelindung) sepanjang 38 m itu dibuktikan dengan sebaran batuan yang ditemukan oleh warga sekitar kanan kiri situs. Kini sudah ditangani oleh BPCG DIY, paling tidak sudah dieskavasi dan dudukan sesuai dengan kedudukannya.

Ke depannya Panggungharjo ingin mengembangkan Desa Mandiri Budaya. Dengan konsep sedulur papat lima pancer yang berbentuk Gubug Penceng. Perlu dipertajam lagi terkait nama Gubug Penceng (Rasi Bintang Pari. Bisa digali lagi terkait dengan konteks kebudayaan penamaan konsep dalam bingkai Gubug Penceng. Karena nama Gubug Penceng memiliki istilah lain,seperti Crux (Bintang Salib Selatan),  Lintang Wulanjar Ngirim, Lintang Lumbung, Bintang Pari, Bintang Layang-layang, hal tersebut sebagai masukan kepada tim perumus agar penamaan bingkai tersebut memiliki makna yang semakin dalam.

Edi Padmo, sebagai Komunitas Resan Gunungkidul mengatakan bahwa Padukuhan Ngireng-ireng sangat erat kaitannya dengan sejarah Pasar Kawak Wonosari Argosari Gunungkidul, cikal bakal pasar terbesar di Gunungkidul. Tetapi sayangnya sejarahnya tidak ada bukti otentik karena ini hanya sejarah tutur (lisan). Ceritanya ia pernah sowan kepada Mbah Darsorejo, juru kunci Pasar Kawak Wonosari Argosari Gunungkidul terakhir.

Mbah Darsorejo bertutur bahwa pada zaman dahulu di Kalurahan Siraman ada seorang penguasa bernama Panji Ronggo Puspo Wilogo yang sedang mencari seorang isteri, sehingga menyamar menggembara pergi ke arah Barat sampai di Dusun Ngireng-ireng wilayah Bantul dengan bekerja (nyantrik) kepada Pak Bayan Ngireng-ireng. Di Dusun Ngireng-ireng terdapat seorang saudagar besar di Ngireng-ireng, namanya Saudagar Ngireng-ireng yang memiliki putri yang bernama Rara Ireng.

Singkat cerita Panji Ronggo Puspo Wilogo tertarik kepada Rara Ireng, kemudian bermaksud melamar Rara Ireng kepada saudagar Ngireng-ireng. Oleh saudagar Ngireng-ireng diberi syarat Rujak Uni, artinya semua hewan yang ada. Karena Panji Ronggo Puspo Wilogo adalah pimpinan Demang, maka syarat tersebut disanggupinya. Ia pulang ke Wonosari mengumpulkan semua syarat rujak uni, kembali ke Dusun Ngireng-ireng akhirnya menikahi Rara Ireng dan akhirnya Rara Ireng diboyong ke Wonosari. Sesampainya di Wonosari situasi kondisinya sangat sepi berbeda dengan di Dusun Ngireng-ireng. Hal tersebut Rara Ireng bersedih dan meminta kepada suaminya untuk dibuatkan pasar. Kemudian disanggupi oleh Ki Panji Ronggo Puspo Wilogo, sambil membangun pasar disertai dengan menanam pohon perindang berupa pohon Beringin. Sampai tanaman pohon Beringin yang keenam yang berasal dari Saudagar Ngireng-ireng, kondisi pasar belum ramai. Hingga sampai tanaman pohon Beringin yang ketujuh yang berasal dari Ki Ageng Sala menjadikan pasar semakin  ramai dan pohon Beringin tumbuh semakin besar. Hal tersebut membuat hati Rara Ireng menjadi senang. Maka tempat tersebut dinamakan Dusun Seneng Kalurahan Siraman Kapanewon Wonosari.

Kaitannya dengan Babat Alas Nangka Doyong asal muasal Kota Wonosari, Mbah Darso bertutur bahwa setelah Alas Nangka Doyong dibuka menjadi Kota Wonosari agar bisa menjadi ramai maka harus dibuatkan pasar. Oleh Tiyang Agung Kaping 7 Pasar Seneng dipindah ke Pasar Wonosari. Cikal bakal Pasar Wonosari adalah Pasar Seneng. Saat ini Pasar Seneng bernama Pasar Kawak Wonosari (JND).

Sumber:

  1. Pungki Indriatmoko, selaku Tim Perumus Masterplan Desa Panggungharjo
  2. Warsito, S. Sn., sebagai perwakilan dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta
  3. Albertus Sartono, S.S. sebagai Pemerhati Sejarah dan Budayawan
  4. Edi Padmo, sebagai Komunitas Resan Gunungkidul

Tentang Junaedi

Penulis esai. Penulis Buku Cuitan Wong Ndeso. Bekerja sebagai staf PSID, yang membawahi PCL.

Baca Juga

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X