Setiap hari, saya hanya bisa memandangi dari kejauhan, ada sebuah bangunan unik  ditengah-tengah sawah, tepatnya di selatan kawasan Balai Budaya Karang Kitri. Iseng-iseng saya menanyakan bangunan apa gerangan di tengah-tengah  sawah tersebut kepada salah seorang penjaga Balai Budaya Karang Kitri yang terletak diantara Padukuhan Sawit dan Padukuhan Kweni, Kalurahan Panggungharjo, Kapanewon Sewon, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sebagai warga Kalurahan  Panggungharjo yang baik, sudah  pernahkan saudara melihat bangunan tersebut?

Sekilas yang nampak dari kejauhan, ada sebuah bangunan bercat putih, dan di ujung bangunan tersebut tampak warna kuning keemasan. Serta diatas bangunan tersebut terdapat kitiran (baling-baling red) yang berwarna warni seperti warna pelangi. Dari informasi Tri, salah satu penjaga Balai Budaya Karang Kitri ternyata ditengah-tengah terdapat sumur pompa  juga,  dan dari sumur tersebut akan keluar airnya jika dipompa ke atas dan ke bawah dengan menggunakan tangan kita secara manual.

Ketika rasa keingintahuan dan rasa penasaran saya begitu membuncah,  pada suatu hari secara diam-diam saya memberanikan diri untuk mendekati bangunan ditengah-tengah sawah tersebut. Dan saya tidak pernah menduga sebelumnya bahwa di sebelah utara bangunan tersebut tertulis  beberapa paragraph mirip prasasti sebagai penanda bahwa karya seni tersebut telah dibuat.

Secara lengkap saya tuliskan kembali bunyi kalimatnya sebagai berikut :

“Secara spesifik karya ‘Sumur Biyung’ terinspirasi dari konsep Karang Kitri yaitu bagaimana sebuah ruang atau kawasan diberdayakan dengan baik untuk menghasilkan hasil bumi sebagai bentuk ketahanan pangan. Dalam proses sebuah kawasan Karang Kitri, tentu tidak bisa dilepaskan begitu saja dari pengimplementasian nilai-nilai budaya. Nilai-nilai budaya ini bagi masyarakat Panggungharjo sangat erat dengan unsur-unsur  alam dan religi.

Ada tiga unsur alam yaitu udara, tanah dan air yang harus dijaga dengan baik, dan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam juga harus tejaga dengan baik. Hal ini menjadi pondasi dalam menerapkan pranata sosial bagi masyarakat. Nilai-nilai kebudayaan terkandung dalam bahasa ibu dan bahasa ibu tersimpan dalam aksara.

Maka secara visual karya ini terinsprasi dari adeg-adeg yaitu sebagai penanda dimulainya cerita atau permulaan alinea baru dalam aksara Jawa. Selain dari aksara, karya ini melibatkan ketiga unsur alam yaitu udara, tanah dan air, yang kemudian divisualkan dengan Kitiran/baling-baling (udara), sumur (air), dan ruang dimana karya ini ditempatkan menyatu dengan alam dan manusia (tanah).

Secara tersirat unsur-unsur tersebut juga terdapat dalam situs Lingga dan Yoni, sebagai perlambang perkawinan Bapa angkasa dan Ibu bumi. Sumur Biyung dibuat sebagai bentuk penghormatan sekaligus simbol interaksi antara manusia dengan Ibu pertiwi melalui karya seni. Melalui karya seni ini diharapkan bisa menjadi situs yang menyimpan makna dan nilai-nilai kebudayaan kita.”

Sejak Wahyudi Ahadi Imprint dan Panggungharjo Creative Libarary menempati sementara Balai Budaya Karang Kitri, yang berlokasi di utara SD Sawit, Kalurahan Panggungharjo, Kapanewon Sewon, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai kantor.  Setiap hari, suasana di sekitar Balai Budaya Karang Kitri membuat  semakin betah dan nyaman singgah disana. Dikelilingi oleh area persawahan yang sedang memasuki masa tanam padi (tandur), ditambah rerimbunan hijaunya beberapa daun  jati, dan serumpun pohon bambu yang berada di kanan-kiri Balai Budaya Karang Kitri menambah semakin asri dipandang mata bagi siapa saja yang berkunjung datang dan pergi setiap waktu  di kawasan Balai Budaya Karang Kitri ini.

Sesekali terdengar bunyi seruling yang suaranya merdu dari balik rindangnya  pepohonan  jati di sebelah barat sana, disekeliling jalan masuk ke Balai Budaya Karang Kitri. Dan hal ini, yang membuat saya tertarik untuk menulis cerita ini. Sudah beberapa hari ini, saya sempat dibuat penasaran lagi  mengapa setiap hari, ada seorang bapak yang membunyikan seruling bebarengan sewaktu saya sedang  melakukan aktivitas kerja-kerja kreatif  di Balai Budaya Karang Kitri Kalurahan Panggungharjo.

Langsung saja tanpa babibu saya tanyakan  kepada ketiga petugas penjaga Balai Budaya Karang Kitri, yaitu Tri, Fajar dan  Pram, apakah ada yang tahu siapa gerangan yang setiap hari selalu meniup seruling di bawah pohon jati. Tetapi dari ketiga orang tersebut  menjawab dengan jawaban yang kompak, “tidak tahu”. Dari jawaban ketiga orang penjaga tersebut, tentu saja belum dapat mengurangi rasa penasaran saya terhadap seniman peniup seruling tersebut. Malah semakin mendorong  saya untuk mencoba mengulik informasi lebih mendalam lagi. Akhirnya dengan memberanikan diri, saya mulai melancarkan aksi jurnalistik saya dengan mendekati seniman misterius, peniup seruling tradisional, yang menurut saya untuk saat ini, boleh dibilang sessuatu banget dan barangkali menjadi hal  yang  langka.

Saya mulai bertanya kepada bapak tersebut, mulai dari menanyakan siapa namanya, alamatnya dimana, dan motivasi apa yang membuatnya setiap hari berlatih meniup seruling tradisional tersebut. Dari percakapan pertama saya dengannya, akhirnya dapat terinventarisir dengan jelas, bahwa namanya adalah  Andi. Rumahnya di Padukuhan Dongkelan, tetangga dari Dukuh Dongkelan, Edi Sarwono.

Setiap hari berlatih meniup seruling dalam rangka untuk melatih pernafasan dan melancarkan (‘nglanyahke’) nada-nada seruling sebagai musik pengiring Bregodo Kyai Dongkel, milik Padukuhan Dongkelan. Nada-nada seruling tersebut merupakan bunyi seruling tradisional pengiring Bregodo Kyai Dongkel.  Sebagai musisi  pengiring  Bregodo Kyai Dongkel. Menurut penuturannya, ada aturam sendiri dalam dunia musik pengiring bregodo yaitu tidak boleh meniru iringan musik dari Bregodo-Bregodo milik Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat.

Hal inilah yang menyebabkan saya harus menciptakan iringan musik Bregodo Kyai Dongkel  yang saya aransemen sendiri dibantu oleh saudara saya . Sebagai salah satu seniman  lokal Padukuhan Dongkelan,  saya merasa harus bisa berpartisipasi dan menyumbangkan apa yang bisa demi eksitensi Bregodo Kyai Dongkel.  Dan ketika musik pengiring Bregodo Kyai Dongkel, Padukuhan Dongkelan Kalurahan Panggungharjo,  belum lama ini dilombakan di Sasana Hinggil Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat dalam bulan-bulan yang telah lalu, hasilnya tidak mengecewakan karena musik pengiring  Bregodo Kyai Dongkel meraih prestasi Juara 2.

Yang saya heran sampai saya menulis cerita  unik ini adalah walaupun sudah menjadi juara 2 tetapi tidak membuat Andi jumawa maupun besar kepala, dan ia tak kenal lelah hampir setiap hari disela-sela kesibukan mencari nafkah, ia berlatih terus-menerus. Memang melestarikan seni meniup seruling tradisional dengan setulus hati tanpa pamrih apapun, jarang orang yang menggelutinya. Dan saya melihat dengan mata kepala sendiri, Andi begitu menikmati sekali dan sangat menjiwai dalam setiap tiupan nada-nada serulingnya.  Sehingga dengan penjiwaan ini,  nada-nada tiupan seruling  dapat mengasilkan  harmonisasi  bunyi yang indah dan enak untuk didengarkan oleh semua orang.

Demikian sisi lain, pemandangan yang berbeda dari kawasan Balai Budaya Karang Kitri yang belum banyak diketahui oleh semua warga, baik warga Panggungharjo maupun warga luar  Panggungharjo. Diakhir tulisan ini, saya penasaran kepada saudara semuanya, apakah saudara sudah pernah mendengar tentang keberadaan Balai Budaya Karang Kitri? Atau sudah pernahkan saudara berkunjung ke kawasan Balai Budaya Karang Kitri Kalurahan Panggungharjo ?

Hingga saat ini, kawasan Balai Budaya Karang Kitri masih  terus berbenah diri dengan disuport oleh Dana Keistimewaan (Danais) menuju menjadi  poros kebudayaan baru di Daerah Istimewa Yogyakarta. Setuju atau tidak?(JNT).