Anak

Stunting adalah Problema Bersama Warga Desa

Oleh

pada

Membaca Data Analisa Stunting Desa Panggungharjo bulan Februari 2022 yang dikirim oleh Kamituwa melalui WAG PGH PERPUSTAKAAN, sempat membuat saya kaget setengah mati bayangkan Desa Panggungharjo, desa dengan segudang prestasi di tahun 2022 ini menelurkan angka stunting yang bombastis ada 172 Balita Stunting. Dengan perincian untuk 14 Padukuhan masing-masing tercatat sebagai berikut: Cabeyan 8 Balita, Geneng 2 Balita, Ngireng-ireng 2 Balita, Pandes 6 Balita,  Pelemsewu 4 Balita, Glondong 10 Balita, Dongkelan 7 Balita, Jaranan 18 Balita, Sawit 16 Balita, Krapyak Kulon 30 Balita, Krapyak Wetan 19 Balita, Kweni 18 Balita dan Glugo 25 Balita.

Dengan kondisi TB/PB saat ini mulai dari angka 51,5-99,3 cm dan BB dari angka 5,1-14,5 kg. Dengan stunting pendek dan sangat pendek. Ini benar-benar kita semua mengapa angka stunting di Panggungharjo lonjakannya begitu drastis dan saat ini menjadi lokus penanganan stunting, sebelumnya lokus penanganan stunting berada di Timbulharjo (menurut informasi salah satu tim monitoring stunting). Hal tersebut menjadi buah bibir di kalangan kader Posyandu Balita, Pemerintah Kalurahan Panggungharjo dan Puskesmas Sewon 2. Antara percaya dan tidak terkait angka stunting di Kalurahan Panggungharjo.

Definisi Stunting

Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak Balita akibat dari kekuranagan gizi kronis sehingga anak menjadi terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi dapat terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada awal setelah anak lahir, tetapi baru nampak setelah anak berusia 2 tahun, di mana keadaan gizi ibu dan anak merupakan faktor penting dari pertumbuhan anak. Peride -24 bulan usia anak  merupakan periode yang menentukan kualitas kehidupan sehingga disebut dengan periode emas. Periode ini merupakan periode yang sensitif karena akibat yang ditimbulkan terhadap bayi masa ini bersifat permanen, tidak dapat dikoreksi. Diperlukan pemenuhan gizi adekuat usia ini. Mengingat dampak yang ditimbulkan masalah gizi ini dalam jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik dan gangguan metabolisme dalam tubuh. Jangka panjang akibat dapat menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, dan menurunya kekebalan tubuh (Branca F, Ferrari M, 2002; Black dkk, 2008).

Menurut UNICEF (2018), stunting (bertubuh pendek) adalah kegagalan untuk mencapai potensi pertumbuhan seseorang disebabkan oleh malnutrisi kronis dan penyakit berulang selama masa kanak-kanak. Hal ini dapat membatasi kapasitas fisik dan kognitif anak secara permanen dan menyebabkan kerusakan yang lama.

Menurut Kemenkes RI (2016), stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada tubuh dan otak akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama. Sehingga, anak lebih pendek dari anak normal seusianya dan memiliki keterlambatan dalam berfikir. Anak Balita dengan z-scorenya kurang dari-2 SD dan kurang dari-3 SD atau dengan kata lain status gizi yang yang didasarkan pada parameter Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), dimana hasil pengukuran antropometri berdasarkan parameter tersebut dibandingkan dengan satndar baku WHO untuk menentukan anak tergolong pendek (<-2 SD) atau sangat pendek (< -3 SD).

Penyebab Stunting

Menurut Kementrian PPN/Bappenas (2018), stunting pada anak disebabkan oleh banyak faktor, yang terdiri dari faktor langsung maupun tidak langsung. Adapun faktor-faktor penyebab stunting adalah sebagai berikut:

Pertama, asupan gizi Balita. Asupan gizi yang adekuat sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuh Balita. Masa kritis ini merupakan masa saat Balita akan mengalami tumbuh kembang dan tumbuh kejar. Kedua, penyakit infeksi. Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor penyebab langsung stunting. Anak Balita dengan kurang giziz akan lebih mudah terkena penyakit infeksi. Penyakit infeksi yang sering di derita Balita seperti cacingan, Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), diare dan infeksi  lainnya sangat erat hubungannya dengan status mutu pelayanan kesehaan dasar khususnya imunisasi, kualitas hubungan hidup dan perilaku sehat.

Ketiga, faktor ibu. Faktor ibu dapat karenakan nutrisi yang buruk selam prekonsepsi, kehamilan, dan laktasi. Selain itu juga dipengaruhi perawakan ibu seperti usia ibu terlalu muda atau terlalu tua, pendek, infeksi, kehamilan muda, kesehatan jiwa, BBLR, IUGR dan persalinan prematur, jarak persalinan yang dekat, dan hipertensi. Keempat, faktor genetik. Faktor genetik merupakan modal dasar mencapai hasil proses pertumbuhan. Melalui genetik yang berada di dalam sel telur yang telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas dan kunatitas pertumbuhan. Hal ini ditandai dengan intensitas dan kecepatan pembelahan, derajat sensitivitas jaringan terhadap rangsangan, umur pubertas, dan berhentinya pertumbuhan tulang.

Kelima, pemberian ASI eksklusif. Masalah-masalah terkait praktik pemebrian ASI meliputi Delayed Initation, tidak menerapkan ASI eksklusif dan pengehntian dini konsumsi ASI. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama untuk mencapai tumbah kembang optimal. Setelah 6 bulan, bayi mendapat makanan pendamping yang adekuat sedangkan ASI dilanjutkan sampai usia 24 bulan. Keenam, ketersediaan pangan. Ketersediaan pangan yang kurang dapat berakibat pada kurangnya pemenuhan asupan nutrisi dalam keluarga itu sendiri. Rata-rata asupan kalori dan protein anak Balita di Indonesia masih di bawah Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dapat mengakibatkan Balita perempuan dan Balita laki-laki Indonesia mempunyai rata-rata tinggi badan masing-masing 6,7 cm dan 7,3 cm lebih pendek daripada standar rujukan WHO.

Ketujuh, faktor sosial ekonomi. Status ekonomi yang rendah dianggap memiliki dampak yang signifikan terhadap kemungkinan anak menjadi kurus dan pendek. Status ekonomi keluarga yang rendah akan memengaruhi pemilihan makanan yang dikonsumsinya sehingga biasanya menjadi keurang bervariasi dan sedikit jumlahnya terutama pada bahan pangan yang berfungsi untuk pertumbuhan anak seperti protein, vitamin, dan mineral, sehingga meningkatkan risiko kurang gizi. Kedelapan, tingkat pendidikan. Pendidikan ibu yang rendah dapat memengaruhi pola asuh dan perawatan anak. Selain itu juga berpengaruh dalam pemilihan dan cara penyajian makanan yang akan dikonsumsi oleh anaknya. Ibu dengan pendidikan rendah anatara lain aka sulit menyerap informasi giziz sehingga anak dapt berisiko mengalami stunting. Kesembilan, pengetahuan gizi ibu. Pengetahuan gizi merupakan slah satu faktor yang dapt berpengaruh terhadap konsumsi pangan dan status gizi. Ibu yang cukup pengetahuan gizinya akan memperhatiakn kebutuhan gizi anaknya agara dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.

Kesepuluh, faktor lingkungan. Lingkungan rumah, dapat dikarenakan oleh stimulasi dan aktivitas yang tidak adekuat, penerapan asuhan yang buruk, ketidakamanan pangan, alokasi pangan yang tidak tepat, rendahnya edukasi pengasuh. Anak-anak yang berasal dari rumah tangga yang tidak memiliki fasiliats air dan sanitasi yang baik berisiko mengalami stunting.

Bahkan sampai-sampai Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) berkunjung ke Indonesia untuk memonitoring dan mengevaluasi terkait strategi Pemerintah Kalurahan Panggungharjo dalam penanganan stunting. Stunting juga menjadi salah satu program prioritas Pemerintah Kabupaten Bantul saat ini. Angka stunting di Panggungharjo yang begitu tinggi membuat para stakeholder harus berjuang sekuat tenaga untuk menentukan aksi percepatan penurunan angka stunting.

Dimulai dengan forum rembug stunting antar stakeholder terkait kesehatan ibu dan Balita, untuk mencari solusi bersama berupa aksi percepatan penurunan angka stunting dilihat dari berbagai perspektif. Mulai dari peran remaja sebelum melakukan pernikahan, kemudian bagaimana ketika menjalani biduk rumah tangga dan selanjutnya bagaimana orang tua dalam memperhatikan hak tumbang (tumbuh kembang) anak-anaknya, hak anak  untuk mendapatkan pendidikan yang layak serta hak anak untuk mendapatkan hidup yang sejahtera.

Hal yang tidak kalah pentingnya dalam strategi percepatan dalam penanganan stunting adalah literasi tentang stunting bagi warga desa. Terutama bagi kader Posyandu Balita yang menangani gizi Balita. Bagi Kader Posyandu yang bertanggung jawab terkait gizi ini harus memiliki pengetahuan akan tanaman pangan sehat yang secara sederhana dapat ditularkan kepada semua ibu yang memiliki Balita. Pengetahuan tentang pangan sehat apa saja yang dapat diintervensi sendiri oleh setiap ibu hamil tanpa harus menunggu bantuan dari pemerintah. Dengan memanfaatkan lahan pekarangan yang dimiliki disekitar rumah, bumil dan busui dapat menyiapkan tanaman pangan sehat yang dibutuhkan oleh calon bayinya agar mengalami  pertumbuhan dan perkembangan Balita  yang maksimal di masa keemasan dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya (JNT).

Tentang Junaedi

Penulis esai. Penulis Buku Cuitan Wong Ndeso. Bekerja sebagai staf PSID, yang membawahi PCL.

Baca Juga

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X