SEJARAH KAMPUNG

Sejarah Kampung Jomblang Padukuhan Ngireng-ireng

Oleh

pada

Menggali sejarah beberapa nama kampung di Padukuhan Ngireng-ireng rasanya kurang afdhol jika tidak minta saran dan arahan pemangku wilayah Padukuhan Ngireng-ireng, yaitu Heru Prasetya, selaku Dukuh Ngireng-ireng saat ini.  Atas saran dan arahan Heru Prasetya, saya disarankan bertemu dengan beberapa tokoh sesepuh Kampung Jomblang, satu diantaranya adalah Rondiharjo. Pria lanjut usia, yang mengaku ketika pada zaman Jepang sudah berumur belasan tahun itu, sepintas masih sehat wal ‘afiat. Kulitnya yang sudah mulai keriuput, tetapi masih lancar ketika diajak berbicara

Kamarin pagi, saya bersilaturahmi ke rumah Rondiharjo, kebetulan di rumahnya juga bertemu dengan putra sulungnya yang bernama Suparman. Akhirnya saya dapat menggali sejarah Kampung Jomblang bersama Rondiharjo ditemani Suparaman juga.  Ketika pertama kali, saya tanyakan asal muasal nama Jomblang, yang bercerita pertama kali adalah Suparman. Suparman mendapat pengetahuan terkait asal muasal Kampung Jomblang dari para sesepuh Kampung Jomblang, kebetulan zaman dahulu ia sudah akrab dengan para sesepuh ketika kegiatan siskamling dan beberapa kali mendapatkan cerita tentang Kampung Jomblang, yang bisa jadi pada zaman sekarang, para kaum milenial tidak pernah terbayang bisa mendapatkan cerita sejarah kampung Jomblang.

Menurut Suparman bahwa pada zaman dahulu kala, nama Jomblang berasal dari kata Jumbleng. Jumbleng merupakan tempat untuk buang air besar (WC). Pada zaman dahulu kampung ini, hanya dihuni oleh sembilan orang, diantaranya yang saya tahu adalah: Siswo Pandoyo, Mangun Dikromo, Karto Dimejo, dan enam nama lainnnya saya lupa. Zaman dahulu, konon ceritanya terdapat tuk-bul (sumber mata air) di kanan kirinya terdapat pohon bambu yang besar-besar. Saking besarnya sumber mata air tersebut akhirnya sumber mata air tersebut ditutup menggunakan gong karena jika tidak ditutup maka air tersebut akan mengalir terus, dan lama kelamaan bisa mengakibatkan banjir.  Setelah ditutup dnegan gong airnya tidak dapat membludak  kemudian airnya dialirkan ke parit-parit atau patusan.

Karena pada zaman dahulu kampung ini, masih belum banyak penghuni dan masih rimbunnya pohon bambu yang besar-besar dan  pohon-pohon lainnya, maka kampung ini terkesan kumuh,  terlihat sangat kotor, ditambah adanya beberapa titik genangan air di sana sini. Karena kotor dan kumuhnya kampung ini, maka banyak yang mengibaratkan kampung ini seperti jumbleng (WC). Saking seringnya orang menyebut jumbleng, hingga akhirnya suatu saat nanti setelah  rejane zaman maka kampung ini diberi nama Kampung  Jomblang. Nama Kampung Jomblang sudah ada sebelum zaman kemerdekaan tapi persisnya kapan baik Rondiharjo maupun Suparman tidak ada yang mengetahui secara pasti.

Menurut Rondiharjo, nama cikal bakal Kampung Jomblang adalah Kyai Harjo Sumarto.  Saat ini, nama cikal bakal diabadikan di sebelah timur pintu masuk makam Kampung Jomblang untuk memudahkan dalam mengingat-ingat nama cikal bakalnua. Sementara menurut Suparman ada dua nama tokoh dalam membangun Kampung Jomblang, yang sangat dihormati dan dijadikan suri teladan dalam hidup dan kehidupan semua warga Kampung Jomblang. Lembah manah dan sopan santun orangnya, apa dan bagaimana sikap kedua tokoh tersebut dalam membangun karakter warga masyarakatnya, dan bagaimana cara menghormati antara warga yang satu dengan warga yang lainnya telah dipraktikan oleh kedua tersebut yang bernama Signyo Utomo dan Sisiwo Pandoyo.

Bahkan singat Suparman, ketika tahun 1974/1975, pada waktu itu setiap ada warga masyarakat yang sedang diberi anugerah momongan bayi yang baru lahir, maka atas inisiatif Siswo Pandoyo semua warga Kampung Jomblang dipungut iuran sebesar Rp 10 per Kepala Keluarga untuk membantu meringankan beban warga kampung Jomblang  yang baru saja memiliki  bayi tersebut. Tidak hanya itu saja.

Sebelumnya pada masa agresi militer Belanda tahun 1949 rumah milik Siswo Pandoyo, digunakan sebagai tempat persembunyian para Tentara Keamanan Rakyat (TKR).  Seingat Rondiharjo pada waktu itu komandan yang terkenal adalah Widodo. Waktu itu saya sudah berumur belasan tahun. Saya mendapat tugas untuk mengambili jatah makan (nuk) dari semua warga Kampung Jomblang untuk diberikan kepada Tentara Keamanan Rakyat di bawah komando Widodo. Saya masih ingat, saya tidak mampu membawa banyak nuk, sehingga  saya mengambil nuknya bisa dua atau sampai  kali.

Tentara Keamanan Rakyat berjuang melawan tentara Belanda dengan siasat gerilya. TKR Biasa bergerilya pada waktu  malam hari tiba. Ada yang menuju  ke Pleret, ada yang menuju ke Bantul pokoknya ikut perintah dibawah komando Widodo. Ketika melakukan perang gerilya, untuk membedakan pejuang dan orang biasa maka semua pasukan TKR memakai dress code janur kuning.

Pada masa penjajahan Jepang antara tahun 1942-1945, Rondiharjo sudah masuk ikut barisan bersama Jo Atmo, salah satu kakak perempuannya yang dilatiih oleh tentara Jepang. Pada zaman Jepang warga kampung juga diajari membuat tempat pertahanan dan tempat persembunyian yaitu dengan membuat goa-goa atau lubang-lubang. Pada waktu itu suasana sangat mencekam, jika malam sudah tiba, semua warga kampung dilarang menyalakan lampu teplok, tidak boleh keluar dari goa persembunyian. Pokoknya disuruh sembunyi terus di dalam goa dan tidak boleh berbicara satu sama lainnya alias diam di tempat.

Kemudian pada zaman Partai Komunis Indonesia (PKI), Rondiharjo sudah bekerja sebagai tukang bangunan  dengan membawa serta Suparman yang masih kecil. Pada waktu saya itu, saya masih ingat betul karena pada waktu itu saya bersama anak saya yang masih kecil, membangun rumah milik Prayit yang berlokasi di Kota Yogyakarta dekat alun-alun utara. Ketika ada suara tembakan kami istirahat sebentar kemudian kami lanjut kerja lagi. Begitu ada suara tembakan lagi kami istirahat lagi demikian seterusnya.

Sebelum terjadinya peristiwa G 30 S PKI tahun 1965, pada waktu itu ditandai dengan munculnya peristiwa alam “lintang kemukus”. Lintang Kemukus dipercaya oleh warga Kampung Jomblang akan terjadi pageblug, eh tenyata kejadian meletusnya peristiwa G 30 S PKI pada tahun 1965.

Sejarah tempat wingitnya Kampung Jomblang ada kesamaan dengan cerita mitos Mbah Telopong Kampung Jogoripon. Maklum saja, karena secara geografis antara Kampung Jomblang dan Kampung Jogoripon bersebelahan. Menurut  Rondiharjo, terdapat goa diantara gumuk atau srumbul disitulah tempat Mbah Telopong. Pada waktu itu, seingat saya bagi warga yang baru memiliki momomgan bayi yang baru lahir, setelah puputan tali pusar bayi tersebut disranani dengan aneka kembang yang diperoleh dari Mbah telopong. Biasanya warga kampung meminta aneka kembang tersebut dengan dibantu oleh juru kunci yang bernama Iro Munyuk.

Pada zaman dahulu, masih ada tradisi jagongan bayen selama 7 hari. Dalam acara jagongan bayi tersebut biasanya diadakan acara mocopatan.  Pada zaman dahulu, ketika jagongan bayi  hidangan yang pasti ada adalah ketela pohon.

Ketika saya tanyakan kepada Suparman perihal bagaimana sejarahnya  apa benar dulunya Kampung Jomblang ikut dengan Kampung Jogoripon? Dan mengapa pada akhirnya malah ikut Padukuhan Ngireng-ireng. Suparman membenarkan informasi tersebut. Kampung Jomblang ikut Padukuhan Ngireng-ireng alasannya karena untuk menggampangkan administrasi dalam urusan tanah dan PBBnya. Karena sesuai data kepemilikan tanah warga Jomblang banyak yang masuk di wilayah Padukuhan Ngireng-ireng,”demikian kata Suparman mengakhiri wawancara pagi sampai siang itu (JNT).

Referensi:

  1. Rondiharjo, tokoh sesepuh Kampung Jomblang Padukuhan Ngireng-ireng.
  2. Suparaman, anak sulung Rondiharjo.

Tentang Junaedi

Penulis esai. Penulis Buku Cuitan Wong Ndeso. Bekerja sebagai staf PSID, yang membawahi PCL.

Baca Juga

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X