SEJARAH KAMPUNG

Sejarah Kampung Jaranan Ternyata Berasal dari Kuda HB VIII

Oleh

pada

Sebelum saya menuliskan cerita sejarah kampung Jaranan ini, terlebih dahulu saya menanyakan terkait siapa yang layak untuk saya jadikan nara sumber tentang sejarah Kampung Jaranan kepada Fendika Nurjayanto Yudatama (Dukuh Jaranan). Dari informasi yang saya dapatkan  dari Dukuh Jaranan  tersebut terinventarisir  satu nama yaitu Suro Inangun.

Suro Inangun lahir sekitar tahun 1930-an (berusia 92-an tahun). Tetapi secara fisik Suro Inangun masih sehat wal afiat. Dan menurut pengakuannya hingga saat ini ia masih mampu mengayuh sepeda ontelnya. Secara lisan, juga masih sangat komunikatif dan enak diajak bicara. Hanya saja jika kita berkomunikasi agak jauh ia kurang jelas untuk mendengarkannya.

Menurut penuturan Suro Inangun. Bahwa nama Jaranan, diambil kisah perjalanan Kanjeng Sinuwun HB VIII yang sedang meninjau keadaan kawulanya di wilayah Kalurahan Panggungharjo. Kanjeng Sinuwun HB VIII, ketika meninjau pad saat itu menaiki kuda yang didampingi oleh para pengawalnya.

Dari arah timur ke arah barat pasukan berkuda berjalan dengan rapinya. Kuda Kanjeng Sinuwun paling depan sendiri kemudian diikuti para pengawal kerajaan berada di belakangnya, sehinga tampak kudanya berjejer dengan rapi. Dari kuda yang berjejer-jejer inilah kemudian kampung yang dilewati tersebut dinamakan Kampung Jajaran.

Sementara aktivitas Kanjeng Sinuwun yang menggunakan kuda yang dalam bahasa Jawanya adalah “Jaran”. Dan Kuda yang digunakan oleh Sinuhun HB VIII adalah jenis Jaran Dukun. Jaran Dukun mempunyai keahlian dalam hal menyeberangi sungai. Maka kampung yang dekat sungai tersebut dalam perkembangannya kemudian dinamakan Kampung Jaranan. Yang menarik dari ceritanya Kanjeng Sinuwun HB VIII, setelah ia bersama para tentara dari Kampung Jajaran ke arah barat maka sampailah pada sebuah Sungai Winongo.

Pernah suatu ketika sampai di bibir sungai ternyata debit airnya tinggi sekali sama dengan tinggi bibir sungai (peres). Pada waktu itu belum ada pembangunan jembatan. Kemudian Kanjeng Sinuwun HB VIII beserta para pengawal tetap saja menyeberangi sungai dalam keadaan debit air yang cukup tinggi sampai peres dengan tanah, dengan menunggang kuda hingga sampai bibir sungai sebelah barat. Dan herannya, Kanjeng Sinuwun dan para pengawal tidak basah kuyup terkena air sungai yang peres tanah (banjir) tersebut.

Lokasi penyeberangan Kanjeng Sinuwun HB VIII, hingga saat ini bisa kita dijumpai adalah di sekitar gejlik Jaranan, disana juga dibuatkan Monumen Patung Kuda. Zaman dahulu juga pernah ada seorang yang bernama Ndoro Bekel Purbo bertapa diatas gejlik. Tetapi tempat yang diduduki oleh Ndoro Bekel Purbo ini tak lama kemudian roboh.

Pada tahun 1942, sewaktu Suro Inangun masih duduk di SD kelas 2. Kanjeng Sinuhun HB IX pernah mengusir tentara  Belanda dalam waktu satu jam. Pernah juga Kanjeng Sinuhun HB IX pernah diperdaya oleh Belanda hingga kendaraan yang dinaikinya kehabisan bensin ditengah jalan,  tetapi kemudian Sinuhun menghilang entah kemana, dan dapat meloloskan  dari tipu daya Belanda pada waktu itu.

Kata Suro Inangun pada tahun 1945, pada zaman Jepang ketika ada bunyi sirine (Gaok) maka nanti ada tentara Keibodan dan Seinendan yang memberi tahukan kepada warga Kampung dengan berseru :”diyan mati (mati lampu).” Setelah ada seruan itu, nanti para warga bersembunyi di parit-parit (jugangan) yang dibuat oleh warga sendiri.

Adapun nama cikal bakal Kampung Jaranan bernama Joyudo. Menurut Suro Inangun, Padukuhan Jaranan dibagi menjadi empat kampung yaitu Jajaran, Jaranan, Gejawan dan Gesikan.  Gejawan berasal dari kata kejawen, dahulu banyak warga masyarakat kampung tersebut  yang memakai pakaian khas Jawa, seperti jarikan, klambi Jawa dan iketan.  Kalau terkait nama Gesikan, Suro Inangun tidak mengetahuinya secara pasti.

Adapun nama-nama Dukuh Jaranan sebagai berikut: Pawiro Gono (Dukuh Jaranan Pertama), Amat Sukirman (Dukuh Jaranan Kedua), Samidjo (Dukuh Jaranan Ketiga), Slamet (Dukuh Jaranan Keempat). Dan Fendika Nurjayanto Yudatama (Dukuh Jaranan Kelima).

Kemudian pada hari berikutnya, atas saran Dukuh Jaranan, saya menemui satu orang tokoh lagi yang bernama lengkap Dalijan Guna Wiyoto, mantan ketua LKMD Desa Panggungharjo pada masa kepemimpinan Siti Sremah Jazuli. Pria lanjut usia yang  berumur 81 tahun, biasa dipanggil dengan Guna, menuturkan bahwa setahu saya Padukuhan Jaranan secara garis besarnya dibagi menjadi dua yaitu sebelah utara adalah Jaranan dan sebelah selatan Gesikan.

Di wilayah Gesikan dibagi lagi menjadi 3 kampung yaitu Mutihan, Ngentak dan Gesikan. Menurutnya  bahwa cikal bakal Gesikan adalah Kyai Mutih. Lebih lanjut ia menuturkan, bahwa bagaimana sejarah 3 kampung tersebut, yang jelas sejak ia lahir sudah ada nama 3 kampung tersebut. Cuma menurut cerita dari para orang tuanya termasuk cerita dari simbah-simbahnya dahulu  bahwa di makam Mutihan terdapat 7 kijing (bangunan berbentuk batu diatas makam), salah satunya adalah milik Kyai Mutih.

Kemudian berdasarkan sejarahnya, terdapat makam cikal bakal yang bernama Kyai Mutih, akhirnya kampung tersebut dinamakan Kampung Mutihan. Konon ceritanya, Kyai Mutih berasal dari Arab. Adapun terkait Kampung Ngentak, ia tidak tahu banyak asal usul dan sejarahnya. Sedangkan Kampung Gesikan, berasal dari kata nggesik, yang berarti pasir. Konon dari asal nama nggesik tersebut maka akhirnya kampung tersebut dinamakan Kampung Gesikan.

Atas saran Guna, akhirnya hari berikutnya lagi saya menemui Dukuh Jaranan Keempat yaitu Slamet pada sore hari. Menurut Slamet bahwa Gesikan secara garis besarnya dibagi lagi menjadi dua yaitu Gesikan Kulon dan Gesikan Wetan.

Terkait Kampung Ngentak baik  Guna maupun  Slamet, tidak ada yang tahu sejarah asal usulnya. Tetapi menurut penuturan Slamet ada satu nama lagi yaitu Kampung Tegal Cewok, ia tidak tahu asal muasal dan mengapa sampai diberi nama Tegal Cewok.

Yang menarik lagi adalah ketika saya menanyakan penguasa wilayah Jaranan sejak bergabungnya Padukuhan Jaranan dengan Kalurahan Panggungharjo, antara infromasi yang disampaikan Sura Inangun dan informasi yang disampaikan Slamet ada perbedaan nama  Dukuh  Jaranan Pertama dan Dukuh Jaranan Kedua, yaitu kebolak balik. Sementara Slamet menyampaikan berdasarkan tahun jabatan Dukuh Jaranan juga.

Adapun nama-nama Dukuh Jaranan menurut versi Slamet, dengan begitu meyakinkannya karena pada waktu Dukuh Jaranan Kedua, ia sudah pernah mengalami dengan mata kepala sendiri. Nama-nama Dukuh Jarananan menurut versi Slamet tersebut adalah sebagai berikut: Ahmad Sukirman (Dukuh Jaranan Pertama: 1940-1955), Pawiro Gono (Dukuh Jaranan Kedua: 1955- 1974), Samidjo (Dukuh Jaranan Ketiga: 1974-1992), Slamet (Dukuh Jaranan Keempat: 1993-2020), Fendika Nurjayanto Yudhatama, S.Kep.(Dukuh Jaranan Kelima: 2021-sekarang).

Menurut Slamet ada beberapa cerita mistis yang pernah ia  alami sendiri. Kejadian pertama ketika ada mobil travel mini bus ¾ yang mau menjemput rombongan penumpang tetapi sesampainya di depan rumah saya, mobil tersebut berjalan perlahan maju-mundur maju mundur terus seperti bingung mencari titik penjemputan. Dari dalam rumah saya sempat mendengarkan adu mulut antara sopir dan kernetnya selama kurang lebih 5-10 menitan.

Menurut gambar denah sketsa jalan yang diberikan oleh kantor travel agency, konon katanya persis disitu, di dekat rumah saya. Kemudian saya memastikan apakah tujuan penjemputan di Gesikan Panggungharjo atau di Gesikan Pandak. Saya bilang kepada sopir dan kernetnya  barangkali bukan Gesikan Panggungharjo tetapi Gesikan Pandak, kalau benar demikian mumpung waktunya masih sore belum terlalu  larut malam kan masih ada waktu untuk mencarinya.

Tetapi menurut sopir dan kernetnya lokasinya sudah benar. Dugaan saya, sepertinya  lokasi titik penjemputan berada di area makam Mutihan.

Kejadian selanjutnya, adalah pada suatu malam yang sudah larut. Ada seorang tukang becak yang berasal dari Kalurahan Pendowoharjo entah sehabis mengantar penumpang kemudian keblasuk ke makam Jaranan atau bagaimana persisnya. Pada saat akan pulang ke rumahnya melihat makam tersebut merupakan jalan lurud hingga tembus samapi  ke arah selatan.

Saya melihat tukang becak melewati jalan sebelah barat rumah saya sekitar pukul 22.00 WIB. Kemudian saya tanya kepadanya : “malam-malam kok bisa naik becak di sini? Apakah kesasar?”. Pada saat ketemu dengan saya sepertinya ia ketakutan  (gigilen) melewati makam yang dianggap seperti jalan lurus sampai ke selatan. Mendengar jawaban dari tukang becak tersebut terkait  kronologis kejadiannya. Akhirnya saya menyarankan agar pulang dengan hati-hati mengikuti saran arah jalan yang saya berikan kepadanya. Dugaan saya tukang becak tadi kesasar di makam Jaranan (JNT).

Referensi :

  1. Suro Inangun, tokoh sesepuh masyarakat di Padukuhan Jaranan.
  2. Dalijan Guna Wiyoto, tokoh sesepuh masyarakat di Padukuhan Jaranan.
  3. Slamet, Dukuh Jaranan Keempat periode tahun 1993-2020 .

Tentang Junaedi

Penulis esai. Penulis Buku Cuitan Wong Ndeso. Bekerja sebagai staf PSID, yang membawahi PCL.

Baca Juga

1 Komentar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X