SEJARAH KAMPUNG

Sejarah Kampung Cabeyan dan Kampung Mangunan

Oleh

pada

Mengutip satu kalimat dari sebuah artikel tulisan Imtiyaz Putri Hanifa: “Salah satu tokoh pemuda Cabeyan bernama Andi, mengklasifikasikan sejarah Cabeyan menjadi dua versi. Pertama, legenda Nyai Cabe yang tak bisa dipungkiri, terutama karena adanya makam Nyai Cabe di RT 01. Kedua, tanaman cabe yang banyak tumbuh di dusun ini”.

Kemudian saya mencoba mengkonfirmasi hal tersebut kepada tokoh sesepuh Kampung Cabeyan yang bernama Muhammad Sukemi, yang kebetulan menjadi Kaum Rois Padukuhan Cabeyan, terkait asal muasal berdirinya Kampung Cabeyan. Menurut pendapat Muhammad Sukemi, bahwa yang benar adalah versi yang pertama bahwa nama Kampung Cabeyan berasal dari nama pendiri kampung, yang pertama kali babat alas membangun kampung Cabeyan yaitu Nyai Cabe.

Dahulu kala, kampung ini berupa hutan belantara, kemudian datanglah sepasang suami istri. Suaminya adalah seorang Tumenggung yang berasal dari Kerajaan Majapahit yang dikalahkan oleh kerajaan Islam kemudian lari bersama istri dan beberapa orang pengikutnya. Karena sepasang suami istri adalah penganut agama Hindu, maka ketika kerajaan Majapahit diserang mereka berdua melarikan diri dari kerajaan Majapahit sampailah di kampung sini yang masih berupa hutan belantara.

Tetapi sesampainya di hutan belantara ini, sepasang suami istri ini kemudian berpisah. Suaminya yang seorang Tumenggung pergi menuju wilayah Godean, sementara istrinya menetap bersama beberapa pembantunya di hutan belantara ini.  Akhirnya perempuan tersebut pelan-pelan babat alas membangun hutan belantara ini menjadi sebuah kampung. Setelah hidup beberapa tahun lamanya barulah dikenal nama perempuan tersebut adalah Nyai Cabe.

Nyai Cabe merupakan seorang perempuan priyayi yang patuh pada tata aturan hidup orang Jawa (kejawen tulen). Konon sosoknya tinggi, warnanya kulitnya kuning langsat, kesehariannya selalu mengenakan pakaian sehari-harinya berupa Jarik Barong dan baju bermotif Kembang Batu berwarna Hijau atau Hitam. Nyai Cabe piawai dalam meracik Jamu Jawa. Salah satu bahan yang digunakan untuk jamu obat kuat sekaligus penghangat tubuh adalah tanaman Cabe Jawa, yang sejak  zaman dahulu tumbuh subur di kampung ini. Konon Nyai Cabe dan pembantunya rajin menanam tanaman obat dan tanaman  palawija di sekitar pekarangan rumah untuk menunjang pembuatan jamu tersebut.

Nyai Cabe hidup dan menetap di kampung ini bersama pembantu dan mulai banyak warga yang menempati kampung sini, hingga ajal menjemputnya. Dan jenazahnya dimakamkan di pemakaman Nyai Cabe yang berlokasi di RT 01 Padukuhan Cabeyan. Beberapa jenazah pembantunya juga dimakamkan di tempat yang sama yaitu di Makam Nyai Cabe RT 01. Tetapi para orang tua dan simbah-simbah saya, tidak ada yang menceritakan tentang nama-nama para pembantunya tersebut. Dan setelah rejane zaman oleh masyarakat kampung sini, selanjutnya dinamakan Kampung Cabeyan.

Dalam perkembangan sosial kemasyarakatan hingga saat ini, tercatat ada 2 nama warga yang meneruskan perjuangan  Nyai Cabe, sebagai peracik jamu Jawa yang handal yaitu: Tukinah dan Somo.

Nyai Cabe memiliki pusaka Gula Jawa Setangkep. Diduga pusaka inilah sangat berjasa besar bagi Nyai Cabe dalam praktik pembuatan jamu. Bahkan ada orang yang berusaha mengambil pusaka tersebut untuk digunakan dalam praktik pengobatan, tetapi  orang tersebut tidak mampu mengambilnya karena konon pusaka tersebut dijaga oleh sosok  Genderuwo yang besar sekali.

Dalam perkembangan seni budaya, sejak zaman dahulu yang terkenal adalah seni pertunjukan ketoprak, yang terkenal  pada saat itu adalah Ketoprak Basiyo Lesung dan Ketoprak Krido Mardi. Adapun nama tokoh penggerak ketoprak pada zaman dahulu adalah Mangun Dikromo, dan Amat Rupingi, salah satu murid dari Kyai Abdul Wahab Krapyak Wetan. Selain ketoprak, seni pertunjukan Wayang Orang maju pada zaman dahulu, dengan lakon yang terkenal adalah Teja Kusuma. Adapun nama tokoh penggerak Seni Wayang Orang pada zaman dahulu adalah Purwo Tomo, Yogo Sutrisno, dan Wiro.

Salah satu bentuk kesenian yang dilestarikan dari zaman dahulu hingga zaman sekarang adalah Seni Tatah Sungging Wayang Kulit. Adapun nama tokoh yang menggeluti seni tatah sungging pada zaman dahulu adalah Marjo Suharto, Siswo Raharjo dam Yadi Sutrisno. Satu kesenian lagi yang masih dilestarikan hingga saat ini, yang merupakan perpaduan seni budaya yaitu Seni Budaya Jawa dengan Seni Budaya Islam adalah Sholawatan Jawi.

Pada zaman dahulu bagi warga yang suka sholawatan pada berguru ke pondok pesantren Jejetan. Adapun nama tokoh penggerak seni Sholawatan Jawi adalah Amat Rupingi, Mangun Dikromo dan Kromorejo. Menurut Muhammad Sukemi, bahwa di wilayah Padukuhan Cabeyan terdapat beberapa  nama cikal bakal. Nama-nama cikal bakal tersebut adalah Nyai Cabe (RT 01 dan RT 02), Mertuyudo (RT 03), Kyai Gemamul (RT 04), Kyai Kalangrejo (RT 02, RT 03 dan RT 04), Kyai Mindik (RT 05 Gabung dengan Kampung Karanggede Padukuhan Ngireng-ireng).

Sementara di Padukuhan Cabeyan terdapat  beberapa tempat pemakaman bagi warga Kampung Cabeyan, seperti: Makam Nyai Cabe (RT 01 dan RT 02), Makam Tegal Sari Mulyo (RT 03), Makam Taman Lestari (RT 04), Makam Karanggede (RT 05 dan Karanggede RT 03).

Adapun nama-nama Kaum Rois Padukuhan Cabeyan adalah Amat Rupingi (Kaum Rois Ketiga),  Adi Suwarno dan Muhammad Sukemi ( Barsama-sama sebagai Kaum Keempat). Satu lagi terkait kuliner yang paling terkenal dari zaman dahulu adalah Sego Tumpang atau Sego Gudhangan dan terkenal dengan Jamu Jawa Racikan.

Ada satu lagi nama kampung di wilayah Padukuhan Cabeyan, yaitu Kampung Mangunan yang berlokasi di RT 06. Nama Kampung Mangunan diambil dari nama cikal bakal yaitu Kyai Mangun Oneng dan Kyai Mangun Yudha, demikian menurut  penuturan Sambiyo alias Muhadi Wiyono, Kaum Rois Kampung Mangunan. Sebetulnya ada beberapa makam cikal bakal yang lebih tua lagi seperti yang terdapat dalam area makam Kampung Mangunan, tetapi semua warga Kampung Mangunan tidak ada yang tahu nama-namanya.

Konon pada zaman dahulu, banyak ditemukan batu bata basar di sekitar Kampung Mangunan. Pada zaman dahulu, ketika ada warga yang mencangkul tanah selalu menemukan batu bata besar-besar persegi dengan ukuran 30-40 centimeter. Diduga batu bata besar tersebut adalah Beteng-beteng pada masa Kademangan.

Pada zaman dahulu di sekitar makam Kampung Mangunan tumbuh Pohon Randu Alas Besar. Pada saat itu, pernah digunakan sebagai tempat pertapaan salah warga yang berprofesi sebagai paranormal, yaitu ibunya Ketua RT 06. Diduga jin penunggu pohon Randu Alas Besar tersebut diminta oleh ibunya Ketua RT 06 sebagai perewangan dalam menjalankan profesinya tersebut.

Lebih lanjut Sambiyo menuturkan bahwa pada waktu bapak saya, yang bernama Abdul Manan pernah berkelakar  bahwa : “besok suatu saat kayu yang menghalangi-halangi  jalan akan saya potong”. Setelah berbicara seperti kemudian bapak saya pulang dan langsung tidur. Eh tak lama kemudian bapak didatangi anak-anak kecil yang merupakan penunggu pohon Randu Alas Besar dan menyerang bapak saya. Dari posisi tidur sampai bapak bangun masih diganggu oleh anak-anak kecil hingga tidak bisa bergerak ke mana-mana.

Pada zaman perang melawan  Belanda di sekitar Pohon Randu Alas Besar tersebut tepatnya di sekeliling pagar makam digunakan untuk tempat persembunyian warga dari tembakan tentara Belanda. Bahkan oleh warga Kampung Mangunan di sekeliling pagar makam di taruh Topi Baja, akibatnya karena ditembaki terus menerus akhirnya pagar makam roboh dan rusak parah.

Selain bersembunyi di pagar makam, ada juga yang membuat lubang besar untuk persembunyian di sekitar pohon bambu. Lubang besar sengaja dibuat oleh warga masyarakat di area pohon bambu supaya tentara Belanda tidak mencurigai kalau tersebut sebagai tempat persembunyian. Bahkan pada saat ada warga Kampung yang melahirkan dalam lubang besar persembunyian di area pohon bambu. Waktu itu Sambiyo sudah berumur 7-8 tahun. Saya belum begitu tahu siapa itu tentara Belanda, tetapi waktu itu saya masih senang-senangnya melihat tentara Belanda yang membawa senjata.

Ketika zaman perang melawan Belanda, para pemuda dan bapak-bapak merasa khawatir jangan-jangan ditangkap tentara Belanda untuk dijadikan pekerja paksa (rodi), yaitu mengambil tenaga tetapi tanpa dibayar. Maka waktu itu, tingkah warga kampung aneh-aneh. Ada yang mengucapkan Tabik Tuan, intinya minta ampun dan menghindar ketika bertemu dengan tentara Belanda. Tujuannya supaya tidak disuruh untuk ikut menjadi pekerja paksa tanpa dibayar.

Menurutnya, ada satu pejuang veteran RI yang sampai saat menerima uang pensiun dari negara, yaitu Simbah Darso.  Sebetulnya ada beberapa pejuang veteran RI tetapi karena persyaratan administrasi yang rumit maka banyak yang tidak mengurusnya dan keluarga juga tidak ada yang mengurusinya.

Terakhir, terkait perkembangan Kaum Rois di Kampung Mangunan sudah terjadi pergantian selama lima kali, yaitu: Simbah Kasan Jahit (Kaum Rois Pertama), Simbah Setrorejo (Kaum Rois Kedua), Simbah Prapto Kasiran (Kaum Rois Ketiga), Simbah Kasan Dikromo (Kaum Rois Keempat) dan Muhadi Wiyono (Kaum Rois Kelima).

 

Referensi:

  1. Muhammad Sukemi, Kaum Rois Padukuhan Cabeyan
  2. Sambiyo alias Muhadi Wiyono, Kaum Rois Kampung Mangunan Padukuhan Cabey

Tentang Junaedi

Penulis esai. Penulis Buku Cuitan Wong Ndeso. Bekerja sebagai staf PSID, yang membawahi PCL.

Baca Juga

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X