SEJARAH KAMPUNG

Sejarah Geneng Awalnya Dipimpin oleh Ksatria Majapahit

Oleh

pada

Menurut beberapa sumber yang saya ketahui bahwa, pada zaman dahulu Kampung Geneng berupa genangan air yang bercampur dengan pasir yang terbawa oleh air ketika terjadi letusan gunung merapi dari arah utara sampai ke selatan. Akibatnya di kampung ini hampir semuanya rata dengan genangan pasir.

Kyai Juru Purbo mengatakan kepada semua rakyatnya (warganya ) sebagai pertanda berdirinya Kampung Geneng, “sesok nek tiba rejane zaman Kampung iki dijenengi Kampung “Geneng”. Geneng berarti genangan. Sesuai dengan topografinya Padukuhan Geneng awalnya adalah berupa genangan air dan pasir.

Kyai Juru Purbo adalah cikal bakal pendiri Kampung Geneng. Menurut ceritanya bahwa ia adalah seorang prajurit dari keturuanan Majapahit, yaitu Raja Brawijaya V, setelah kerajaan Majapahit dikalahkan oleh Kerajaan Mataram Islam. Ia lari dari kejaran bala tentara Kerajaan Mataram Islam hingga akhirnya sampai ke Kampung Geneng.

Kyai Juru Purbo adalah seorang yang disegani oleh rakyatnya. Karena ia memiliki keahlian dalam bidang ilmu kebatinan, ilmu kejawen, ilmu bercocok tanam (pertanian) dan ilmu kanuragan. Kedatangan Kyai Juru Purbo menghimpun warga untuk menjadi prajurit yang disegani dan ditakuti oleh musuh-musuhnya.

Konon ceritanya Kyai Purbo adalah seorang prajurit yang sakti mandraguna. Ketika perang melawan musuh tidak tembus oleh peluru dari senjata musuh dan tembakan meriam pun tak mampu mengenai tubuhnya. Karena kesaktiannya maka semua warganya segan dan taat kepadanya.

Kyai Juru Purbo mempunyai pusaka andalan yaitu berupa duwung atau keris. Keris ini selalu diselipkan ke dalam jubah putihnya. Menurut penuturan para leluhur saya, Kyai Juru Purbo selalu mengenakan jubah putih. Patut diduga bahwa Kyai Juru Purbo beragama Islam apabila dilihat dari pakaian yang selalu dikenakannya, yaitu jubah putih.

Kyai Juru Purbo sangat piawai dalam menyusun strategi perang dalam menghadapi musuh. Tidak hanya ahli strategi perang tetapi ia sangat mahir juga dalam bercocok tanam serta ahli ilmu kejawen dan ilmu kebatinan. Ini yang membuat rakyatnya segan dan taat kepada peraturan dan kebijakan dibuatnya.

Kyai Juru Purbo dipercaya mengayomi dan melindungi rakyatnya. Banyak orang yang sudah membuktikan bahwa Kyai Juru Purbo sebagai pemimpin yang dapat mengayomi dan melindungi.

Pertama pada zaman perang melawan musuhnya, selama ada Kyai Juru Purbo peluru dan meriam tidak dapat menghancurkan Kampung Geneng.

Kyai Juru Purbo memiliki dua klangenan yaitu  Harimau  Loreng  dan Burung Puyuh. Hal tersebut banyak yang  membuktikannya.

Kedua, setelah jasadnya dimakamkan di makam Geneng. Untuk menghindari bahaya, baik bencana alam, maupun terjadinya peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkan oleh warga Geneng adalah mereka bersembunyi di area makam Kyai Juru Purbo maka warga yang mau bersembunyi disekitaran makam tadi akan aman dari aman bencana dan hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.

Saya juga pernah mengalami kejadian aneh, ketika saya sedang tidur sendirian di dalam gudang sebelum terjadi gempa, saya ditunggu seekor Harimau Loreng yang tidur dibawah saya. Tetapi nalar berpikir saya, tidak mungkin ada Harimau Loreng sebesar itu di sini.

Saya hanya berdoa semoga harimau tersebut lekas pergi dari bawah tempat  tidur saya. Setelah pergi meninggalkan saya, Harimau Loreng yang besar sekali berjalan ke arah utara lalu hilang tepat di area makam Kyai Juru Purbo.

Terkait Klangenan Burung Puyuh, jujur saya belum pernah mengetahui bentuk dan rupanya, tetapi pernah mendengar suaranya saja.

Saat ini, makam Kyai Juru Purbo ditunggui oleh Pak Iskak, sebagi juru kunci makam Kyai Juru Purbo.

Setahu saya, Kampung Geneng jika dilihat dari perkembangan sejarahnya Kampung Geneng pernah memiliki seorang Demang yang bernama Prawira Yudha. Kemudian Demang Prawira Yudha mempunyai beberapa anak yang menjadi aparat Kalurahan.

Pertama, ada yang menjadi lurah Cabeyan, namanya saya lupa. Kedua, ada yang menjadi Jagabaya Kalurahan Cabeyan. Ketiga, ada yang  menjadi Dukuh Geneng.

Adapun nama-nama Dukuh Geneng 1-3 adalah Darma Yudho, Suyatno dan Kertorejo.

Setelah zaman kemerdekaan, para pemimpin Kampung Geneng terdahulu berinisiatif untuk  memudahkan dalam mengatur dan memobilisasi warga Kampung Geneng berdasarkan blok masing-masing. Maka Padukuhan dipecah menjadi beberapa Kampung, antara lain sebagai berikut: Kampung Geneng (sebagai kampung teretua), Tegalsari, Ngentak, Ranutipan, Dukuh, Jogoripon, Mrisen dan Julantara.

Dari zaman dahulu, masyarakat Geneng sudah menyukai alat musik tradisional berupa gamelan. Semula gamelan yang dimainkan main barut-barut belum sempurna dan selengkap sekarang serta belum bisa menjadi wiyaga (penabuh gamelan), masyarakat mulai menabuh  gamelan  yang lebih lengkap sejak saya menjadi Dukuh Geneng.

Kesenian kedua yang berkembang pada masyarakat Geneng pada zaman dahulu adalah Sholawat Jawi. Kesenian ketiga yang berkembang selanjutnya adalah seni drama atau teater. Cerita yang disuguhkan dari naskah dramanya adalah lebih menggambarkan syetan dan manusia, menggambar perilaku baik dan buruk. Cerita dramanya juga menjabarkan isi rukun islam.

Kolaborasi antara alat musik gamelan, syairnya berbentuk Sholawat Jawi kemudian dibuatlah naskah drama tentang manusia dan syetan, merupakan media dalam mensyiarkan agama Islam kepada orang-orang abangan, agar mereka mengikuti ajaran islam.  Drama ini dipentaskan kemana-mana, sampai keluar daerah dan waktu seingat saya warga yang memusuhi pementasan drama tersebut adalah warga Sawit dan warga Cabeyan, notabene dua kampung ini masih banyak kaum abangannya.

Ada cerita bahwa di sebelah utara Kampung Julantara, siapa saja yang akan membuat sumur jika tidak izin terlebih dahulu dengan Dukuh Geneng, maka jangan harap bisa memperoleh air dari pembuatan sumur tersebut. Seperti yang pernah dialami oleh petani melon dari luar Panggungharjo ketika mau membuat sumur yang rencananya akan digunakan untuk mengairi tanaman melonnya, karena tidak meminta izin kepada Dukuh Geneng, sudah berapa kali mengebur sumur dekat di area sawah yang nota bene dekat dengan sungai, sumber air sumurnya tidak begitu dalam, tetapi sumurnya tidak dapat mengeluarkan sumber mata air (JNT).

Referensi :

Kertorejo (Dukuh Geneng).

Tentang Junaedi

Penulis esai. Penulis Buku Cuitan Wong Ndeso. Bekerja sebagai staf PSID, yang membawahi PCL.

Baca Juga

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X