Kesehatan

Peredaran Minyak Jelantah Adalah Kejahatan Kemanusiaan

Oleh

pada

Panggungharjo (Kumparan.com) – Minyak jelantah (minyak sisa penggorengan) selama ini hanya dibuang sia-sia. Bahkan tak jarang minyak sisa ini disalahgunakan karena banyak orang yang menampungnya dan mengedarkannya kembali ke pedagang-pedagang gorengan dalam bentuk curah. Melalui pasar tradisional, biasanya minyak-minyak tersebut bisa didapatkan kembali.

Jika ditelusuri, peredaran minyak jelantah tersebut merupakan kejahatan manusia. Sebab, minyak jelantah merupakan minyak yang sudah mengandung racun. Tak jarang pula, minyak jelantah sudah bercampur dengan kotoran ataupun juga bangkai-bangkai kecil seperti kecoa, tikus ataupun cicak. Bayangkan saja jika hal ini masuk ke tubuh manusia lewat makanan seperti gorengan.

Oleh para pengepul (pengumpul) minyak jelantah, sisa-sisa minyak hasil penggorengan ini hanya sekedar disaring kemudian dibungkus dengan plastik bening dan dijual di pasar tradisional. Biasanya harga perliter minyak jelantah ini lebih murah dibandingkan dengan minyak goreng kemasan buatan pabrik. Bisa dibayangkan kandungan yang ada dalam minyak tersebut cukup membahayakan jika masuk ke dalam tubuh.

Itulah yang menjadi dasar Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul. Sejak akhir tahun 2015 lalu mereka mulai mengumpulkan minyak jelantah dari warga. Melalui jejaring bank sampah yang khusus mengurusi minyak goreng, Bank Tigor atau sebutan pendek dari Bank Tilasan (bekas) Gorengan, BUMDes ini mengumpulkan minyak goreng milik warga dengan harga Rp 4.000,00 per liter.

Lurah Panggungharjo, Wahyudi Anggoro Hadi mengatakan, sejak awal mengumpulkan minyak goreng bekas (jelantah) sudah mulai melakukan penjajakan dan kerjasama dengan PT Danone Indonesia. Minyak jelantah tersebut diserap oleh PT Danone Indonesia dalam bentuk curah dan nanti akan diproses untuk bahan bakar diesel.

“Di pabrik, awalnya mereka memprosesnya sendiri,” tutur Wahyudi, Rabu (20/2/2019).

Awalnya, BUMDes hanya melakukan proses menghilangkan partikel terlarut hingga menjadi partikel mikro.

Namun sejak tahun 2016, BUMDes Panggungharjo mendapat bantuan alat pemrosesan minyak jelantah tersebut menjadi biodiesel. Melalui proses pemanasan hingga suhu 450 derajat serta penyaringan, minyak jelantah tersebut sudah berubah wujud menjadi bahan bakar diesel pengganti solar. Hasilnya mereka beri nama Fragcinated Bio Oils (FBO).

Hasil dari pemrosesan tersebut semuanya diambil oleh PT Danone Indonesia dan dijadikan bahan bakar diesel di pabrik milik Danone di Klaten, Jawa Tengah. Setiap bulan, BUMDes Panggungharjo bersama Jejaring Bank Sampah Mandiri di seluruh DIY ditargetkan memasok minyak hasil dari proses fisika minyak jelantah sebanyak 3.000 liter.

Di Panggungharjo sendiri, sudah ada tujuh Bank Tigor milik warga dari tujuh dusun yang rutin memasok minyak jelantah ke BUMDes Panggungharjo. Sementara dari Jejaring Bank Sampah Mandiri yang terdiri dari Bank-bank sampah di Kota Yogyakarta dan juga Kabupaten Bantul, BUMDes Panggungharjo juga mendapatkan pasokan.

“Misi kami bukan sekedar menampung minyak jelantah, tetapi memerangi kejahatan kemanusiaan,”tuturnya.

Ketua BUMDes Panggungharjo, Eko Pambudi menyebutkan, dari proses fisika tersebut, pihaknya mampu mendapatkan hasil sebanyak 98% dari minyak jelantah yang terkumpul dan semuanya diserap oleh PT Danone Indonesia. Selain di Klaten, sebentar lagi BUMDes ini juga akan memasok FBO ke pabrik Danone yang lain.

Potensi untuk FBO tersebut sangat besar, mencapai 800 ribu liter setiap tahunnya. Namun pihaknya masih kewalahan untuk mengumpulkan minyak jelantah dari masyarakat. Saat ini, di Panggungharjo sendiri baru sekitar 10% warganya yang mengumpulkan minyak jelantah melalui jejaring Bank Tigor. Edukasi memang perlu dilakukan lebih giat lagi.

“Dari masyarakat minyak tersebut kami beli Rp 4.000 untuk yang diantar dan yang kami ambil Rp 4.500 per liternya. Terus kalau sudah jadi FBO, kami jual Rp 7.200 per liternya. Uangnya yang mengelola BUMDes,”terangnya. (erl/adn)

Sumber:  Artikel tahun 2019 kumparan.com

Tentang nurafifah

Baca Juga

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X