Lingkungan

Di Kecamatan Ini, Pengantin Baru Wajib Lepas Burung ke Alam Bebas

pada

Panggungharjo (Koranbernas.id) – Kebijakan berupa imbauan yang diterapkan untuk warga Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul ini tergolong unik. Setiap pengantin baru diwajibkan melepas burung ke alam bebas.

Aturan tersebut merupakan bagian dari kearifan lokal untuk menjaga budaya, tradisi dan lingkungan. “Kami mengimbau pasangan pengantin  melepas sepasang burung ke alam bebas. Pelepasan burung tersebut dalam rangka menjaga kelestarian lingkungan,” ungkap Camat Sewon Drs Danang Erwanto MSi, kepada koranbernas.id, beberapa waktu lalu.

Menurut dia, imbauan ini dikeluarkan sejak dirinya menjabat sebagai Camat delapan bulan silam. “Alhamdulillah sudah banyak pasangan pengantin  yang melakukannya,” kata danang seraya menambahkan burung yang dilepas bisa jenis apapun.

Sewon merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Bantul yang wilayahnya berbatasan dengan Kota Yogyakarta.  Di sebelah timur, Sewon berbatasan dengan Kecamatan Banguntapan, sebelah selatan dengan Kecamatan Jetis dan Bantul serta sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Kasihan.

Kecamatan ini menyimpan beragam potensi yang bisa dikembangkan untuk meningkatkan taraf perekonomian dan kesejahteraan penduduk setempat yang tercatat 75.327 jiwa.

Salah satu potensi itu adalah Kampung Mataraman yang beralamat di Jalan Ring Road Selatan Dusun Glugo Desa Panggungharjo. Lokasinya berada persis di pinggir jalan sehingga sangat mudah dijangkau.

Ketika sampai di tempat yang dibangun pertengahan tahun 2017 silam oleh Pemerintah Desa Panggungharjo bekerja sama dengan BUMdes Panggung Lestari itu, kita serasa berada kembali pada suasana abad ke-19.

Konsep papan, pangan dan sandang yang dihadirkan di tempat itu juga kembali ke ratusan tahun lampau. Tengoklah masakan yang disajikan ada oseng genjer, sayur lodeh, sayur mbang gedang, apem, tempe dan tahu goreng garit serta menu tradisional lainnya.

Minuman yang disajikan selain minuman pada umumnya, juga tersedia wedang dhawetnan segar. Menu itu dimasak oleh juru masak menggunakan kayu bakar dengan tungku tradisional maupun anglo. Benar-benar nuansa masa lalu terasa kental.

Selain hidangan, di Rumah Mataraman  yang memiliki luas area enam hektar itu didapati dua rumah Joglo asli  yang bisa dipergunakan untuk menikmati makanan maupun tempat bersantai bersama keluarga dan kolega.

Menengok ke belakang bangunan, juga terlihat hamparan sawah. Bahkan kita bisa ikut merasakan mengolah sawah tersebut misalnya turut membajak.

Di halaman belakang bangunan terdapat tanah yang lapang bisa digunakan untuk bermain anak-anak dengan beragam permainan tradisional yang disediakan pengelola.

“Kita kembali merasakan peradaban manusia abad ke-19 yang sengaja kita munculkan. Karena memang konsep yang kita usung adalah edukasi berbasis budaya dan lingkungan,” kata Wahyudi Anggoro Hadi, Lurah Panggungharjo.

Dibangunnya Kampung Mataraman ini, lanjut lurah berprestasi nasional tersebut, juga untuk mengenalkan dan mengajak generasi sekarang menengok nenek moyang dan juga melihat budaya yang sangat identik dengan kerajaan Mataram.

“Di sini semua kita seting kembali ke masa lalu. Misalnya dapur yang kita sebut pawonadalah tempat belajar olah rasa. Sebab pawon itu sejatinya lokasi yang mengedepankan rasa. Kan kalau masak beragam bumbu, termasuk gula, garam, cabai dan lainnya diolah menjadi satu hingga menghadirkan rasa yang diinginkan,” katanya.

Dihadirkan pula kegiatan nutu padi, yang kini jarang ditemui. Nutu atau menumbuk padi dilakukan untuk mengolah padi yang sudah kering menjadi beras.

Suasana Abad ke-19

Untuk merasakan berbagai fasilitas dan juga suasana abad ke-19 di Kampung Mataraman tersebut tidak perlu merogoh kocek yang dalam. Harganya sangat terjangkau mulai Rp 8.500 untuk nasi dan sayur tradisional. Jika ingin beribadah, di tempat tersebut juga ada mushala serta toilet yang memadai.

Bukan hanya Kampung Mataraman, di Kecamatan Sewon ada Tembi Cultural House atau disebut dengan Museum Jawa di Dusun Tembi Desa Timbulharjo.

Tembi merupakan sebuah rumah Jawa tradisional lengkap dengan peralatan yang digunakan keseharian oleh masyarakatnya. Mulai alat kesenian,  senjata tradisional, alat permainan anak, alat membatik sampai dengan peralatan dapur yang semua digunakan oleh orang Jawa.

Ada juga situs Karang Gede yang berlokasi di Dusun Ngireng-lreng Desa Panggungharjo. Di tempat ini pernah ditemukan Yoni dan pada fondasinya ada susunan batu gundul dan susunan batu bata.

Ada juga Panggung Krapyak di Desa Panggungharjo. Bangunan ini pada zaman dahulu digunakan oleh kerabat keraton sebagai tempat untuk berburu kijang atau menjangan.

Camat Sewon Drs Danang Erwanto MSi mengatakan segala potensi yang dimiliki tersebut harus tetap dijaga dan dilestarikan sebagai sebuah kekayaan budaya dan bagian dari sejarah perjalanan manusia.

“Saya memberikan apresiasi atas keberadaan kampung Mataraman, ini langkah kreatif dan juga menjadi bagian dari pelestarian budaya yang ada di masyarakat Mataram,” kata Camat Danang.

Kampung itu memberikan manfaat yang besar bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di Panggungharjo mengingat keberadaanya dikelola oleh BUMDes sehingga muaranya dimanfaatkan bagi kepentingan masyarakat.

“Saya berharap  inovasi yang dilakukan oleh Desa Panggungharjo ini bisa menjadi contoh untuk tempat lain. Tentu disesuaikan dengan potensi wilayah masing-masing. Apa yang bisa dieksplorasi dan dikembangkan bagi kepentingan masyarakat,” katanya. (sol)

Sumber: Artikel tahun 2018 koranbernas.id

Tentang Fajar Budi Aji

Hanya seorang yang beranjak tua dan terus mencoba untuk lebih dewasa tanpa menghilangkan rasa kekanak-kanakannya. "Urip Iku Urup" dan "Rasah Wedi Dirasani Karena Hidup Banyak Rasa" Dua motto andalan inilah yang dijadikan pegangan dalam menjalani kehidupan sehari-harinya.

Baca Juga

1 Komentar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X