Ekonomi

Mengapa Minyak Goreng Terlalu Seksi bagi Kita

Oleh

pada

Apa kabar ibu-ibu rumah tangga di Kalurahan Panggungharjo? Apakah sampai saat ini, panjenengan semua masih terganggu dengan ketidaknyamanan terkait dengan persediaan minyak goreng kemasan di pasaran? Padahal kelangkaan persediaan minyak goreng  kemasan bermerk tertentu  berbanding lurus dengan harga minyak goreng kemasan per liternya yang semakin melonjak naik. Apakah selama kelangkaan stok minyak goreng kemasan di pasaran membuat panjenengan panik dan rela berantri ria di salah mini market yang nota bene hanya diperbolehkan membeli 1 atau 2 liter minyak goreng kemasan?

Sebetulnya jujur saya katakan, pada waktu itu saya  kurang begitu setuju ketika di luar Jawa di Sumatera, Kalimantan atau Papua yang dulunya masih memiliki keanekaragaman hutan yang terkenal dengan hutan heterogennya  kemudian dipaksa diganti menjadi hutan homogen dengan tanaman sawit dengan alasan program pemerintah yang mendapatkan endorse dari pihak perusahaan swasta bermodal besar. Tujuannya adalah supaya Indonesia menjadi negara produsen minyak sawit terbesar.

Setelah target Indonesia menjadi negara produsen minyak sawit terbesar tercapai , tapi malah kita sebagai warga negara Indonesia sendiri malah kesulitan untuk mendapatkan minyak sawit goreng kemasan. Dan ketika bisa mendapatkannya pun harga minyak goreng  kita jauh lebih mahal daripada negara Malaysia yang noya bene sebagai negara produsen minyak sawit kedua, inikan  sungguh sangat ironis. Padahal dampak dari penggantian hutan heterogen menjadi hutan homogen, sebagaimana kita keathui bersama  berapa banyak tanaman lokal, baik pangan maupun obat-obatan yang hilang beserta pengetahuannya.  Belum lagi  lebih  diprioritaskan produksi minyak sawit daripada produksi minyak kelapa biasa oleh warga desa yang merupakan produk lokal alternatif.

Kita semua yang seharusnya bangga dengan predikat Indoensia sebagai negara produsen minyak sawit terbesar di dunia, tetapi kita semua mendadak kecewa ketika harga minyak goreng kemasan yang berbahan baku sawit di negeri sendiri berbanding terbalik yaitu melambung begitu tinggi harganya. Patut diduga dalm hal ini ada yang salah dalam manajemen pengelolaan produksi minyak sawit ini, bahwa apa yang dilkukan negara selama ini sangat bertentangan dengan pasal 33 ayat 2 UUD 1945: “Cabang-cabng produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Dan pasal 33 ayat 3 UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Mengapa minyak goreng kemasan terlalu seksi bagi kita? Jangan-jangan ada skenario pasar dari para pelaku pasar penguasa bisnis minyak goreng kemasan  di negeri kita ini? Sehingga isu minyak goreng kemasan terus digoreng terus supaya menjadi trending topic sehingga dapat meningkatkkan sentimen pasar.

Mulai dari kelangkaan stok. Isu penimbunan stok. Isu kepanikan ibu-ibu ketika sedang belanja minyak goreng kemasan di warung-warung sembako, di pasar-pasar tradisional, di mini market-mini market, di swalayan-swalaya dan lain sebagainya. Juga diblow-upnya  penjaringan  opini-opini tokoh nasional, mulai dari kementrian perdagangan RI, anggota DPR RI , para selebritis, para buzer,  para netizen dan lain sebagainya. Juga terkait penjaringan opini lewat media, baik media elektronik, media massa mainstream maupun media sosial.

Semakin isu minyak goreng kemasan ini, semakin sering dibicarakan dan semakin sering  didiskuikan maka atas tujuan marketing akan mendongkrak sentimen pasar. Kalau sudah begitu tahukan siapa yang akan diuntungkan.

Berbicara minyak goreng kemasan, seyogyanya jangan sampai terlupakan terkait perspektif kesehatan. Bagaimana makanan yang diolah atau diproduksi dengan menggunakan minyak goreng, apakah selalu sehat dan tidak menyebabkan efek sampingkah? Jika jawabannya dengan mengkonsumsi makanan yang selalu  digoreng tidak masuk kategori makanan sehat  dan berdampak kurang baik bagi kesehatan tubuh kita, mengapa kita bela-belain dengan semangat 45 untuk mendapatkan minyak goreng kemasan dengan harga yang tinggi pula, mending kita pergunakan uang belanja membeli makanan yang dijamin kesehatannya dan tidak berdampak negatif  (terutama kesehatan tubuh ) bagi kita.

Yang jelas melalui proses penggorengan makanan akan mengurangi nilai gizi bahan utamanya, dan sebaliknya akan menambah kalori dan lemaknya. Adapun dampak negatif  bagi kesehatantubuh kita adalah ketika keseringan mengkonsumsi makanan gorengan akan berakibat kelebihan berat badan, meningkatkan  kolesterol darah, meningkatkan   risiko penyakit kardiovaskular (penyakit jantung), meningkatkan riisko terkena diabetes type 2, dan memperbesar risiko munculnya kanker.

Mengkonsumi makanan gorengan memang sih lezat rasanya, apalagi dengan bumbu yang gurih dan cara menggorengbya sampai  kering sehingga rasa krispinya semakin yumi. Apa kita tetap nekad untuk makan gorengan dengan risiko penyakit yang disebabkannya begitu besarnya . Sudahkan kita mencoba memakan masakan alternatif yang enak dan sehat yang cara memasaknya tanpa menggunakan minyak goreng misalnya dengan direbus, dikukus, dipanggang, dibakar dengan memperkaya referensi resep (menu) masakan nusantara.

Biarkan harga minyak goreng melambung naik, tapi kita jangan panik. Biarlah urusan harga pasar minyak goreng menjadi urusan pelaku bisnis minyak goreng kemasan mulai dari hulu hingga hilir, menjadi urusan pemerintah dan pihak swasta para penguasa minyak goreng kemasan. Yang penting urusan kita, adalah rumah tangga kita masing-maisng masih aman dan kendil kita dijamin tidak akan glimpang.

Intinya, mulailah kurangi sedikit demi sedikit memasak menggunakan minyak goreng. Mulailah sejak dari sekarang kurangilah sedikit demi sedikit mengkonsumsi makanan yang mengandung minyak jenuh. Mulailah sedikit demi sedikit mengkonsumsi makanan yang bersih dan sehat. Jika memungkinkan konsumsilah makanan yang bersumber dari lingkungan di sekitar kita yang jelas baiknya, jelas sumbernya dan jelas  cara memperolehnya (JNT).

Tentang Junaedi

Penulis esai. Penulis Buku Cuitan Wong Ndeso. Bekerja sebagai staf PSID, yang membawahi PCL.

Baca Juga

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X