Artikel Tamu

Membangun Desa, Merawat Budaya (Bagian III)

pada

Sambungan Membangun Desa, Merawat Budaya (Bagian II)
Baca juga : Membangun Desa, Merawat Budaya (Bagian I)

Guyub Rawat Budaya

Berbatasan langsung dengan kawasan perkotaan Yogyakarta, Desa Panggungharjo memiliki nilai strategis, baik secara wilayah maupun ekonomi. Akses yang mudah memberikan keuntungan bagi masyarakat Desa Panggungharjo. Segaris dengan hal tersebut, dari sisi ekonomi akan memberikan dampak yang signifikan.

Selain keuntungan, tentunya hal negatif mengintai daerah ini. Arus pendatang yang tidak terbendung, pembangunan yang masif di Kota Jogja tentu saja berimbas bagi Desa Panggungharjo. Selain arus manusia, informasi yang masuk membawa konsekuensi tersendiri bagi pola pikir masyarakatnya, terutama nilai masyarakat.

Hal ini dirasakan oleh Bambang, pengasuh kesenian Jatilan Manunggal Budaya yang berada di Dusun Dongkelan. Personil yang ia ambil adalah anak-anak yang broken home atau anak-anak yang tidak diperhatikan oleh orang tuanya lagi, sehingga bebas melakukan apa saja. Dari keprihatinan ini, Bambang beserta istri membina mereka untuk berkesenian, menghidupkan seni tradisi jatilan ataupun ketoprak. Buah dari hasil kerjanya, ada beberapa anak yang melanjutkan sekolah melalui kejar paket maupun bekerja.

Kekhawatiran lain adalah soal regenerasi untuk melanjutkan daur hidup komunitas budaya yang ada di Desa Panggungharjo. Melalui buku Pilar-pilar Bumi Panggung (2017) yang merupakan cerita komunitas budaya yang ada di Desa Panggungharjo, membantu saya untuk melihat beberapa permasalahan yang tampak di permukaan.

Sebut saja, kekhawatiran pengrajin blangkon. Saat ini sangat mengkhawatirkan, mereka tidak memiliki kader muda yang militan untuk melanjutkan apa yang sudah dirintis, Tidak hanya di Dusun Garon, tetapi secara umum perajin blangkon semakin sedikit.

Hal yang sama seperti yang dialami oleh kelompok Karawitan Laras Manunggal, semakin hari jumlah anggotanya semakin berkurang. Alasan yang jamak adalah karena kejenuhan para anggota. Tercatat hanya tiga orang anggotanya yang masih berusia muda.

“Memperkokoh potensi atau komunitas budaya kontra produktif jika melulu soal anggaran,” pernyataan ini disampaikan Fairuzul Mumtaz. Sejak ditunjuk mengelola Desa Budaya “Bumi Panggung”, kerja utamanya adalah menentukan titik pijak dengan melihat potensi budaya yang ada di Panggungharjo. Dari potensi yang ada maka dipilah dan dipilih, potensi yang vakum coba dihidupkan, bagi yang sudah mapan bagaimana dipertahankan dan digelorakan. Selanjutnya, bagaimana memperkokoh dan mempertahankan.

Jalan lain yang ditempuh adalah memperkokoh literasi dari masing-masing komunitas. Dengan harapan masing-masing komunitas mampu menciptakan bentuk-bentuk inovatif dan menarik, tata nilai (filosofi) serta kedisiplinan untuk menghasilkan karya. Dari hal tersebut maka akan melahirkan bargaining bagi komunitas.

Kerja bersama menjadi kunci dalam kerja budaya ini, hal ini Ia rasakan ketika mengadakan perhelatan ulang tahun Panggungharjo ke 71, semangat-semangat pemuda sudah bergelora jika dibandingkan tahun sebelumnya. Gairah berkesenian sudah mulai tampak di sudut-sudut Desa Panggungharjo.

Pasang surut yang dihadapi oleh beberapa komunitas adalah pengalaman berharga dalam membangun kembali kesenian di Desa Panggungharjo. Contoh nyata dapat dilihat dari komunitas yang mampu bertahan karena keterbatasannya, seperti Jolelo di Dusun Cabeyan, bermula dari keterbatasan melahirkan seni  tradisi yang hidup sampai saat ini.

Diceritakan, hadirnya seni ini karena gandrungnya penduduk dusun tersebut terhadap seni tradisi. Jolelo adalah inovasi kreatif dari Mbah Mangundikromo dan Mbah Mangundarmo yang mengubah gamelan dengan rebana. Jolelo sendiri diambil dari kata Ojo Gelo. Pesan bagi generasi saat ini, untuk menjawab tantangan zaman adalah bersama merawat budaya.

Perjalanan kebudayaan dan kesenian Desa Panggungharjo tidak terlepas dari peran semua pihak. Andil pemimpin dalam hal ini sangat besar untuk menopang kerja budaya tersebut.

Menarik membaca prolog dari Muhidin M. Dahlan (Gus Muh) dalam buku Pilar-pilar Bumi Panggung, setidaknya ada 3 pilar yang harus dimiliki Desa Panggungharjo. Ketiga pilar tersebut merupakan adopsi dari konsep desa merdesa, yaitu;

  1. Data: pada pilar ini bagaimana desa memiliki akses informasi dan pengetahuan yang adil, terbuka, dan kreatif untuk mengembangkan nilai-nilai baru.
  2.  Daya: pilar daya adalah Kemampuan masyarakat dan kapasitas kelembagaan untuk mengelola dan mengambil keputusan. Warga, yang dibarengi kelenturan tata kelola pedesaan, Memiliki moda produksi yang mampu memenuhi kebutuhan konsumsi secara berkelanjutan.
  3. Dana: pilar terakhir ini diharapkan memiliki keseimbangan makro dan mikro ekonomi yang mampu memandirikan kemampuan lokal. Di mana desa mendorong kewirausahaan sosial dan budaya masyarakat. Kemampuan adaptif untuk berhadapan dengan ekonomi pasar bebas dan global.

   Laku budaya; Kampung Mataraman, seni tradisi dan pengembangan komunitas yang dibangun di Desa Panggungharjo merupakan usaha membangun tiga nilai tersebut. Kebudayaan bukan sebagai ruang kosong dalam struktur sosial masyarakat. Berkesenian bukan hanya menampilkan sisi estetis semata, tetapi muncul sebagai tantangan menghadapi zaman. Solidaritas organik yang selama ini telah terbentuk menjadi modal sosial desa, sembari menghidupkan ruang produksi yang ada di Desa Panggungharjo, sebagaimana namanya ‘Panggung Kesejahteraan’. (RENDRA AGUSTA)

Tentang Fajar Budi Aji

Hanya seorang yang beranjak tua dan terus mencoba untuk lebih dewasa tanpa menghilangkan rasa kekanak-kanakannya. "Urip Iku Urup" dan "Rasah Wedi Dirasani Karena Hidup Banyak Rasa" Dua motto andalan inilah yang dijadikan pegangan dalam menjalani kehidupan sehari-harinya.

Baca Juga

1 Komentar

  1. Pingback: Membangun Desa, Merawat Budaya (Bagian II) - Panggungharjo

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X