Sosial

Lunturnya Tradisi Ujung

Oleh

pada

“Kepareng matur dhumateng Simbah …. Sepisan ngaturaken salam taklim dhumateng Simbah. Atur ingkang angka kalih, ngaturaken kawilujengan Simbah sak kulawarga. Bilih atur sak lajengipun, ngaturaken sugeng riyadi 1 Syawal 1443 H. Sedaya lepat ingkang boten sengaja napadhene ingkang disengaja, saking tindak sak lampah, lan saking atur sak klimah ingkang boten nuju prana dhumateng Simbah, wonten sak dangunipun setunggal tahun nyuwun agunge samudra pangaksami. Mugi-mugi saged dipun lebur wonten dinten riyadi punika lantaran Simbah kalih kula”.

Demikian satu contoh kalimat yang sering diucapkan pihak yang lebih muda kepada yang lebih tua, ketika seorang warga masyarakat memulai ikrar dalam tradisi ujung.

Tradisi ujung merupakan salah satu kegiatan sosial yang waktu itu masih banyak dilakukan oleh warga masyarakat di desa. Tradisi ujung biasanya dilakukan oleh warga masyarakat setiap tahun setelah memasuki awal bulan Syawal. Pada sekitar tahun 1990-an ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di bumi Panggungharjo, tradisi ujung ini masih banyak dilakukan oleh sebagian besar warga masyarakat Panggungharjo termasuk di kampung kecil saya. Tetapi mulai sekitar tahun 2000-an pelan-pelan mulai tergerus akibat maraknya penggunaan smartphone (ponsel pintar) yang menjadi barang inklusif dan banyak dimiliki banyak orang, maka tradisi ujung mulai ditinggalkan.

Anak tidak harus serta merta menjalani tradisi ujung kepada orang tua, cukup diwakili dengan berkomunikasi menggunakan ponsel pintar ketika lebaran tiba.  Ditambah lagi, adanya gagasan acara syawalan antar warga masyarakat langsung on the track setelah selesai sholat Idul Fitri. Kedua hal tersebut “dianggap” cukup menggantikan tradisi ujung. Padahal dibalik keelokan tradisi ujung menyimpan banyak hikmah dan pelajaran hidup yang perlu di gali lebih lanjut  oleh manusia sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial tentu saja tidak dapat terhindar dari salah dan dosa, ketika berinteraksi sosial di masyarakat kampung maupun di desa.

Dalam sekup terkecil adalah dalam hubungannya dengan kedua orang tua, saudara kandung, saudara terdekat, dan tetangga kita. Tradisi ujung merupakan forum silaturahmi langsung secara tatap muka (berkunjung) antara anak dengan orang tua, murid dengan guru, pemuda dengan sesepuh dan lain sebagainya. Dengan tujuan saling berikrar secara langsung, secara jujur saling mengakui kesalahannya masing-masing. Dan saling memaafkan satu sama lainnya. Membuang jauh-jauh egosime masing-masing. Menghilangkan dendam, sakit hati yang selama ini hanya dipendam dalam hati masing-masing. Dan saling berikrar satu per satu, sangat individu karena menyangkut orang per orang tanpa perantara.

Jadi ikrar syawalan, yang diucapkan secara jamaah atau diwakilkan oleh perwakilan kelompok umur tertentu menurut saya kurang afdhol. Berbeda dengan tradisi ujung menurut saya ruhnya sangat luar biasa. Karena dosa yang bersifat hablun minnas harus mendapatkan keridhoan, keikhlasan, dan kehalalan dari seorang yang pernah kita sakiti atau yang pernah menyakiti kita secara langsung baik lahir maupun batin. Sementara dosa yang bersifat hablun minallah, melalui ibadah yang dilakukan di bulan suci Ramadhan oleh semua umat Islam, maka semua dosa yang telah berlalu sudah diampuni oleh Allah SWT karena sifat Ghofurur Rahim-Nya. Inilah yang dinamakan halal bi halal dalam arti sebenarnya, harus memenuhi  dua syarat tersebut, hablun minnas dan hablun minallah.

Bagaimana pendapat panjenengan terkait tradisi ujung ini? Apakah masih terjaga dan terpelihara dengan baik di kampung-kampung panjenengan di wilayah Panggungharjo? Atau malah sudah luntur  keberadaan tradisi ujung tersebut.

Karena sesungguhnya tradisi ujung yang dilakukan oleh warga masyarakat di setiap bulan Syawal adalah manifestasi dari ajaran silaturahim. Secara bahasa, silaturahim berasal dari dua kata yaitu “silah” yang berarti hubungan, dan  “rahim”  yang berarti keluarga. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: “Barang siapa yang ingin di panjangkan umurnya dan di tambah rizqinya maka hendaklah ia mempererat tali silaturahim”. Dan juga sesuai dengan bunyi hadits Nabi Muhammad SAW : “Barang siapa beriman kepada Allah dan  hari akhir maka hendaknya ia memuliakan tetangganya. Dan barang siapa beriman kepada Allah dan  hari akhir maka hendaknya ia memuliakan tamunya”(JNT).

Tentang Junaedi

Penulis esai. Penulis Buku Cuitan Wong Ndeso. Bekerja sebagai staf PSID, yang membawahi PCL.

Baca Juga

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X