SEJARAH KAMPUNG

Larangan Hari Sabtu Pahing bagi Warga Kampung Pelemsewu

Oleh

pada

Sejarah Kampung Pelemsewu setelah  digali lebih dalam lagi, menurut Sari Widigdo (Dukuh Pelemsewu Kedua)  adalah sudah ada sejak zaman Sri Sultan Hamenku Buwono  (HB) VIII. Menurut cerita dari orang tua dan simbah-simbah saya,  konon ceritanya pada zaman dahulu hampir semua (di setiap depan rumah)  warga kampung tersebut terdapat banyak  pohon Mangga Nanas yang mengitari kampung tersebut.

Dan  jika dihitung secara detail  jumlahnya kuang lebih sekitar seribuan pohon Mangga Nanas. Mangga Nanas merupakan salah satu jenis mangga yang memiliki buah lebih kecil dan warnanya orange, baik buah maupun kulitnya, selain itu kulitnya berserat sehingga sering nyangkut di gigi jika memakannya dan buahnya mengandung banyak air.

Tumbuhnya ponon Mangga Nanas di sekitar kampung tersebut, hingga ketika kampung tersebut mengalami perkembangan kehidupan warga masyarakatnya, selanjutnya kampung tersebut diberi nama Kampung Pelemsewu. Secara administratif, Kampung Pelemsewu terbagi menjadi tiga yaitu Kampung Pelemsewu, Kampung Karangnangka dan Kampung Pelemsewu Tempel.

Menurut infromasi dari para orang tua dan para sespuh kampung bahwa Kampung Pelemsewu memilki  empat cikal bakal yaitu : Kyai Apik, Nyai Apik, Kyai Noyo Gati dan Nyai Noyo Gati. Tetapi menurut para sespuh bahwa Danyange Kampung Pelemsewu adalah perempuan.  Hal ini dapat dibuktikan ketika terjadi kemalingan pada warga setempat, jika sampai pencurinya dapat ditangkap maka tidak ada seorang warga pun tidak ada yang berani melakukan tindakan main hakim sendiri (laku wargan kampungya yang cendeung “alusan”).

Satu lagi terkait larangan bagi semua warga Kampung Pelemsewu adalah adanya hari pantangan (larangan) bagi semua warga Kampung Pelemsewu yang akan mengadakan perhelatan (hajatan) apapun tidak diperbolehkan memakai hari Sabtu Pahing. Konon ceritanya jika ada salah satu warga Kampung Pelemsewuyang nekat mengadakan hajatnya pada hari Sabtu Pahing pasti bakal menemui bebendu (banyak masalah yang rumit).

Hari Sabtu Pahing yang merupakan  hari larangan (pantangan) bagi semua warga Kampung Pelemsewu yang akan menghelat hajatan, tentu saja bagi warga  Kampung Pelemsewu yang masih memegang  teguh ajaran atau naluri kejawen ini, bisa dipastikan akan menghindari hari Sabtu Pahing tersebut.

Ada salah satu tokoh tereknal dari Padukuhan Pelemsewu yang bernama Mantri Kismo Sumarmo. Mantri Kismo Sumarmo, atau ada juga yang menyebutnya dengan Hardjo Sumarto, pernah menjabat sebagai Carik Kalurahan Krapyak. Tetapi setelah selesainya sejarah Kalurahan Krapyak pada tahun 1946,  selanjutnya  bergabung tiga kalurahan yaitu Kalurahan Cabeyan, Kalurahan Krapyak dan Kalurahan  Cabeyan, maka Kampung Pelemsewu akhirnya menjadi Padukuhan Pelemsewu dengan Lurah Panggungharjorjo Pertama adalah Bapak Mantri Kismo Sumarmo yang selanjutnya dikenal dengan nama Hardjo Sumarto. Dan secara kebetulan bahwa kantor Pemeritah  Kalurahan Panggungharjo berada di wilayah Padukuhan Pelemsewu.

Secara administratif  Padukuhan Pelemsewu sejak bergabung dengan Kalurahan panggungharjo sudah tiga kali melakukan pemilihan dukuh hingga saat ini. Adapun nama-nama Dukuh Pelemsewu  sejak tahun 1946 hinggga saat ini adalah: Rejo Pranoto (Dukuh Pelemsewu Pertama), Sari Widigdo (Dukuh Pelemsewu Kedua), dan Waskita (Dukuh Pelemsewu Ketiga).  Sari Widigdo yang lahir pada tahun 1947 dan purna tugas menjadi Dukuh Pelemsewu pada tahun 2010.

Pada zaman agresi militer Belanda tahun 1949, ketika terjadi peperangan antara rakyat Indonesia dengan tentara Belanda, Kampung Pelemsewu pernah menjadi posko Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada awal mulanya berdirinya posko TKR belum diketahui keberadaan oleh tentara Belanda. Pada waktu itu TKR dipimpin oleh Jenderal Widodo. Dalam posko Pelemsewu ini, berfungsi sebagai tempat persembunyian para pejuang kemerdekaan RI  dan sekaligus digunakan untuk mengobati para TKR yang terluka oleh tembakan senjata tentara Belanda.

Satu lagi cerita Kampung Karangnangka, yang merupakan bagian dari Padukuhan Pelemsewu. Menurut Prayitno Diharjo, pria kelahiran tahun 1946 ini, bahwa Kampung Karangnangka dulunya terbagi menjadi 3 Kampung, yaitu Karangnangka Tempel, Karangnangka Sanggrahan dan Karangnangka itu sendiri. Kemudian Karangnangka Tempel bergabung ikut Padukuhan Kweni, sementara Karangnangka Sanggrahan bergabung dengan Karangnanngka. Saat ini, hanya ada satu yaitu Kampung Karangnangka saja. Mengulik cerita sejarah asal usul Kampung Karangnangka, secara turun temurun jarang yang mengetahuinya. Disamping tidak ada yang menceritakan dari mulut dari para orang tua atau simbah-simbah pada zaman dahulu, juga karena keterbatasan nara sumbernya.

Menurut pria yang berusia 77 tahun, yang juga merupakan salah satu prajurit keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ini, dahulu di karangnangka terdapat tanah pesanggrahan milik keraton. Makanya dalam perkembangannya ada nama Kampung Karangnangka Sanggrahan.

Sementara Kampung Karangnangka dibatasi oleh Kali Buntung, dari jembatan sebelah selatan sampai jembatan sebelah utara. Konon ceritanya disekitar Kali Buntung ini wingit tempat mulai dari jembatan utara sampai jembatan selatan dekat Embung Julantara sekarang. Barangsiapa ada pemuda atau remaja yang merasa adigang, adigung dan adiguna (sombong) maka bisa dipastikan bakal kerasukan makhluk halus.

Di sebelah utara barat  jembatan dekat Embung Julantara terdapat belik (mata air). Terkait kedalaman mata iar ini, pernah diukur dengan memasukkan bambu sepanjang kurang lebih 20 meteran tetapi masih tenggelam bambunya. Sepanjang Kali Buntung terdapat dua jenis ikan yang tidak boleh sembarangan untuk menangkapnya, yaitu ikan jenis Kutuk Benguk (sejenis ikan gabus yang perutnya berwarna merah) dan jenis ikan lele (tetapi tinggal durinya saja, jadi tampak hanya kepala, duri dan ekornya saja).

Bagi siapa saja yang bertemu dengan dua jenis ikan tersebut harus dilepaskan jika ingin selamat dari gangguan makhluk halus. Di sebelah timur belik ke utara banyak tumbuh Pohon Gayam dibantaran Kali Buntung, konon ceritanya tidak ada menanam tetapi tumbuh dengan sendirinya. Dan bisa dipastikan ketika Pohon Gayam tumbuh dengan sendiri bisa dipastikan ada makhluk halus yang menghuninya.

Terkait tempat mistis yang diduga sangat wingit keberadaannya adalah terdapat pada dua tempat. Pertama, pada Pohon Gayam paling besar yaitu di area cangkruk (pos ronda) Kampung Karangnangka. Kedua, pada pohon Jambu Kelutuk di Karangnangka sebelah utara. Karena mas saya sendiri  juga pernah kerasukan makhluk halus di Pohon Jambu Kelutuk dan sampai diundangkan paranormal yang bernama Simbah Putri Kertopawiro (kebetulan masih simbah sendiri). Yang memiliki keahlian khusus mengusir makhluk halus yang merasuki tubuh manusia.

Konon ceritanya, bahwa Danyange Kampung Karangnangko bernama Kasan, yang diperkirakan dulunya menempati sekitar cangkruk (pos ronda) tadi. Jadi kalau ada warga Kampung Karangnangka yang sedang hajatan ketika membuang sesaji yang paling besar diletakkan di sekitar Pohon Gayam yang paling besar di area dekat pos randa. Tetapi sekarang Pohon Gayam paling besar sudah tidak ada, adanya Pohon Gayam yang kecil.

Terkait tempat yang mistis lagi, adalah di Embung Julantara sekarang. Teapat di timur Embung Julantara terdapat Pohon Serut. Konon katanya, di Pohon Serut tersebut banyak yang bertapa (nenepi) meminta sesuatu, ada yang minta supaya diberi hidup mulia, ada meminta supaya diberi rezeki yang banyak dan lain sebagainya.

Satu lagi terkait dam yang sekarang terdapat di pojok barat selatan dari Embung Julantara. Pas diposisi dam saat ini, karena debit air mengalir cukup deras dari atas hingga ke bawah dam, maka tempat tersebut dinamakan Jolontoro. Barangkali nama Embung Julantoro saat ini, mengambil dari nama Jolontoro tersebut.

Sebelum mengakhiri ceritanya, Prayitno Diharjo mengenang sejarah pada masa agresi militer Belanda. Bahwa pada saat itu, banyak rumah-rumah warga kampung Karangnongko yang dibakar oleh tentara Belanda. Pada waktu saya masih kecil. Saya tidak diperbolehkan keluar rumah, cukup di dalam rumah dan dilarang bicara oleh orang tua saya. Alhamdulillah akhirnya rumah saya tidak dibakar oleh tentara Belanda.

Rumah orang tua saya yang bernama Atmodimejo, pernah digunakan sebagai tempat pengungsian warga dari mana saja yang lari ketakutan akibat kebiadaban tentara Belanda. Dan semua warga yang mengungsi di rumah orang tua saya diberi makan seadanya oleh ibu saya.

Ada satu cerita mengenaskan yang terjadi pada salah satu warga Kampung Karangnangka (namanya saya lupa), yang disuruh memanjat pohon kelapa untuk dipetik  kelapa mudanya yang selnjutnya diserahkan kepada tentara Belanda. Sesampainya memetik kelapa muda tersebut dan baru saja turun dari memanjat pohon kelapa tiba-tiba ditembak oleh tentara Belanda, dan meninggal dunia di tempat.

Setahu saya, dari Kampung Karangnangka terdapat dua orang pejuang Veteran Republik Indonesia yaitu Adi Sumarto dan Purwodiyo.  Sebetulnya ada banyak  pejuang veteran dari warga Kampung Karangnangka tetapi keluarganya tidak ada yang mau mengurus pensiunnya (JNT).

Referensi:

  1. Sari Widigda , Dukuh Pelemsewu Kedua.
  2. Prayitno Diharjo, tokoh sesepuh masyarakat Kampung Karangnangka Paukuhan Pelemsewu.

 

Tentang Junaedi

Penulis esai. Penulis Buku Cuitan Wong Ndeso. Bekerja sebagai staf PSID, yang membawahi PCL.

Baca Juga

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X