Seni Budaya

Krapyak: Dalam Bingkai Keistimewaan Sumbu Filosofi Kraton Yogyakarta

Oleh

pada

Berikut karya esai yang mendapatkan juara 2, yang telah dinilai oleh juri. Dan dengan bangga kami muat esai juara 1-3 dan 2 juara favorit pilihan juri, dalam website kami dan dapat dikunjungi melalui laman berikut  https://www.panggungharjo.desa.id, untuk menjaga otentitas karya dari peserta lomba sengaja tidak kami edit.

Sumber data mengenai Krapyak tidak banyak dan hanya ditemukan di Babad. Untuk periode tertua keberadaan Krapyak diketahui dari nama anumerta Pangeran Anyakrawati, yakni Panembahan Seda Ing Krapyak (Adrisijanti, 2000). Nama tersebut menggambarkan keberadaan Krapyak di kerajaan Mataram Islam. Dari Babad Momana diketahui bahwa Pangeran Anyakrawati memerintahkan untuk membuat krapyak di Beringan pada tahun 1533 Saka atau 1611 M. Menurut Ricklefs (1974), Beringan di dalam sumber Babad dan tradisi lisan dikenal sebagai alas beringan, yaitu tempat yang dipilih pada tahun 1755 M untuk lokasi Kraton Yogyakarta. Tempat ini sampai sekarang dikenal sebagai Kampung Krapyak dan di tempat inilah Panggung Krapyak, yang merupakan titik selatan pada aksis utara – selatan kota Yogyakarta.

Keberadaan Panggung Krapyak, Kraton Yogyakarta, dan Tugu Pal Putih yang berada pada satu garis lurus selatan hingga utara mengandung falsafah Jawa Sangkan Paraning Dumadi, yang merupakan pêpèling atau pesan moral kepada manusia untuk selalu ingat dan waspada (èling lan waspadha) akan perjalanan hidupnya. Konsep atau falsafah Jawa Sangkan Paraning Dumadi yang terhubung dalam satu garis lurus ini disebut dengan sumbu filosofi. Dalam memahami konsep sumbu filosofi Sangkan Paraning Dumadi ini dapat kita tinjau melalui dua interpretasi, yaitu konsep Sangkaning Dumadi (awal mula kehidupan atau kelahiran manusia) dari Panggung Krapyak hingga Kraton Yogyakarta, dan konsep Paraning Dumadi (akhir perjalanan kehidupan manusia atau kemana manusia akan kembali) dari Tugu Pal Putih hingga Kraton Yogyakarta (Disbud DIY, 2015).

Sumbu Filosofi lebih bernuansa karya, pemikiran dan budaya manusia. Sumbu Filosofi Yogyakarta yang berupa bangunan dan vegetasi (jenis tanaman tertentu), merupakan warisan Pangeran Mangkubumi, yang mengandung nilai spiritual dan budaya dengan mengusung alkulturasi antara agama Islam dan kearifan Jawa. Manusia merupakan makhluk yang memiliki kesadaran, memiliki pengetahuan, atas apa yang diperbuat, serta memiliki tujuan atas perbuatannya tersebut. Nilai ini merupakan bagian dari spiritualisme Jawa yang bertujuan menuntun manusia untuk mengenal Tuhan dengan cara menelusuri perjalanan hidupnya, dengan mencari, mengenali, menghayati, dan menyadari asal usul kehidupan, proses hidup, dan tujuan hidup di dunia ini sampai dapat menemukan kembali dan berjumpa dengan Tuhan yang menciptakannya.

Ajaran Sangkan Paraning Dumadi tertuang dalam naskah-naskah Islam kejawen, seperti Serat Dewa Ruci, Serat Wirid Hidayat Jati, Serat Wulangreh. Dalam ajaran Islam disebut, Sangkan Paraning Dumadi dapat disamakan dengan ayat innalillahi wa innailaihi roji’un. Sumbu filosofi berada dalam kerangka kosmologi sumbu imajiner Gunung Merapi – Kraton – Laut Selatan. Kraton Yogyakarta sebagai cikal bakal Kota Yogyakarta dibangun berdasarkan keselarasan antara makro-kosmos dan mikro-kosmos yang menggambarkan keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan (habluminallah) dan hubungan sesama manusia (habluminannas).

Konsep kosmologi yang dimanifestasikan dalam tata ruang Kota Yogyakarta, memperlihatkan bahwa pendiri Kraton Yogyakarta, Pangeran Mangkubumi, menempatkan manusia dan proses kehidupannya dalam alam semesta. Manusia sebagai jagad cilik (mikrokosmos) merupakan satu kesatuan dengan alam semesta, jagad gedhe (makrokosmos). Pengertian satu kesatuan ini berupa peleburan diri manusia terhadap alam semesta (cedhak tanpa senggolan, adoh tanpa wangenan) (Permono, 2021).

Manusia dianggap sebagai aspek penting dalam kebudayaan Jawa, sehingga daur hidup manusia juga merupakan hal yang penting, terutama terkait dengan tiga ritus daur hidup manusia yakni kelahiran (sangkan), pernikahan (kedewasaan) dan kematian (paran). Dengan demikian menjadi jelas bahwa Kraton Yogyakarta dalam mengatur tata ruangnya menggambarkan proses daur hidup manusia, Sangkan Paraning Dumadi, asal dan tujuan dari keberadaan. Konsep kosmologi Jawa, ide dan gagasan Pangeran Mangkubumi ini, kemudian diwujudkan dalam berbagai bentuk warisan budaya, arsitektur, tata ruang kota, lanskap Kota Yogyakarta.

Ungkapan Sangkan Paraning Dumadi sejatinya bernuansa Islam-Jawa. Makna Sangkan Paraning Dumadi pada dasarnya selaras dengan penggalan QS. Al-Baqarah (2): 156 yaitu inna lillahi wa inna ilaihi roji’un yang memiliki terjemahan ‘segala sesuatu itu berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan’. Sumbu Filosofi terdiri atas dua penggal (Permono, 2021), pertama berupa sumbu Sangkaning Dumadi atau innalillahi yang melambangkan perjalanan manusia dari kelahiran hingga berumah tangga, membentang dari Panggung Krapyak menuju Kraton. Penggal kedua adalah sumbu Paraning Dumadi yang membentang dari Tugu Pal Putih menuju Kraton yang melambangkan perjalanan kembalinya manusia kepada Sang Khaliq atau inna ilaihi roji’un.

Menurut Heddy Shri Ahimsa-Putra (2018), simbol adalah segala sesuatu yang dimaknai. Secara simbolik Panggung Krapyak adalah bagian awal dari tiga titik sumbu filosofi Sangkan Paraning Dumadi yakni Panggung Krapyak – Kraton – Tugu Pal Putih. Panggung Krapyak menggambarkan Yoni, alat kemaluan wanita, sedangkan kelamin pria dilambangkan sebagai Tugu Pal Putih, sedangkan Kraton dilukiskan sebagai tempat bersemayamnya ruh-ruh. Pertemuan antara Tugu dan Panggung Krapyak menghasilkan janin, dan kemudian Tuhan meniupkan ruh ke dalam janin maka jadilah diri manusia.

Bangunan Panggung Krapyak berbentuk mirip kastil setinggi sepuluh meter, terletak sekitar dua kilometer selatan Kraton. Pada mulanya Panggung Krapyak merupakan bangunan tempat rusa ditambatkan saat Sultan dan para abdi dalem melakukan perburuan. Menurut Nur Kolis (2008), sebagai cagar perburuan yang dikitari pagar merupakan simbolisasi alam arham. Alam arham adalah tempat bersemayamnya jiwa setelah berpisah dari esensi Ilahiyah namun belum memasuki tahapan embrio.

Lebih lanjut Nur Kolis menjelaskan, secara wadag Sultan memelihara rusa di area tertutup (Panggung Krapyak) menyimbolkan Allah menahan jiwa manusia (di Lauh Mahfudz) untuk nantinya diturunkan ke dunia. Dengan demikian Panggung Krapyak merupakan penggambaran awal proses kehidupan manusia. Pada intinya, keseluruhan titik-titik Sangkan Paraning Dumadi mengandung makna perjalanan dari jabang bayi tumbuh menjadi anak-anak, remaja hingga dewasa, menikah dan berkeluarga, di mana masing-masing tahap mengandung perilaku yang baik.

Bahwa harmonisasi antara alam, manusia dan Tuhan merupakan keniscayaan. Oleh karena itu manusia dalam konteks antroposentris memegang tanggung jawab penting atas kelestarian alam dan keharmonisan dunia. Manusia sebagai Khalifah di bumi artinya manusia bermukim di bumi bersama entitas lain seperti hewan, tumbuhan dan alam sehingga manusia perlu menjadi pribadi yang sadar ruang dan waktu di bumi untuk mengelola sekaligus merawat eksistensi entitas lainnya tersebut. Seorang Khalifah berbeda dengan entitas lain seperti hewan, vegetasi dan alam, karena manusia secara otentik mempunyai kemampuan berpikir dan berbudi daya.

Alam semesta merupakan suatu tatanan, suatu kosmos, dan bekerja dengan hukum-hukum serta potensi-potensi yang diletakkan di dalamnya sebagai sunatullah. Pun demikian dengan konsep dan tata ruang bangunan kota-kota Jawa berhubungan erat dengan prinsip-prinsip filsafat serta religius-budaya yang dipahami sebagai sebuah kesatuan kolektif pada waktu tertentu (Santoso, 2008). Perilaku manusia dalam konteks ini adalah masyarakat Kota Yogyakarta pada umumnya, dan warga Krapyak pada khususnya, memang diberi kebebasan, namun dalam skala proporsional, terkandung “manifestasi” Tuhan di dalamnya sehingga kebaikan perilakunya senantiasa muncul.

Kebaikan perilaku dimanifestasikan dengan menjaga lingkungan dan budaya termasuk keberadaan dan kelestarian sumbu filosofis perlu diinternalisasikan sebagai sebuah keistimewaan. Peran Tuhan dalam semua aspek senantiasa hadir dan sentral sebagaimana makna sumbu filosofi Kota Yogyakarta Sangkan Paraning Dumadi.

Krapyak, istimewa ruangnya, istimewa orangnya ….

Daftar Pustaka

Ahimsa-Putra, Heddy, Shri. (2012). Fenomenologi Agama: Pendekatan Fenomenologi untuk memahami Agama, Walisongo, Volume 20, No. 2.

Dinas Kebudayaan DIY, (2015). Buku Profil: Yogyakarta City of Philisophy, Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta

Inajati Adrisijanti; Anas Syahrul Alimi; Ade Ma’ruf. (2000). Arkeologi perkotaan Mataram Islam / Inajati Adrisiyanti; editor, Ade Ma’ruf, Anas Syahrul Alimi. Jendela, Yogyakarta.

Jo Santoso. (2008.). Arsitektur-kota Jawa : Kosmos, kultur & kuasa; penyunting teks dan foto, Ardi Yunanto & Gita Hastarika. Jakarta Centropolis.

M.C. Ricklefs. (1974). Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi 1749-1792 : A History Of The Division Of Java. London : Oxford University Press

Nur Kolis. (2018). Ilmu Makrifat Jawa Sangkan Paraning Dumadi: Eksplorasi Susfistik Konsep mengenal Diri dalam Pustaka Islam Kejawen Kuci Swargo Miftahul Janati. Ponorogo: Nata karya.

Permono, A. (2021). Sangkan Paraning Dumadi Sumbu Filosofi Yogyakarta: Dalam Lensa Fenomenologi-Hermeneutika. Nun: Jurnal Studi Alquran dan Tafsir di Nusantara7(1), 163-208.

Juara 2 Esai Lomba Menulis Esai Sumbu Filosofi karya Yusticia Eka Noor Ida, warga Krapyak Wetan RT 02 Kalurahan Panggungharjo.

Tentang Junaedi

Penulis esai. Penulis Buku Cuitan Wong Ndeso. Bekerja sebagai staf PSID, yang membawahi PCL.

Baca Juga

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X