Seni Budaya

Konsep Sangkan Paraning Dumadi dan Relevansinya dalam Mengatasi Problematika Generasi Milenial

Oleh

pada

Berikut karya esai yang mendapatkan juara 3, yang telah dinilai oleh juri. Dan dengan bangga kami muat esai juara 1-3 dan 2 juara favorit pilihan juri, dalam website kami dan dapat dikunjungi melalui laman berikut:  https://www.panggungharjo.desa.id, untuk menjaga originalitas karya dari peserta lomba sengaja tidak kami edit.

Dewasa ini generasi milenial hidup dalam dunia perkembangan teknologi informasi dan penggunaan sosial media yang masif. Persebaran informasi yang cepat, sumber belajar yang luas, dan ruang berekspresi yang terbuka lebar menjadi beberapa dampak positif perkembangan teknologi informasi yang dapat dirasakan saat ini. Namun beberapa hal negatif seperti hoax, bullying, intoleransi, dan isu SARA juga dengan mudah kita temui bertebaran luas di sosial media sehingga perlu diminimalisir.

Dalam ajaran jawa kuno, terdapat konsep sangkan paraning dumadi yang berisi padangan bahwa hakikat Tuhan merupakan pusat awal hingga akhir kehidupan manusia. Hal ini menurut Harahap (2017) akan membawa manusia pada kesempurnaan dan tidak terbelenggu pada dunia yang kasar. Oleh karena itu di tengah berbagai problematika kaum milenial, terdapat beberapa nilai luhur konsep sangkan paraning dumadi yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Kehidupan generasi milenial saat ini lebih banyak berorientasi pada segi materi. Paham materialisme menjadi penyumbang terbesar dalam perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin pesat. Orang-orang berlomba dalam memperoleh materi yang sebanyak-banyaknya karena materi selalu memiliki daya tarik tersendiri, serta mampu membuat manusia merasa senang. Menurut Kariarta (2020) kaum milenial meyakini bahwa dengan penguasaan atas materi dapat menuntun manusia pada kebahagiaan.

Bahkan dalam kondisi tertentu manusia melegalkan penggunaan cara-cara yang kurang etis demi memperoleh materi dalam jumlah besar. Namun pada tahap tertentu, jumlah yang materi cukup tidak semerta-merta membawa manusia pada kebahagiaan. Konsep sangkan paraning dumadi menawarkan kepada manusia bahwa kehidupan memiliki asal dan muara yang sejati yaitu Tuhan yang maha esa. Pada hal ini Tuhan menjadi sumber dari kehidupan dan seluruh penciptaan akan kembali pada pangkuan-Nya (el Firdausy, 2017). Penerapan konsep ini dalam kehidupan manusia dapat meminimalisir ketergantungan akan materi. Kedekatan dengan sang pencipta akan menimbulkan ketenangan jiwa dan merawat kerohanian. Kaum milenial tidak hanya disibukkan dalam kegiatan pemenuhan materi yang kompetitif, namun juga dalam ranah spiritualitas.

Selain menawarkan kedekatan dengan sang maha pencipta, konsep sangkan paraning dumadi juga mendorong manusia untuk menjadi sosok pemelihara alam semesta atau dikenal dengan  memayu hayuning bawana. Menurut Nugroho dan Elviandri (2018) memayu hayuning bawana merupakan konsep spiritual jawa yang bermakna proses untuk menjaga dan memakmurkan alam semesta, memperindah alam semesta, serta memastikan alam semesta agar tetap baik dengan memadukan aspek fisik dan spiritual.

Kaum milenial yang dibekali dengan ketersediaan informasi yang melimpah serta akses akan data, memudahkan dalam pemanfaatan berbagai sumber daya alam (SDA) sebagai proses pemenuhan kebutuhan manusia. Namun sering kali pemanfaatan SDA yang dilakukan oleh manusia dilakukan secara besar-besaran tanpa memperhatikan kelangsungan lingkungan. Hal ini membawa dampak kerusakan seperti kebakaran hutan, pencemaran sungai, banjir, tanah longsor, polusi, serta bermacam jenis kerusakan yang lain. Manusia sebagai makhluk yang diberikan akal oleh Tuhan sejatinya harus mampu menjadi pengayom dan pemelihara alam semesta.

Keseimbangan antara manusia dan alam yang terpelihara pada titik normal akan menciptakan lingkungan yang selaras. Manusia akan secara sadar memahami posisinya dan secara sadar pula menjalin relasi dengan makhluk lain di alam semesta. Sikap batin ini yang akan menciptakan harmonisasi kehidupan. Sikap batin saling membutuhkan terhadap makhluk lain akan menghasilkan simbiosis mutualisme. Hal ini harus diinternalisasi kepada seluruh manusia khususnya generasi milenial agar tidak terjadi konflik. Konsep memayu hayuning bawana ini merupakan cerminan kondisi masyarakat jawa yang menyelaraskan tatanan dengan dasar konsep makrokosmos dan mikrokosmos, yaitu harmonisasi antara jagad gumelar dan jagad gumulung (Benedict, 2008).

Konsep sangkan paraning dumadi juga menawarkan peran sebagai nilai luhur dalam penguatan karakter dalam diri generasi milenial. Semakin masifnya globalisasi serta digitalisasi, menuntut penguatan karakter generasi milenial agar tidak terbawa oleh arus budaya negatif yang masuk ke Indonesia. Budaya barat yang berfokus pada individualisme, pragmatisme, dan kapitalisme sejatinya harus dibentengi dengan internalisasi nilai-nilai moral berbasis lokal yang sesuai dengan filosofi bangsa Indonesia.

Konsep sangkan paraning dumadi merupakan nilai-nilai luhur yang bersumber pada sifat-sifat baik yang dimiliki Tuhan. Kepekaan akan sesama, tolong-menolong, gotong-royong, serta rasa welas asih menjadi pilar-pilar penyangga terwujudnya manusia yang berkarakter dan berbudi luhur. Sangkan paraning dumadi juga mengajarkan kepada manusia untuk mengenal siapa dirinya, sebelum mengenal siapa tuhannya. Pemahaman akan dirinya yang sejati menjadikan manusia dekat dengan sang maha pencipta. Selain pemahaman akan dirinya, manusia juga dituntut untuk memahami sekelilingnya serta mengayomi sesama makhluk. Apabila manusia memiliki karakter dan budi luhur tersebut, maka akan termasuk dalam golongan insan kamil atau manusia sempurna (Kolis dan Ajhuri,  2019).

Oleh karena itu dalam mengatasi berbagai problematika generasi milenial, perlu dilakukan internalisasi konsep sangkan paraning dumadi. Konsep sangkan paraning dumadi membawa nilai luhur bahwa manusia memiliki asal dan muara yang sejati yaitu Tuhan. Selain itu, konsep ini juga mengajarkan untuk memelihara alam semesta dalam bentuk memayu hayuning bawana. Konsep ini juga relevan diterapkan sebagai penguatan karakter dalam diri generasi milenial.

Daftar Rujukan:

Benedict, Anderson, (2008). Mitologi dan Toleransi Orang Jawa, Jejak Yogyakarta.

el Firdausy, S. W. (2017). Hakikat Tuhan: Kajian Pemikiran Islam dalam Falsafah Jawa. SHAHIH: Journal of Islamicate Multidisciplinary, 2(1), 97-112.

Harahap, M. (2017). Filsafat Jawa dalam Novel-Novel Kuntowijoyo. BAHAS, 28(3).

Kariarta, I. W. (2020). Paradigma materialisme dialektis di era milenial. Sanjiwani: Jurnal Filsafat, 11(1), 71-81.

Kolis, N., & Ajhuri, K. F. (2019). Sangkan Paraning Dumadi Eksplorasi Sufistik Konsep Mengenal Diri dalam Pustaka Islam Jawa Prespektik Kunci Swarga Miftahul Djanati. Dialogia Jurnal Studi Islam dan Sosial, 17(1), 1-20.

Nugroho, S. S., & Elviandri, E. (2018). Memayu hayuning bawana: Melacak spiritualitas transendensi hukum pengelolaan sumber daya alam berbasis kearifan masyarakat Jawa. Prosiding Seminar Nasional & Call for Papers Hukum Transendental.

Juara 3 Lomba Menulis Esai Sumbu Filosofi karya Aprilia Budhi Setiawan, warga Watubelah RT 02 RW 04 Kemadang, Tanjungsari, Gunungkidul.

Tentang Junaedi

Penulis esai. Penulis Buku Cuitan Wong Ndeso. Bekerja sebagai staf PSID, yang membawahi PCL.

Baca Juga

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X