Kebencanaan

Kisah Dukuh Jaranan dalam Menangani Shelter Tanggon

Oleh

pada

Nama lengkap saya : Fendika Nurjayanto Yudatama. Setelah lulus dari kependidikan keperawatan Universitas Respati Yogyakarta, sekitar empat tahun berjalan kemudian ada informasi lowongan Dukuh Jaranan dari Pemerintah Kalurahan Panggungharjo, Kapanewon Sewon, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Walaupun usia saya masih terbilang relatif muda tetapi tidak mengendorkan niat saya untuk mencoba peruntungan dengan ikut tes seleksi Dukuh Jaranan yang diadakan oleh Pemerintah Kalurahan Panggungharjo, melalui panitia pengisian pamong desa.

Setelah melengkapi berkas-berkas persyaratan yang ditentukan oleh panitia, saya akhirnya membulatkan tekad untuk mendaftarkan diri kepada panitia pengisian  pamong desa dengan  posisi jabatan Dukuh Jaranan. Tanggal 29 Maret 2021, adalah tanggal yang yang mendebarkan jantung saya, karena pada hari itu juga saya mengikuti seleksi yang bertempat di SMAN 1 Sewon. Dan siapa sangka dan siapa menduga, kalau setelah diumumkan panitia tes seleksi lowongan pamong desa, ternyata saya mendapatkan nilai tertinggi dan ditetapkan sebagai Dukuh Jaranan.

Pada tanggal 12 April 2021, secara resmi saya dilantik oleh Lurah Panggungharjo, sebagai Dukuh Jaranan untuk periode 2021-2048. Dan pada bulan Mei 2021, baru saja satu bulan menjabat Dukuh, terjadi ledakan pandemi Covid-19 di Provinsi Daerah Istimewa, tak terkecuali Kalurahan Panggungharjo juga ikut mengalami lonjakan Covid-19 ini. Atas inisiatif Lurah Panggungharjo, Wahyudi Anggoro Hadi, dibentuklah shelter dan dipilihlah bekas SMKN 1 Sewon yang berlokasi di Jalan Parangtritis Km 7  Bangi, Kalurahan Timbulharjo Kapanewon Sewon.

Sepengetahuan saya, inisiasinya memang berawal dari Kalurahan Panggungharjo tetapi tanpa mengetahui kelanjutannya, kemudian  shelter tersebut menjadi shelter gabungan empat desa, dan berubah nama menjadi shelter tanggon (shelter tangguh Kapanewon  Sewon).  Adapun tujuan dibentuknya shelter tanggon adalah untuk membantu Puskesmas Sewon 1 dan Puskesmas Sewon 2 dalam pelayanan kepada warga desa yang terpapar Covid-19 dengan tanpa gejala atau bergejala ringan, prioritasnya bagi warga desa yang tidak memiliki ruang isolasi yang memadai dan keluarga yang memiliki anggota keluarga lansia dan anak-anak berusia di bawah 12 tahun.

Sebagai Dukuh Jaranan yang baru, dengan berbekal sebagai sarjana keperawatan inilah, selanjutnya Lurah Panggungharjo menunjuk saya sebagai tim medis (nakes). Bukan hal yang mudah menerima amanat dan tanggung jawab tim medis shelter tanggon ini, sesuai denagan motivasi saya ketika pertama kali memberanikan diri melamar menjadi Dukuh Jaranan, adalah sebagai pengabdian warga desa kepada Kalurahan Panggungharjo khususnya pengabdian kepada warga Padukuhan Jaranan.

Juga dengan niatan ibadah mengharap ridho Allah amanat ini, saya kerjakan seraya membatin : ‘siap delapan enam ndan’. Di samping itu, adanya dorongan dari dalam diri saya untuk menemu kenali kembali potensi yang ada di Padukuhan Jaranan. Dan alasan terakhirnya tentu adalah penghasilan, yang dapat mendukung sumber ekonomi keluarga kecil saya. Tanggung jawab yang berat, merupakan hal yang cukup menantang ketika memikul tugas berat sebagai tim medis. Saya merasakan pada minggu-minggu pertama bertugas di shelter adalah terasa begitu beratnya.

Di mana kami berempat bersama Pak  Lurah,  Pak Kamituwa, dan teman Dukuh Garon menjadi tim medis inti. Di awal-awal kami berempat menjalankan tugas sebagai tim medis shelter secara bergiliran yang diatur dengan model shift.

Setiap shift terdiri dari satu orang tim medis. Pada minggu pertama dan kedua, semua informasi terkait pasien yang terpapar Covid-19 saya yang memback-up semuanya.  Selama dua minggu pertama ini, memang membutuhkan effort yang luar biasa dalam melaksanakan amanat dan tanggung jawab yang sangat berat. Baru setelah memasuki minggu ketiga mulai ada bantuan relawan medis , dari FPRB Kalurahan Panggungharjo.

Hal yang paling tidak mengenakan terjadi ketika mendapatkan berita bahwa teman satu tim medis saya  yaitu Pak Kamituwo dan Dukuh Garon terpapar positif Covid-19. Semua pelayanan di mulai dari mendatangi (visit) ke rumah-rumah pasien, kemudian menangani pasien Covid-19 tanpa gejala dan bergejala ringan ketika masuk ke shelter, dan selalu mengkoordinasikan ke teman-teman relawan medis yang tangani semuanya dengan penuh semangat. Jujur saja, belajar dari Lurah Panggungharjo, ia yang tidak akan tinggal diam begitu saja, ketika semua program yang direncanakan belum terselesaikan semua.

Cerita pertama, dari pasien yang ditangani pertama kali di shelter. Waktu itu adalah pasien yang kita rujuk ke RS Khusus Covid-19 di Kapanewon Bambang Lipura, menggunakan ambulans dengan driver/sopir bernama Sugi alias Londo di dampingi mba Silvi karena saturasinya naik turun diangka : 70-80. Sesampainya di RS Khusus Covid-19, ternyata kursi rodanya rusak, terus saya berinisiatif ambil kursi roda. Pada saat saya ambil kursi roda itulah ternyata pasien sudah meninggal dunia.

Dan kami sepakat kalau jenasah pasien Covid-19 agar dimandikan terlebih dahulu di RS Rujukan Covid-19 tersebut, dengan protokol kesehatan tentunya. Sambil menunggu, jenasah untuk dimandikan dan dikafani, saya bertiga memutuskan untuk pulang ke shelter tanggon dulu, sambil kordinasi dengan tim lainnya. Ternyata sesampainya di shelter tanggon sepulang dari RS rujukan Covid-19  ada drama-dramanya juga, ternyata Sugi alias Londo sang sopir mobil ambulans yang kita naiki tadi mengalami kesurupan selama 10-15 menitan.

Cerita selanjutnya adalah pada suatu hari, saya bertugas menangani salah satu pasien yang bernama Pak Priyo. Salah satu warga dari Padukuhan Kweni. Dari awal terpapar Covid-19 kita tangani di shelter tanggon, sampai pada akhirnya kita antar Pak priyo dirujuk ke RS khusus rujukan Covid-19 di Kapanewon Bambang Lipura karena saturasinya naik turun, tentu saja dengan selalu berkomunikasi dengan pihak keluarga.

Tetapi sayang, takdir berkata lain. Pak Priyo akhirnya meninggal dunia. Sejak saat itulah, hubungan saya dengan keluarga almarhum Pak Priyo menjadi akrab seperti saudara sendiri. Bahkan semua keluarga Pak Priyo mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada pihak pengelola shelter karena sudah merawat, menemani dan mendampinginya sampai ajal menjemputnya, dengan pelayanan  yang maksimal. Hingga sampai detik ini, kita masih berkirim-kirim kabar masing-masing melalui whatsapp.

Setelah dua minggu berlalu sejak dibantu oleh relawan medis dari FPRB Kalurahan Panggungharjo, situasi dan kondisi di shelter dan di Daerah istimewa Yogyakarta  adalah krisis kelangkaan oksigen.  Maka terkait penggunaan sisa oksigen yang masih ada di shelter kami upayakan sesuai dengan skala prioritas. Saya merasa ada yang kurang dari shelter tanggon ini. Katanya, shelter gabungan empat desa tetapi peran dan dukungan  dari Kalurahan lain sangatlah   kurang.

Cerita yang lain lagi, datang dari suami isteri pasien Covid-19 dari Kalurahan Pendowoharjo datang ke shelter pada waktu siang hari, tepatnya jam 13.00 WIB. Sesampainya di shelter saya layani dengan baik sesuai standar pelayanan shelter, kami siapkan paket kebutuhan pasien termasuk bed dan sebagainya. Ketika masuk maghrib, kedua pasien suami isteri ini, saturasinya rendah, maka tindakan saya adalah oksigenasi untuk keduanya. Setelah dioksigenasi si suami saturasinya bisa naik menjadi normal, sementara si isteri saturasinya tidak mau naik.

Akhirnya si isteri tersebut, kami rujuk ke RS PKU Bantul diantar oleh kami berempat, saya, Pak Kamituwa, dr. Laras dan mbak Silvi dari relawan FPRB Kalurahan Panggungharjo. Sesampainya di RS PKU Bantul saturasinya naik turun di kisaran angka 60-70. Selanjutnya kami selalu memantau kabar dari RS PKU Bantul. Setelah pasien dirawat di RS PKU Bantul, sepuluh jam kemudian, kami mendapat berita bahwa almarhumah sudah meninggal dunia.

Kabar meninggal dunianya si isteri ini, saya laporkan kepada Pak Lurah. Atas inisaitif Lurah Panggungharjo, kami sepakat untuk tidak memberitahukan kepada suaminya yang saat itu masih di rawat di shelter tanggon. Cerita ini bagi saya, merupakan peristiwa yang sangat menegangkan  dan membuat hati dan perasaan saya trenyuh dibuatnya. Dan Alhamdulillah, si suami akhirnya kita rekomendasikan untuk kembali pulang ke rumahnya setelah menjalani masa karantina di shelter selama 17 hari.

Dalam batin saya,”bagaimana perasaan si suami tersebut ketika pada akhirnya mendengar dan mengetahui sendiri bahwa isterinya ternyata sudah meninggal dunia akibat terpapar Covid-19?” Wallahu a’lam.

Setelah grafik pandemi Covid-19 mengalami penurunan yang sangat drastis. Sebagai orang bawahan Lurah Panggungharjo, ketika ia mempunyai inisiatif bergerak cepat untuk mengatasi merebaknya Covid-19, maka bagi saya tidak lain dan tidak bukan adanya cuma sendika dawuh saja. Terlebih sejak gencar-gencarnya program vaksinasi. Sebagai Dukuh Jaranan, saya berusaha mengedukasi kepada warga Padukuhan Jaranan tidak perlu takut dan antipati terhadap vaksin. Saya berusaha mensosialisasikan pengetahuan sesuai yang saya pelajari di kampus dulu bahwa vaksin adalah antibodi. Vaksin adalah herd immunity atau kekebalan komunitas.

Adapun program vaksin pertama kali, untuk warga desa lansia umur 50-80 tahun, jenis vaksin yang digsunttikn adalah  vaksin jenis sinovac. Dan khusus warga desa dibawah umur 50 tahun., dengan menggunakan jenis vaksin astra zeneca. Program vaksin untuk pertama kalinya dilakukan di Puskesmas Sewon 2. Pada waktu kegiatan vaksin pertama yang diadakan di Puskesmas Sewon 2.

Cerita vaksin yang paling terkenang adalah cerita ketika mengantar warga Padukuhan Jaranan yang lansia ketika menjalani vaksin pertama kali di Puskesmas Sewon 2. Jujur saya tuliskan bahwa pada waktu itu, saya sendiri  ikut memfasilitasi transportasi mobil pribadi saya untuk mengantar, mengarahkan, menunggui, menjemput dan mengantar pulang kembali sampai ke rumah masing-masing warga.

Adapun program vaksin kedua kali, untuk  warga desa berumur di bawah umur 50 tahun dan anak berumur diatas 12 tahun, dengan menggunakan vaksin jenis  astra Zeneca, moderna, dan sinovac. Sedangkan program vaksin kedua ini, dilakukan per masing-masing kring. Kring Selatan diadakan di Padukuhan Geneng. Kring Tengah diadakan di Padukuhan Glondong. Kring Utara di adakan di bekas RS Fatmasuri, Krapyak Kulon. Dan  Jenis vaksin yang diberikan adalah pfizer, moderna, astra Zeneca dan sinovac.

Menurut saya, yang terlibat langsung dalam pelaksanaan  vaksin di Puskesmas 2, di Kalurahan Panggungharjo dan di Kring Selatan. Secara keseluruhan progress program vaksinasi yang diinisiasi oleh Puskesmas Sewon 2 dan Pemerintah Kalurahan Panggungharjo, apabila diprosentase warga yang sudah melakukan vaksin secara keselurahan adalah  diatas 90% , dan  prosentase warga yang belum  melakukan vaksin  secara keseluruhan adalah  dibawah 10%. Sementara prosentase warga Padukuhan Jaranan yang sudah melakukan vaksin sudah di anagka     91%-93 %,  sedangkan warga Padukuhan Jaranan yang belum melakukan vaksin : 7% -9%.

Demikian cerita tentang pengalaman saya ketika ikut berjuang menangani melonjaknya pandemi Covid-19 di wilayah Kalurahan Panggungharjo, Kapanewon Sewon, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sekali lagi saya merasa salute kepada Lurah Panggungharjo, Wahyudi Anggoro Hadi (JNT).

Referensi :

Fendika Nurjayanto Yudatama, S.Kep. (Dukuh Jaranan).

 

Tentang Junaedi

Penulis esai. Penulis Buku Cuitan Wong Ndeso. Bekerja sebagai staf PSID, yang membawahi PCL.

Baca Juga

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X