SEJARAH KAMPUNG

Kampung Kadangan Punya Cerita Sejarah

Oleh

pada

Pada zaman dahulu kala, ada sepasang suami istri yang bernama Kyai Padang dan Nyai Padang. Kyai Padang dan Nyai Padang, konon merupakan priayi keraton yang mempunyai pusaka sebagai senjata andalan masing-masing bernama Tombak dan Cundrik (keris kecil). Kyai Padang merupakan seorang yang memiliki ilmu yang digdaya sedangkan Nyai Padang lebih dikenal ketabibannya.

Pada waktu itu, di sebelah utara sana (sekarang bernama Druwo), banyak perempuan yang dicintai (diganggu) oleh bangsa genderuwo. Ada perwakilan warga Druwo yang meminta pertolongan datang ke rumah Kyai Padang dan Nyai Padang. Akhirnya setelah berembug sepasang suami isteri tersebut, bersepakat bahwa yang berangkat akan menghadapi genderuwo adalah Kyai Padang, alasannya jika yang berangkat Nyai Padang maka persoalannya tidak akan selesai-selesai maka dipustuskan yang berperang melawan genderuwo adalah Kyai Padang.

Dengan membawa pusaka andalannya berupa Tombak maka  Kyai Padang berangkat menuju kampung Druwo, dan perang pun tidak dapat dihindarkan. Genderuwo terkena tusukan tombak Kyai Padang sampai darahnya mengalir deras sampai ke tanah. Tetapi dalam peperangan tersebut konon sumpyuh (mati bareng). Darah genderuwo yang mengalir sampai ke tanah lama-lama menjadi gundukan tanah. Jika gunudukan tersebut diratakan menjadi tanah lagi begitu seterusnya. Saking banyaknya darah yang mengalir dari tubuh genderuwo maka terbentuklah banyak gundukan tanah di sana.

Hingga saat ini, makam Kyai Padang masih terawat dengan baik di kampung Druwo.

Sementara, menurut sejarahnya, terjadi perseteruan antara Panembahan Senapati dengan Ki Ageng Mangir Wanabaya. Panembahan Senapati memiliki pusaka andalan yang terkenal dengan Kyai Pleret, sedangkan KI Ageng Mangir Wanabaya memiliki pusaka andalan yang bernama Baru Klinting. Akhirnya, Panembahan Senapati mengutus Pembayun untuk merayu Ki Ageng Mangir dengan menyamar menjadi penari ledhek.

Singkat ceritanya, Ki Ageng Mangir jatuh cinta dan bermaksud melamar Pembayun untuk dijadikan istri, dan ternyata siasat yang dilakukan oleh Panembahan Senapati sangat jitu. Dan akhirnya, Ki Ageng Mangir Wanabaya bermaksud sowan menemui Panembahan Senapati yang berada di Keraton Pleret untuk mewujudkan keinginannya untuk menikahi Pembayun yang ternyata anak dari Panembahan Senapati.

Dalam perjalanannya menuju keraton Pleret, sesampainya di perkampungan Cangkring Malang,  Ki Ageng Mangir beserta bala tentaranya terkena wabah penyakit. Selanjutnya Ki Ageng Mangir mencari husada (pengobatan), karena yang dicari-cari tidak ditemukan maka Ki Ageng Mangir membuat sayembara: “sinten  sing waged ngusadani kula lan rombongan bakale ajeng kula paringi bebungah” (“barang siapa yang dapat mengobati saya beserta rombungan maka akan saya beri hadiah”).

Kemudian singkat cerita kabar sayembara tersebut sampai juga ke telinga Nyai Padang, dan kemudian Nyai Padang mengikuti sayembara tersebut. Setelah mengikuti sayembara tersebut Nyai Padang,  mengeluarkan  kepiawaiannya dalam mengobati wabah yang diderita oleh Ki Ageng Mangir beserta rombongannya. Setelah diobati oleh Nyai Padang semuanya sembuh tanpa terkecuali Ki Ageng Wanabaya sembuh juga.

Atas prestasi tersebut Nyai Padang mendapatkan hadiah berupa Joglo yang selanjutnya didirikan di antara  Mushalla dan rumahnya. Mushalla tersebut diberi nama Kuat Da’an, dan nama Kuat Da’an juga yang menjadi simbolisasi berdirinya Kampung Kadangan. Pemberian nama Mushalla Kuat Da’an inilah memiliki nilai sejarah nama kampung Kadangan. Kuat artinya kekuatan, sedangkan Da’an artinya meminta pertolongan kepada Allah. Jika di gandeng menjadi Kuat Da’an berarti meminta pertolongan kepada Allah supaya diberi kekuatan. Sementara menurut pengucapan orang Jawa menjadi Kadangan, yang berarti ora gampang kena lara (tidak mudah sakit).

Sebagai bukti sejarah yang semakin meyakinkan sejarah Kampung Kadangan, bahwa di Kampung Kadangan terdapat Makam Nyai Padang. Menurut Cerita dari Jenderal Sarjono bahwa di Kampung Kadangan pernah dijadikan pos pengungsian Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sekitar tahun 1942-1943-an pada zaman penjajahan Belanda, dibekas rumah tabon milik Nyai Padang. Menurut penuturannya beberapa tahun silam, ketika ia berziarah ke makam Nyai Padang yang berada di Kampung Kadangan.

Bahwa pada zaman perang dahulu sebelum berangkat perang, maka pasukan TKR wajib hukumnya untuk  berziarah terlebih dahulu ke makam Nyai Padang. Setelah berziarah ke makam Nyai Padang, lebih lanjut ia menuturkan pada saat berperang melawan pasukan Belanda, menurut cerita pengalamannya peluru yang dimuntahkan dari senjata pasukan Belanda tidak mampu menembus, apalagi sampai mengenai tubuh pasukan TKR  (menurut orang Jawa-cupet,luput-).

Menurut pengalaman sejarah, begitu pun yang dialami oleh semua warga Kampung  Kadangan,  pada masa perang melawan Belanda saat itu, tidak ada satu pun warga  Kadangan yang terkena peluru satu pun dari tembakan senjata pasukan Belanda. Dan tidak ada satu bom atau muntahan isi meriam pun yang menyasar ke Kampung Kadangan ini. Terkait fakta sejarah ini, maka jika dikaitkan sejarah tersebut maka nama Kadangan berarti Ketutupan, kaling-kalingan (terhalang atau  tidak kelihatan).

Menurut cerita dari para orang tua kami, konon Joglo yang berada di rumah Nyai Padang, yang merupakan hadiah dari Ki Ageng Mangir Wanabaya atas keberhasilan Nyai Padang memenangkan sayembara untuk mengobati Ki Ageng Mangir Wanabaya dan rombongannya, sekitar tahun 1978 akan dirobohkan dengan menggunakan dadung (tali besar) oleh warga Kampung Kadangan. Akan tetapi Joglo tersebut tidak bergeming untuk dirobohkan, artinya tetap kokoh berdiri di sekitar rumah milik Nyai Padang.

Kemudian setelah semua warga Kampung Kadangan menyerah hampir putus asa karena tidak berhasil untuk merobohkan Joglo milik Nyai Padang yang sudah mulai rapuh, tiba-tiba Joglonya roboh sendiri dengan teratur secara perlahan-lahan dari arah timur ke arah  barat.

Bahkan ada cerita lagi, barangsiapa ada warga yang sampai ketiduran diatas Joglo milik Nyai Padang maka tidak ada yang berani untuk membangunkannya. Dan bisa dipastikan  keesokan harinya warga tersebut akan pindah posisi tidurnya, biasanya dipindah di jugangan (lubang yang digali).

Jika ditilik dari silsilah keturuanannya, yang menempati bekas rumah Nyai Padang, yaitu Almarhum Simbah Projo Sastro Sujoko, apakah Simbah Projo Sastro Sujoko ini keturunan Nyai Padang atau bukan. Setahu saya ia yang menempati rumah tabon milik Nyai Padang, yang garis keturuanan generasi selanjutnya turun sampai kepada almarhum KH. Djoko Djaelani, B.A, dan jika dirunut ke garis keturuanan generasi selanjutnya jatuh kepada cucunnya lagi, yaitu Rosada Roan Athariq , yang saat ini kebetulan menjadi Dukuh Garon atau yang biasa disapa dengan mas gaes. Salah satu Dukuh idola warga Padukuhan Garon.

Banyak cerita mitos dan pengalaman menarik yang di alami oleh sebagian warga Kampung Kadangan, seperti :

Zaman dahulu warga Kampung Kadangan jika menderita sakit, maka cukup tidur luar rumah atau teras rumah, kemudian jika di datangi oleh hewan apa saja, seperti kucing dan lain sebagainya, kemudian hewan tersebut menjilati anggota tubuh warga yang sakit tersebut maka keesokan harinya warga yang sakit lantas menjadi sembuh.

Zaman dahulu jika ada orang yang melewati area makam Nyai Padang kemudian orang tersebut memakai caping atau topi, maka caping atau topi yang dikenakan tersebut  harus dicopot terlebih dahulu, jika tidak dicopot maka orang tersebut bisa terjatuh (jungkel). Zaman dahulu jika ada orang (siapa saja) yang melewati area makam Nyai Padang sudah terbiasa dengan ritual  mengucapkan: ‘pamit’, selamet-selamet’.

Warga Kampung Kadangan yang  berada di sekitar makam Nyai Padang, setahu saya selalu aman dari bencana apapun, termasuk  tidak pernah dalam sejarah hidupnya barang-barang yang dimilikinya dicuri orang (tidak pernah mengalami musibah kemalingan).

Ada cerita lain lagi tentang orang Kampung Kadangan yang diguna-guna oleh orang dari daerah lain, ketika masuk ke Kampung Kadangan maka media guna-guna oleh orang yang berasal dari daerah lain tersebut akan dikejar oleh pusaka Nyai Padang berupa sinar sampai keluar Kadangan bahkan sampai ke utara Garon. Setelah sampai di utara Garon maka sinar yang berasal dai pusaka Nyai Padang tersebut sudah tidak mengejarnya lagi (diluar jangkauan lagi).

Secara geografis Kampung Kadangan meliputi Kadangan Kidul dan Kadangan Wetan (Utara). Makanya sampai sekarang jika ada warga Kampung Kadangan Wetan (Utara) yang meninggal dunia mereka memakamkannya di makam Kampung Kadangan, dimana terdapat makam Nyai Padang berada. Di makam ini juga terdapat salah satu tokoh lagi yang bernama Kyai Panji Surodikoro.

Kyai Panji Surodikoro menurut cerita merupakan tabib dari keraton Ngayogyakarto Hadiningrat. Menurut ceritanya bagi siapa saja yang mengalami sakit akibat luka pada bagian anggota tubuh, maka jika dikerukkan tanah pada batu nisan makam Kyai Panji Surodikoro kemudian dioleskan pada bagian  anggota yang terluka maka akan sembuh. Setelah sembuh sebagai rasa syukur orang tersebut memberikan sajian sego pulen iwak empal. Menurut cerita sajian tersebut adalah makanan favorit kesukaan Kyai Panji Surodikoro semasa hidupnya.

Di sekitar makam Nyai Padang (di sebelah kanan-kiri ) terdapat beberapa makam yang ukurannya besar-besar, dan patut diduga bahwa makam-makam besar tersebut milik priayi keraton Ngayogyakarto Hadiningrat. Termasuk keberadaan Kyai Padang dan Nyai Padang saat itu, patut diduga berasal dari priayi keraton dari kerajaan Mataram.

Setahu saya, pada tahun 1990-an, ada beberapa orang suruhan keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang menyusur mencari informasi keberadaan makam Nyai Padang tersebut, tetapi tidak ada warga yang memberitahukan keberadaan makam Nyai Padang di area pemakaman Kampung Kadangan, Padukuhan Garon, Kalurahan Panggungharjo, Kapanewon Sewon, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa, hingga akhirnya malah ke makam Mangunan Padukuhan Cabeyan Kalurahan Panggungharjo.

Untuk melengkapi cerita sejarah Nyai Padang ini, pernah terjadi pada saat musim tebang tebu, ada seorang dari warga Kampung Saraban sudah diingatkan untuk berhenti karena sudah tiba waktu sholat Maghrib dan diperingatkan oleh salah seorang warga yang mengetahui terkait beberapa larangan ketika berada di sekitar makam Nyai Padang.

Tetapi peringatan tersebut tidak diindahkan oleh pemilik gerobak sapi yang berasal dari Kampung Saraban tadi. Malah melanjutkan menerjang waktu Maghrib dan seraya berbicara keras menghalau jalannya sapi penarik gerobak, tiba-tiba sesampainya di area makam Nyai Padang tersebut tali penarik sapi mencekik leher sapi, yang mengakibatkan sapi beserta gerobak dan penumpangnya jatuh tersungkur. Singkat cerita sapi tersebut meninggal seketika di sekitar area makam Nyai Padang (JNT).

Referensi :

Maryono (Juru Kunci Makam Kampung Kadangan, Padukuhan Garon).

Tentang Junaedi

Penulis esai. Penulis Buku Cuitan Wong Ndeso. Bekerja sebagai staf PSID, yang membawahi PCL.

1 Komentar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X