Fenomena masjid atau mushala di kampung-kampung di semua wilayah Republik Indonesia mendadak membludak didatangi oleh jama’ah atau warga masyarakat yang merindukan syiar bulan suci Ramadhan, baik pada waktu pelaksanaan sholat sunah tarawih pertama maupun pada acara buka bersama atau takjilan hari pertama.
Ramadhan 1433 H atau 2022 M tahun ini, bagaikan oase di padang pasir semenjak adanya pandemi Covid-19 yang meluluhlantahkan semua lini kehidupan tanpa teriakan revolusi. Kegiatan yang mengharuskan physical distancing, menjauhi kerumunan dan mengurangi mobilitas serta interaksi sosial antarwarga masyarakat serasa mencerabut pranata sosial sudah yang ada di masyarakat dari akar-akar kehidupan sosial kemasyarakatan yang selama ini sudah menancap dalam sanubari setiap warga kampung.
Semua model pendidikan hampir semuanya dikembalikan kepada konsep atau model pendidikan keluarga. Lembaga sekolah formal hanya bersifat formalitas. Lembaga dakwah masjid atau mushala hanya bisa menyaksikan dari luar ketika aktivitas dakwah atau syiar agama Islam tidak berkutik sama sekali, bahkan mereka hanya bisa menerima ketika imbauan pemerintah melalui kementrian agama bahwa kehidupan beragama tidak hanya sekedar ritus dan habitus tetapi yang terpenting adalah esensi beragama itu sendiri yaitu menjaga jiwa dan raga dari bencana kemanusiaan yang lebih dikedepankan.
Praktis semua ditumpukan kepada model pendidikan keluarga. Pendidikan formal maupun tidak formal menjadi ranah keluarga. Menjadi tanggung jawab orang tua yaitu ibu dan bapak. Akibatnya terjadi gap loss learning yang sangat tinggi terhadap kualitas pendidikan anak didik. Begitu juga dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dan berakibat terjadi gap loss interactive antara warga yang satu dengan warga yang lain. Seakan semua kegiatan pendidikan, keagamaan, kebudayaan semuanya diserahkan kepada yang paling berhak yaitu pada keluarga masing-masing.
Kegiatan rutin seperti perkumpulan RT, Padukuhan, Karang Taruna, Pokgiat LPMD, dan PKK serta kegiatan siskamling hampir mati suri. Tahun 2022 M atau Tahun 1443 H, menjadi spirit baru untuk mengembalikan gap loss learning maupun gap loss interactive ketika ada pelonggaran dari pemerintah untuk kembali memperat tali silaturahim antarwarga kampung, perkumpulan-perkumpulan RT, PKK, Karang Taruna, Dasa Wisma, Pokgiat LPMD, sayup-sayup mulai digelar. Begitu pula kegiatan-kegiatan keagamaan mulai dipadati jama’ahnya. Mulai dari aktivitas sholat berjama’ah, pengajian rutin, pengajian TPA/TPQ, begitu pun halnya terkait peribadahan di bulan suci Ramadhan.
Dengan aturan pelonggaran semua kegiatan keagamaan oleh pemerintah pusat dengan tetap mematuhi protokol kesehatan, bagaimana pun ikut menyemarakkan bulan yang yang penuh berkah ini. Masjid-masjid atau mushala-mushala di kampung mulai berbenah diri dengan program rutinitas tahunan, seperti menghias view masjid atau mushala dengan lampu klip klop, pemasangan banner kecil di jalan-jalan menuju masjid atau mushala berisi ayat Al Qur’an, Hadits Nabi, atau kata-kata mutiara yang berisi motivasi mengisi bulan penuh berkah.
Sontak saja, saya jadi teringat masa lalu jika flashback terkait beberapa aktivitas yang sering terjadi ditengah-tengah masyarakat kita dalam menyemarakkan bulan suci Ramadhan.
1# Diksi KUTIBA
Diksi KUTIBA seringkali dibacakan oleh kebanyakan ustadz kampung dalam mengutip ayat 183 dari Al Qur’an surat Al Baqarah. KUTIBA biasa diartikan dalam bahasa Indonesianya adalah DIWAJIBKAN. Diksi KUTIBA ini, banyak disampaikan oleh ustadz kampung dalam materi kultum tarawih, pengajian buka bersama (takjilan), dan kultum sholat subuh. Adapun bunyi lengkap dari Surat Al Baqarah ayat 183 adalah sebagai berikut : “Yaa ayyuhalladziina aamanu kutiba ‘alaikumusshiyamu kamaa kutiba ‘alalladziina min qablikum la’allakum tattaquun”.
#2 Niat Berpuasa
Niat berpuasa pada malam hari sebelum melalsanakan ibadah puasa merupakan rukun puasa. Rukun ini tidak boleh ditinggalkan begitu pun jika ingin puasa kita sah menurut syar’i. Oleh karena itu, sebagai tindakan preventif dari para jama’ah di kampung biasanya melafalkannya secara berjama’ah, biasanya dituntun oleh petugas bilal sholat tarawih ketika selesai sholat witir. Dan biasanya dilantunkan dengan suara keras (jahr). Walaupun sebenarnya melafalkan niat secara lisan bukan hal yang wajib. Karena niat yang sesungguhnya ada di dalam hati. Adapun lafal niat puasa berpuasa Ramadhan adalah sebagi berikut : “Nawaitu shauma ghodin ‘an adaai fardhissyahri ramadhani hadzihissanati fardhallillahi ta’alaa”.
#3 Membangunkan Saur
Salah satu hal sunah bagi sipa saja yang melaksanankan ibadah puasa adalah bangun sahur. Hal ini juga yang sering dilakukan oleh warga kampung dalam membangunkan warganya agar segera bangun dan segera menyiapkan ubo rampe seperlunya kebutuhan untuk makan sahur keluarganya. Biasanya ada salah seorang petugas yang mempunyai tugas khusus ini. Biasanya dari panitia Ramadhan di kampung atau dari pihak takmir masjid atau takmir mushala. Dan biasanya menggunakan toa masjid atau mushala. Dengan kalimat umumnya seperti ini: “bapak-bapak, ibu-ibu, saur… saur…. saur…. sak menika sampun jam tiga langkung gangsal menit kula aturi saur… saur… saur…dan seterusnya.”
4# Sirine Pertanda Buka Puasa
Satu hal yang tidak kalah pentingya bagi warga kampung yang dinantikan oleh kaum muslimin dan muslimat setiap bulan suci Ramadhan adalah menantikan bunyi sirine pertanda buka puasa. Walaupun zaman sudah semakin canggih, serba modern dan perkembangan teknologi informasi yang serba cepat, tetapi ada hal yang mungkin dianggap katro tetapi masih dilakukan oleh warga kampung salah satunya adalah menunggu bunyi sirine sebelum adzan maghrib. Bunyi sirine ini biasanya disiarkan oleh satsiun radio yang diforward ke toa-toa masjid atau mushala (JNT).