Sosial

Dilematis Profesi Pawang Hujan

Oleh

pada

Tiba-tiba nama Rara Istiati Wulandari mendadak  viral di media sosial. Tentu saja setelah Minggu (20/3/2022) kemarin, terlihat berjalan-jalan mengelilingi arena sirkuit MotoGP Mandalika  dengan membawa cawan berisi sajen dan pemukul berukuran kecil sambil berdoa agar hujan berhenti.  Pada  waktu itu  sedang  terjadi hujan turun di sirkuit kebanggaan Indonesia di Mandalika, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Alih-alih menahan hujan deras sebelum balapan dimulai, Rara malah “pamer” ritual saat hujan turun.

Rara ramai dibicarakan netizen bukan karena kecantikannya sebagai umbrella girls pada ajang MotoGP Mandalika  tersebut, tetapi karena kegagalannya sebagai pawang hujan yang dianggap mempermalukan  nama Indonesia di mata dunia. Tetapi di sisi lain banyak media asing yang memuji adanya pawang hujan perempuan tersebut.  Karena beberapa menit setelah melakukan ritual sebagai pawang hujan, hujannya menjadi reda disekitar area MotoGP Mandalika tersebut. Sehingga banyak muncul headline di media massa sebagai berikut: “dihujat di negeri sendiri tetapi dipuji di negeri orang”.

Terasa masih belum lengkap terkait berita tentang pawang hujan perempuan yang lagi viral. Baru-baru ini muncul tanggapan dari para pemuka agama yang mengharamkan terjadinya praktik pawang hujan tersebut. Padahal sebagaimana yang terjadi pada masyarakat kita, tanpa kecuali masih banyak yang melakukan jasa pawang hujan jika ada warga masyarakat yang sedang punya hajat, seperti resepsi pernikahan maupun acara-acara besar lain, seperti live musik konser, pagelaran wayang dan lain sebagainya.

Saya pernah mengalami sendiri, ketika di Kampoeng Mataraman diadakan acara nasional bertajuk Rembug Desa Nasional (RDN)  tahun 2017. Pada waktu itu cuaca memasuki musim penghujan, oleh karena itu panitia akhirnya menyewa jasa pawang hujan. Dan benar saja, ketika perhelatan akbar tersebut diatas langit Kampoeng Mataraman tidak terjadi turun hujan walaupun langit mendung. Tetapi setelah acara selesai, keesokan harinya hujan turun dengan derasnya, seperti ditumpahkan dari atas langit di area Kampoeng Mataraman dan mengakibatkan Kampoeng Mataraman sampai terendam air alias banjir.

Percaya atau  tidak percaya, begitulah yang terjadi dan bekembang dalam masyarakat kita. Menurut penuturan beberapa warga masyarakat, biasanya orang yang punya gawe (shohibul hajat) meminta tolong kepada jasa para pawang hujan : Pertama, adalah memindahkan posisi turunnya hujan dari langit agar hujan turun tidak mengenai secara langsung di lokasi diadakannya pehelatan (hajatan) warga. Kedua, adalah menunda turunnya hujan di lokasi diadakannya perhelatan (hajatan) dari  rencana runddown acara sampai runddown acara selesai.

Adapun menurut para ulama sperti Ustadz Abdul Shomad (UAS) dan Buya Yahya Zainul Ma’arif   karena pawang hujan dianggap seperti dukun, dan perilakunya dianggap musyrik karena ada unsur menduakan Allah SWT, karena meminta bantuan kepada selain Allah SWT, bisa kepada syetan atau jin. Dan juga dianggap musyrik karena ada unsur menyalahi  takdir Allah SWT.

Tetapi bagaimana jika seorang pawang hujan itu seorang yang muslim, dan ketika berdoa meminta kepada Allah SWT  dengan memperhatikan syariat agama Islam diawali dengan membaca, basmallah, hamdallah, sholawat nabi dan meminta pertolongan hanya kepada Allah SWT semata,  apakah seorang pawang hujan tersebut  dianggap musyrik?

Jadi intinya, kita meminta kepada Allah SWT dengan wasilah (perantaraan) seorang pawang hujan yang lebih mengerti dan lebih faham tentang ilmu perhujanan, apakah kita tidak diperbolehkan atau diharamkan? Jawabannya adalah hanya Allahlah Yang Maha Tahu, dan hanya Allahlah Yang Maha Berkehendak atas semua perbuatan dan tindakan semua hamba-NYA, tak terkecuali seorang pawang hujan. Wallahu a’lam bishshowaab (JNT).

Tentang Junaedi

Penulis esai. Penulis Buku Cuitan Wong Ndeso. Bekerja sebagai staf PSID, yang membawahi PCL.

Baca Juga

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X