Buku

Di Pintu Terakhir Masjidil Haram

Oleh

pada

Semua orang pasti ingin pergi ke tanah suci, berawal dari sepulang haji suamiku pada tahun 2004.  Kala itu, ia menangis sambil menceritakan pemandangan ketika melihat di Masjidil Haram berpasang-pasangan suami-istri membaca Al-Qur’an di setiap sudut di bawah terangnya lampu disana.  Ada rasa penyesalan yang mendalam sambil memelukku seraya berkata:

“Besuk kita bareng ke sana ya,” bisiknya padaku.”

Akhirnya mulai tahun itu pula kami membeli sebidang sawah yang kami niatkan ditabung untuk pergi ke tanah suci.  Alhamdulillah genap 6 tahun sawah itu dijual dan mendaftarlah kami berdua, dalam SISKOHAT (Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu) namaku dan nama suamiku tertulis akan berangkat tahun 2017. Giranglah hatiku bersyukur campur haru seraya mengucap puji syukur kepada Allah SWT: “Alhamdulillah, yaa Allah kabulkanlah doaku akan berangkat haji bersama suamiku.”

Manusia hanya bisa merencanakan namun Allah yang menentukan, kesedihan menyeruak kalbu kiranya di tahun 2013. Suamiku dipanggil Allah mendahului kita semua. Innalillahi wainnailaihiroji’un, hati ini menangis pilu, jiwa ragaku lunglai tak berdaya, ke empat buah hati yang dititipkan Allah SWT sebagai amanah dari suamiku semua menjadi tanggunganku, sekaligus menjadi penghiburku.

Aku langsung teringat.

“Mestinya aku naik haji bersamamu mas,” keluhku.”

Namun kau telah berpulang, sambil kuselesaikan segala sesuatunya yang berkaitan dengan kedinasan selama empat bulan akhirnya selesai sudah. Termasuk pembatalan keberangkatan haji suamiku, lalu kututup tabungan hajinya dan aku ambil lalu untuk mendaftarkan anak sulungku.

“Le kamu yang menggantikan bapak haji ayo ibu daftarkan.”

Njih buk,” jawab anakku.”

Kurasakan setelah sepeninggal suamiku serasa ada saja rizqi yang entah dari mana datangnya. Subhanallah hati ini tergetar untuk meniatkan ketiga anak saya yang belum kudaftarkan haji. Anak yatimku yang paling kecil bilang.

“Umi aku juga didaftar haji ya mi?,” sahutnya.”

“Iya le iya,” semua anak umi, umi daftarkan.”

Terharu tak terasa menetes deras air mataku. Aku bergegas menjemput ke sekolah, dan ketiga anakku kudaftarkan haji menyusul setelah seminggu anak sulung kudaftarkan, Alhamdulillah, wasyukrulillah, Insyaallah keempat anakku sudah menjadi calon haji tahun 2026.

Yaa Allah, yaa Rabb, semua itu akan terlaksana hanya karena Ridha-Mu,” pintaku.”

Empat tahun kemudian tepatnya tahun 2017 menjadi harapanku, panggilan ke tanah suci terwujud. Pagi selepas jamaah shalat Subuh di masjid kampungku, diadakan pamit haji yang dihadiri oleh seluruh jama’ah, masyarakat handai taulan dan segenap keluargaku. Dengan khusyuk dan khidmat acara pamitan haji berjalan dengan lancar, kemudian dilanjutkan ke rumah untuk sarapan pagi dan selanjutnya aku diantar oleh segenap keluargaku menuju ke Kantor Bupati Bantul. Untuk acara pamit kepada Bapak Bupati. Suasana haru bercampur derai air mataku tak sanggup menahannya.

Beribu lambaian tangan dan doa dari para pengantar memenuhi halaman Kantor Bupati Bantul mengiringi kepergian jama’ah satu kloter saat itu. Dada ini serasa sesak bacaan talbiyah menambah isak tangisku tak terbendung.  Belum lagi air mata ini habis, kulihat seisi bus yang kunaiki menuju ke Donohudan Solo penuh hanya kursi sampingku yang kosong, sontak kumelihat mereka pergi bersama suami dan istri mereka.

Yaa Allah, mestinya hari ini. Kau panggil aku ke tanah suci bersama suamiku,” gumamku.”

Kutengok sebelah tempat dudukku semakin tumpah ruah air mata membasahi pipiku, membayangkan bagaimana nanti di tanah Haromain mereka bersama suami dan istri, sementara aku hanya seorang diri. Untuk menenangkan hatiku sendiri. Aku hanya berdoa dan bertawakal kepada Gusti Allah SWT yang akan mengatur segalanya disana. Mataku terasa sembab karena banyak air mata yang keluar.

Dari Donohudan Solo, lalu berangkatlah kami semua menuju Madinah, selama dua belas jam perjalanan alhamdudillah sampailah di Bandara Udara International Pangeran Mohammad bin Abdul Aziz yang terletak di Timur Laut kota Madinah, Provinsi Madinah Arab Saudi dengan sehat dan selamat. Sesampai di Bandara petang menjelang magrib, karena masih menunggu antrian koper dari pihak bandara menuju hotel, maka para Jemaah shalat magrib di bandara. Setelah para jemaah mendapatkan koper masing-masing kemudian diantar menuju hotel untuk singgah selama di Madinah. Di Madinah rombonganku ditempatkan di Golden Ergwan Hotel. Di hotel itu aku menempati kamar nomor 808. Alhamdulillah, malam itu bisa langsung salat di Masjid Nabawi.

Subhanallah, lega rasanya,” gumamku.”

Berdzikir, bertahmid dan bersholawat tak henti-hentinya kurajut dalam lisan dan hati kusenandungkan setiap hari, shalat arbain tiada kutinggalkan. Walaupun di sela-sela waktu, aku pernah sakit demam selama dua hari, namun tak menyurutkan niatku untuk selalu berjama’ah di Masjid Nabawi. Pernah di saat demam-demamnya tubuhku hampir tak kuat menahan rasa sakit.  Dan oleh temanku sekamar-Bu Yani namanya-yang setia menemaniku, saya persilahkan meninggalkanku.

“Tinggalkan aku di sini Bu Yani, ”perintahku.”

“Aku akan menunggu sampai shalat Isya.”

Daripada jalan pulang pergi ke masjid. Sungguh aku merasakan panasnya udara di Serambi Masjid Nabawi, menurut kabar suhunya mencapai 52 derajat celcius, yang beratapkan tenda raksasa yang memayungi di sekitar halaman masjid, karena aku tak mampu berjalan masuk ke dalam masjid. Kupasrahkan sepenuh jiwa untuk memohon ampun, karena masih berapa lama perjalanan panjang menuju Makkah saat itu.

Yaa Allah, aku ikhlas Engkau berikan sakit ini sebagai pelebur dosa-dosaku selama ini.”

“Namun, yaa Rabb, sehatkanlah aku nanti ketika di Masjidil Haram. Agar aku bisa khusyu dan lancar menjalankan ibadahku di sana, amiin, “pintaku.”

Pagi selepas shalat Subuh antre ke roudhoh karena harus berbagi waktu dengan negara lain, tujuan pertama untuk kesana, berziarah ke makam Baginda Rosulullah SAW.  Tak terbayang sudah, pintu masuk ke makam secara bergiliran, setelah bisa masuk. Masya Allah, subhanallah, mau shalat dua rokaat saja sangat berhimpitan.  Namun tiba-tia ada ibu-ibu minta tolong sekaligus bergantian ingin menolong saya.

“Segeralah bersujud saya akan jaga ibu, “pintanya”

“Terima kasih ibu, “ jawabku.”

Subhanallah betapa nikmatnya ketika bersujud di saat itu. Air mata lagi lagi mengucur deras sambil  memohon ampunan-Mu ya Allah, seraya kuucapkan.

Shollu ‘ala Muhammad, Yaa Nabi, “aku telah hadir di sisi pembaringanmu.”

“Aku mendoakanmu, Yaa Rasulululah, salamku untukmu wahai pemberi syafaat nanti di yaumul qiyamah.

Setelah selesai salam. Begitu mau mengucapkan terima kasih dan bersalaman dengan ibu yang telah membantuku bersujud tadi sudah taka ada.  Akhirnya aku kembali ke hotel. Hingga empat kali rasanya tak puas untuk berdoa di sana.

Di dalam Masjid Nabawi sembari menungu waktu shalat, sehabis tilawah banyak kenalan yang kudapatkan, ada Bu Noor dari Bangladesh, Bu Shofa dari Kajakhistan, Bu Onju dari Saudi Arabia. Ketika di lain hari di serambi masjid tiba-tiba ada seorang ibu memberiku roti dan tanganku dicium-cium lalu kubilang.

“Thankyou, where are you from Mom?

“Dari Maroko, “katanya.”

Dengan bahasa asingku yang sangat mimim aku berusaha menerangkan bahwa aku berasal dari Indonesia. Kata ibu tadi bacaan Al-Qur’anku bagus. Hey,kutersipu dibuatnya. Lalu kucium balik tangan ibu itu. Pada suatu siang di lain hari bertemu lagi dengan anak muda cantik setelah saya tanya namanya.

What yourname? where are you come from?”

My name is Kesya from Saudi Arabia.”

Saat ini sedang kuliah megambil jurusan Biologi. Ia bersama orang tuanya, sesampainya di Masjid Quba bertemu dengan jama’ah haji Cina saling berkenalan dan foto bersama, biarpun hanya cukup bertanya nama dan asal negara. Sudah cukup bukti bahwa saudara kita muslim seantero dunia bertemu jadi satu, subhanallah.

Enam jam perjalanan menuju Makkah sepanjang jalan itu kami menyaksikan hamparan gurun tandus yang luas, sekawanan Unta di terik matahari di tengah perjalanan yang pertama kali.  Dengan melihat panorama tumbuhan kurma di sepanjang jalan itu tidak lagi membuat hati ini merasa sendiri, kuberpikir, aku harus kuat, aku harus bisa, dan aku harus bahagia. Karena perjalanan ini merupakan suatu kebahagiaan yang diidam-idamkan oleh setiap muslim/muslimah, bukankan  Nabi Ibrahim AS pernah mengatakan bahwa mengerjakan haji adalah merupakan tamu istimewa Allah. Dan sudah menjadi tradisi setiap tamu Allah mendapatkan layanan yang prima dan istimewa dari tuan rumah. Rasulullah SAW bersabda : “Orang yang mengerjakan haji  dan orang yang mengerjakan umrah adalah tamu Allah dan para pengunjung-Nya. Jika mereka meminta kepada-Nya niscaya diberi-Nya. Jika mereka meminta ampun niscaya diterima-Nya doa mereka. Dan jika mereka meminta syafaat niscaya mereka diberi syafaat” (Ibnu Majah).

Tiada terasa sampailah di Maktab Makkah di daerah Syisyah kira-kira empat kilometer dari Masjidil Haram, kami serombongan Jemaah menempati Hotel Murjan Al Maqam bangunan nomor 726, sebuah hotel yang cukup nyaman segala kebutuhan tersedia. Kalau pagi ada juga pedagang Indonesia yang berjualan masakan ala Indonesia, telur ayam rebus, telo godog, bahkan oseng-oseng teri lombok ijo juga tersedia di sana.

Malam hari selepas shalat Maghrib kami rombongan berangkat ke Masjidil Haram, hati ini berkecamuk antara haru, khawatir dan takut jangan-jangan tidak bisa melihat ka’bah pertama kali seperti yang diceritakan sebagian orang itu. Subhanallah. Bacaan talbiyah berkumandang haru biru menyelimuti kalbuku, deras air mata ingin menjerit penuh decak kagum, akhirnya ku bisa melihat ka’bah yang agung itu dengan nyata. kumulai thawaf qudum satu demi satu putaran hingga genap tujuh putaran, Alhamdulillah selanjutnya ku memohon kubersimpuh dihadapan ka’bah di Multazam.

Memohon ampunan yang selama ini banyak bertabur dosa dan khilaf.

Yaa Allah, bimbinglah aku kejalan-Mu agar aku selamat dunia dan akhirat, kabulkanlah doaku, ” pintaku.”

Antre minum air zam-zam, hingga ritual haji dan umrah kulaksankan dengan baik.

Begitu setiap hari berkali-kali ke masjid. Nah suatu pagi kami bertiga, Pak Jilan dan  istrinya serta  aku pergi ke Masjidil Haram, seusai thawaf terus pulang, karena padatnya jamaah di masjid aku  terpisah dengan pak Jilan dan istrinya. Ketika mau keluar dari masjid,  aku ingin mencoba keluar dengan pintu lain dari biasanya ternyata beberapa pintu sama, akhirnya ada pintu yang bertuliskan 129 (angka Arab) aku keluar lewat sana. Betapa terkejutnya ternyata sepi. Tak orang satupun yang lewat pintu itu hanya aku sendiri, hanya berkaus kaki.  Sandalku ternyata masih dibawa Bu Jilan tadi, sejauh kuberjalan  menyusuri lengangnya jalan aku lihat pemandangan indah di tiap–tiap ruang seperti istana, sungguh megah dan gemerlap, aku benar-benar takjub, sayangnya aku  mau memotret tapi handphoneku mati, hingga aku merasa agak lelah aku cari tempat duduk sambil makan bekalku yang tersisa.

“Pak arah menuju daerah Syisah mana ya?, ”tanyaku kepada petugas dari Indonesia yang kutemui.”

“Masih tiga kilometer lagi bu, kearah sana sambil menunjuk arah,” kata petugas.”

“Iya pak, terima kasih, “jawabku.

Akhirnya aku sampai  di terminal bus, kemudian aku pulang.

Di Arafah benar-benar diuji kesabaranku. Di tenda besar yang dipenuhi rombongan ditambah beberapa regu dari rombongan lain, tiada celah, berjajar penuh sesak.  Dicantara para jama’ah, antre ke kamar mandi harus ekstra sabar, menunggu giliran dari jama’ah orang tua, dan antre mandi. Di sini semalam suntuk sama sekali aku tidak tidur, ada amalan-amalan dan doa-doa seraya kupanjatkan yang memang harus dibaca bakda shalat Maghrib sampai sebelum terbit matahari. “Bukankah haji adalah Arafah?” maka kesempatan ini tidak akan aku sia-siakan, yaa Allah atas kuasa-Mu Engkau telah menguatkanku, Amin.

Tengah malam di Muzdalifah, ketika aku terbangun di sepertiga malam, dikagetkan dengan suasana agak sedikit riuh, karena ada beberapa jama’ah yang jatuh pingsan, betapa tangkasnya dan siaganya para dokter, saling bahu membahu telah siaga dengan segenap peralatan medisnya sehingga para jama’ah segera tertolong. Pantaslah jika para dokter merupakan garda terdepan untuk menyelamatkan para jama’ah, akhirnya beberapa jama’ah tadi dengan cepat ditandu dibawa ke mobil ambulan untuk mendapatkan perawatan. Sukses dan salut untuk para dokter kita.

Pernah suatu malam ketika sepulang dari masjid, lagi-lagi saya terpisah dari rombongan karena berjejal menunggu bus, jam tanganku menunjukkan pukul sebelas malam waktu Saudi Arabia. Di dalam bus hanya tinggal beberapa orang termasuk aku, karena penumpang sudah sebagian turun, ketika aku turun dari bus beberapa langkah ada bapak-bapak paruh baya mengahmpiriku memberiku 3 tongkat.

”Ini untuk ibu”

“Terima kasih bapak, “sahutku.”

Teman-temanku masih menunggu dengan setia di depan pintu masuk hotel yang tadi waktu berangkat ke masjid bersama-sama.

“Bu Ning kok lama sekali?, “tanya Bu Yanti kepadaku.”

“Waduh Bu, antre nunggu bus penuh terus, ”jawabku.

Aku wis khawatir je bu, ”timpal Pak Abu.

“Nih aku dapat tongkat, yang menunggu dengan setia kuberi tongkat ya, “sahutku, sambil bergegas masuk hotel.”

Pada waktu menanti sahalat Subuh kesekian hari di pelataran depan pintu utama Masjidil Haram, kumencoba menawarkan pijat pada ibu-ibu jama’ah dari berbagai dunia, setelah kutanya ada yang dari Maroko, India, Saudi Arabia, bahkan ada yang dari Afrika.

Are you terapis?

 Where are you from? “tanya mereka.”

I am from Indonesia,” jawabku.

We, lha saya dikira seorang therapis, padahal pijatan itu hasil kursus kilat di hotel yang diajarkan oleh para tenaga medis Indonesia yang dengan rajin membimbing para jama’ah agar mandiri dan tetap sehat. Jadi bangga punya tenaga medis yang luar biasa. Nyatanya setelah kupraktikan pada jama’ah kira-kira ada 10 orang tadi, mereka tersenyum lega, dengan aura  bahagia. Pada manggut-manggut, seraya mengucapkan.

Thank you” jawab mereka satu per satu.”

Hari Jumat setelah melakuhkan thawaf sunat, di hari menjelang siang itu, setelah keluar dari pintu 23, aku berpapasan dengan dua orang nenek yang berbeda maktab, rupanya kedua nenek tersebut terpisah dari rombongan bingung saya mau menolong mereka, akhirnya nenek yang satu kuserahkan kepada petugas haji yang pada saat itu kujumpai, yang seorang lagi kuantar sampai ke terminal bus.

“Nenek dari mana?, ”tanyaku.”

“Dari Indramayu, “ jawabnya.”

“Tinggal di hotel mana, nek?

“Tidak tahu, ” katanya.”

“Biasanya naik bus nomor berapa ke sini?”

“Nomor 10, ” jawab nenek.”

“Oh, kalau begitu kita berbeda jalur, nek, ”kataku.”

Sambil berjalan kesakitan, nenek itu kubantu, membuka kaus kakinya, mengolesi kakinya dengan “hotcream” obat oles terkenal yang biasa dibawa oleh jama’ah haji Indonesia. Setelah selesai kuolesi, kupakaikan lagi kaus kakinya, terus kugandeng tanganya sampai ke terminal Bus 08. Alhamdulillah bertemu petugas lagi.

“Pak minta tolong, ibu ini terpisah dari rombongan tolong antarkan ke terminal bus 10, aku titip ya, ”pintaku.”

Belum lagi saya selesai menyampaikan pesan titip tadi, tiba-tiba petugas haji itu bilang.

“Bu, cepatlah ibu ke bus itu. Bus itu bus terakhir hari ini.”

Betapa terkejutnya aku, bergegas saya lari, sambil berteriak.

”Stop, stop,” pintaku.”

Akhirnya bus yang sedang berjalan perlahan itu berhenti. Alhamdulillah atas pertolongan Allah aku bisa pulang dengan bus terakhir, karena memang hari itu ada peraturan pukul 11 siang bus tidak beroperasi lagi.

Dalam perjalananku pulang ke hotel waku itu tak henti-hentinya aku menangis haru, bersyukur dan bahagia, hari itu aku telah melalui berbagai ujian menolong banyak orang, dengan selamat walau penuh perjuangan akan tertinggal bus.

“Di rumah Allah semua akan baik-baik saja,” gumam lirihku.”

Kalau itu tadi aku benar-benar tertinggal bus, terus bagaimana nasibku, aku yang tak tahu jalur pulang, takut kalau naik taksi sendiri, maklum kesan “angker” masih menyelimuti pikiranku.

Dari perjalananku haji kali ini banyak hikmah yang bisa kupetik, semoga dosa-dosaku terampuni, keimananku semakin dikuatkan oleh Allah, tidak pilih kasih ketika menolong pada sesama, sampai sekarang ibadah yang kulakukan di tanah suci selalu dapat diimplentasikan dalam kehidupanku sehari hari. Misalnya salat berjamaah diupayakan selalu tepat waktu, ilmu memijat yang ku dapatkan sampai saat ini saya gunakan untuk membantu orang jika sedang kelelahan, bersedekah semakin ada peningkatan, dan lebih banyak beragam yang kita tasyarufkan.

“Sampai jumpa tahun depan” sesaat aku meneteskan air mata utuk kesekian kalinya di depan Ka’bah, untuk berpamitan, seraya kumemohon untuk diberi kesemptan sowan ke rumah-Mu lagi di tahun-tahun mendatang. Sampai ke hotel, saking capeknya aku tertidur pulas. Wajah bersih berpakaian putih menghampiri di kamar hotelku.

Assalamu’alaiakum, mas,” sapaku sambil tersenyum kepadanya.”

Kemudian kuterbangaun, jam di ponselku meunjukkan pukul 05.00 waktu Makkah, berarti kalau di Indonesia pukul 03.00 dini hari. Oh, rupanya aku telah bermimpi bertemu suamiku, baru tersadar bahwa akan segera bergegas pulang ke tanah air. Lahu alfatihah semoga kau bahagia di alam surga. amin.

Sumber:

Ambarsih dkk, 2020, “Sejuta Kenagan Haji Amazing Journey”, halaman 33, Yogyakarta, Samudra Biru.

Tentang Junaedi

Penulis esai. Penulis Buku Cuitan Wong Ndeso. Bekerja sebagai staf PSID, yang membawahi PCL.

Baca Juga

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X