Pagelaran

Desa Budaya Panggungharjo Tampilkan “Ngrapyak”

pada

Gondokusuman (Media Panggungharjo) – Menjaga status sebagai desa budaya tentunya bukan perkara yang mudah bagi pengelola desa budaya, terutama dalam penguatan budaya-budaya tradisi lokal. Penguatan kebudayaan tradisi lokal ini perlu dilakukan secara konsisten dan dikemas dalam satu konsep yang menarik sehingga keberlangsungannya dapat terjaga.

Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta tentunya mempunyai berbagai macam strategi dalam penguatan kebudayaan tradisi lokal tersebut, salah satunya yaitu menyelenggarakan Gelar Potensi Desa/Kelurahan Budaya yang diselenggarakan setiap tahunnya serta mewajibkan 56 desa dan kelurahan se-Daerah Istimewa Yogyakarta yang telah menyandang predikat desa budaya untuk mengikutinya.

Gelaran tahunan tersebut untuk tahun 2019 ini dibagi menjadi empat lokasi yang berbeda sesuai kabupaten yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Untuk Kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta sendiri digabung menjadi satu dan diselenggarakan di Embung Langensari, Klitren, Gondokusuman, Kota Yogyakarta.

Gelaran yang diselenggarakan pada Sabtu hingga Minggu (21-22/09/2019) ini diikuti oleh 14 desa dan kelurahan budaya yang terdiri dari Desa Gilangharjo, Desa Bangunjiwo, Desa Panggungharjo, Desa Selopamioro, Desa Sitimulyo, Desa Sabdodadi, Desa Mulyodadi, Desa Trimurti, Desa Srigading, Desa Dlingo, Desa Triwidadi, Desa Seloharjo, Kelurahan Kricak serta Kelurahan Terban.

Menurut Anto Sukanto, pendamping desa budaya Desa Panggungharjo, gelaran ini menerapkan sistem yang sama dengan gelaran yang telah diselenggarakan sebelumnya.

“Masih sama seperti tahun lalu, dilombakan. Yang dinilai nantinya yaitu stan dan penampilan pertunjukan dari masing-masing desa budaya.” ungkap Anto.

Pendamping desa budaya yang telah mendampingi Desa Panggungharjo selama dua tahun sejak 2018 ini berharap agar Desa Panggungharjo dapat menampilkan potensinya dalam gelaran tersebut semaksimal mungkin.

“Tahun-tahun sebelumnya penampilan Desa Panggungharjo kurang maksimal karena digarap kurang serius, terutama untuk stan yang ditampilkan. Kami harap stan pada tahun ini tidak hanya jualan saja namun bisa menampilkan wajah desa budaya dan pengelolaannya secara lengkap, itu poin pentingnya.” imbuh Anto.

Ditemui secara terpisah, Nur Afifah selaku pengelola desa budaya Desa Panggungharjo mengungkapkan bahwa kontingen Desa Panggungharjo untuk tahun 2019 ini melakukan sistem yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.

“Kami dari Desa Panggungharjo untuk tahun ini mencoba sistem dua tim. Satu tim untuk menggarap pertunjukan yang akan ditampilkan, dan satu tim lagi menggarap untuk stan.” ujar Afifah.

Menurut perempuan kelahiran tahun 1995 ini, metode tersebut dirasa paling tepat diterapkan. Ia mengungkapkan bahwa untuk pertunjukan sendiri digarap oleh salah satu pedukuhan yang mendapatkan giliran yaitu Pedukuhan Pandes.

“Untuk pertunjukan biasanya setiap tahun kami gilir kepada salah satu pedukuhan yang ada di Desa Panggungharjo. Nah untuk stan sendiri harusnya digarap oleh Bumi Panggung selaku pengelola desa budaya.” imbuh Afifah.

Sedangkan Muhammad Ivan Awandi Rasyid yang juga merupakan pengelola desa budaya Desa Panggungharjo menuturkan bahwa ia cukup kesulitan dalam melakukan pengerjaan stan yang akan ditampilkan.

“Ya cukup kesulitan sih dalam pengerjaannya, kesulitannya itu dimana waktu pengerjaan yang kami rasa sudah mepet namun hanya diampu oleh enam orang. Dua orang melakukan pengumpulan potensi dan empat orang melakukan pembuatan display stan. Itu saja dibantu Mas Anto.” tutur Ivan.

Menurut Ivan, sistem yang dilaksanakan pada tahun ini berdasarkan usulan dari Dukuh Pandes, Setyo Raharjo, yang meminta untuk pengerjaan stan diampu oleh tim tersendiri.

“Tapi ya alhamdulillah semuanya berjalan lancar, lebih terorganisir dan tidak terkesan asal-asalan.” ujar Ivan.

Desa Panggungharjo dalam mengikuti gelaran tersebut menampilkan satu sendratari garapan berjudul “Ngrapyak” yang dimainkan oleh kurang lebihnya 50 pelaku seni dari Pedukuhan Pandes. Sendratari “Ngrapyak” ini sendiri menceritakan tentang Panggung Krapyak yang dahulunya dijadikan sebagai pos perburuan kijang dan sebelum didirikan sebagai area pertempuran melawan penjajah. (BGX)

Tentang Fajar Budi Aji

Hanya seorang yang beranjak tua dan terus mencoba untuk lebih dewasa tanpa menghilangkan rasa kekanak-kanakannya. "Urip Iku Urup" dan "Rasah Wedi Dirasani Karena Hidup Banyak Rasa" Dua motto andalan inilah yang dijadikan pegangan dalam menjalani kehidupan sehari-harinya.

Baca Juga

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X