SEJARAH KAMPUNG

Cerita Sejarah Kampung Weden, Kampung Miri dan Kampung Sawit

Oleh

pada

Hari Sabtu pagi menjelang siang kemarin, saya bersilaturahmi kepada mantan ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Panggungharjo, yang menurut nomenklatur keistimewaan sekarang berubah nama menjadi Badan Permusyawaratan Kalurahan (Bamuskal) Panggungharjo, yaitu Sukirman,  yang kebetulan berdomisili di Prancak Weden.

Tujuannya adalah untuk menggali informasi seputar sejarah kampung, khususnya sejarah Kampung Prancak Weden. Pertama kali yang saya tanyakan adalah asal mula nama Prancak Weden. Menurut Sukirman, nama Prancak kemugkinan besar sejak bergabungnya Kampung Weden, dalam Kalurahan Prancak sebelum bergabung menjadi satu dengan Kalurahan Panggungharjo.

Nama Weden kemungkinan berasal  dari kata “wedi”. Menurut sepengetahuannya bahwa Kampung Weden secara geografis struktur tanahnya di daerah bawah,  hal tersebut terbukti ketika mencangkul tanah di sini baru beberapa cangkulan saja sudah ketemu dengan pasir. Pasir daalm bahasa Jawa disebut dengan kata wedi. Kemungkinan besar dari kata wedi inilah yang lama kelamaan berkembang menjadi weden. Jadi kalau di gabung menjadi Kampung Prancak Weden.

Dari Sukirman jugalah saya disarankan untuk bertanya kepada narasumber kedua, sesorang sesepuh Kampung Prancak Weden, yang bernama lengkap Akabadi Badi Asmara, seorang putera bekel (Lurah) Kalurahan Prancak yang bernama  Marto Sudarmo.

Menurut penuturannya, nama Kampung Prancak Weden tidak jauh berbeda denga apa yang diceritakan Sukirman. Tetapi penjelasannya lebih mendalam lagi. Bahwa konon ceritanya, Sumur Gemuling milik Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang terdapat dalam Tamansari mengalir ke selatan sampai Pugeran. Dari Pugeran mengalir ke selatan sampai ke pasti hinggga akhirnya  sampai ke Embung Karangnongko. Dari Embung Karangnongko mengalir ke Kali Buntung,  debit airnya mengalir dengan besar di sertai pasir  dan begitu kencangnya debit air ke arah selatan hingga sampailah air yang sudah bercampur dengan pasir ke  kampung sini. Sampai kampung sini debit air tidak begitu kencang lagi karena air sudah bercampur endapan pasir yang makin menebal.

Karena banyak endapan pasir yang dibawa oleh deras dan cepatnya debit air melalui Kali  Buntung inilah akhirnya kampung sini dinamakan Kampung Weden. Kata Weden berasal dari kata Wedi (Pasir: Bahasa Indonesia). Sedangkan nama Prancak kemungkinan besar sejak Prancak Weden masih bergabung dengan Kalurahan Prancak. Selain Prancak Weden, ada beberapa nama prancak lainnya seperti  Prancak Glondong, Prancak Dukuh, Prancak Pandes, Prancak Sawit dan Prancak Miri.

Menurut Akabadi, Prancak memiliki tokoh pemuka masyarakat yang terkenal pada zaman dahulu yaitu Simbah Kartorejo, yang biasanya disebut Kentole Kartorejo. Salah satu jasa Simbah Kentole Kertorejo adalah menanami di sekitar Kali Buntung (sebelum adanya bangket Kali Buntung) dengan beberapa buah tanaman Pohon Turi.

Tujuannya untuk menghalangi agar pasir tidak sampai ke rumah-rumah warga. Maka di sekitar tempat ditanaminya Pohon Turi selanjutnya diberi nama Kampung Karang Turi walaupun hanya berpenghuni beberapa gelintir warga saja.

Sebetulnya di wilayah Padukuhan Sawit  masih ada nama-nama kampung, seperti Sawit, Jajaran dan Miri. Tetapi Akabadi tidak mengetahui persisnya sejarah kampung-kampung tersebut. Hanya secara administratif Padukuhan Sawit dibagi menjadi empat kampung dan 5 RT, dengan perincian sebagai berikut: Kampung Sawit berada di RT 02 dan RT 03, Kampung Weden berada di RT 04, Kampung Miri berada di RT 05 dan Kampung Jajaran berada di RT 01.

Menuru Akabadi bahwa  nama cikal bakal Kampung Sawit adalah Kyai Tjitro Padang, dan makamnya hingga saat ini masih terawat dengan baik di Pemakaman Kampung Sawit.  Sepengetahuannya secara administratif Dukuh Sawit sudah mengalami pergantian lima kali. Adapun nama-nama Dukuh Sawit tersebut adalah: Mondro Haryono (Dukuh Sawit Pertama), Darmo Kukilo (Dukuh Sawit Kedua), Sutrisno (Dukuh Sawit Ketiga), Arjo Suwito (Dukuh Sawit Keempat) dan Jayeng Widagdo (Dukuh Sawit Kelima).

Lebih lanjut Akabadi menuturkan bahwa zaman perang melawan tentara Belanda (Agresi Militer Belanda) di Kampung Weden dan Kampung  Sawit terdapat 7 pos Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yaitu empat pos di rumah warga Kampung Weden dan tiga pos di rumah milik warga Kampung Sawit. Adapun empat rumah warga Kampung Weden yang dijadikan pos TKR adalah rumah milik: Atmo Inggeno, Karso, Marto Sudarmo dan Joyo Wiyarjo. Sedangkan tiga rumah warga Kampung Sawit yang dijadikan pos TKR adalah rumah milik: Atmo Suwarno, Arjo Suwito dan Pawiro (Noto Kawit).

Dukuh Sawit Pertama yang bernama Mondro Haryono, merupakan pejuang veteran Republik Indonesia, yang pada waktu itu bertugas membantu menyiapkan makan para tentara TKR. Sepengetahuannya bahwa ada beberapa nama-nama komandan TKR antara lain: Soeharto, Komarudin, Ismail dan Widodo.

Pada waktu perang melawan tentara Belanda, ada seorang Pamong Kalurahan yang bernama Pringgo tertembak oleh tentara ketika sedang ikut membantu mengarahkan  warga Kalurahan, dan mengakibatkannya meninggal dunia di tempat kejadian.

Satu lagi terkait cerita sejarah, ada satu  rumah lagi yaitu milik warga Kampung Sawit yang dipergunakan sebagai tempat untuk menampung jenazah tentara Belanda yang meninggal dunia, waktu itu pernah ada sekitar 27 tentara Belanda yang meninggal dunia.

Atas saran Akabadi, saya disuruh menemui salah satu tokoh sesepuh warga masyarakat di Kampung Miri, yang bernama Sis Murkijo alias Siswo Pranoto. Pria kelahiran tahun 1939 (81 tahun) fisiknya sudah mulai renta dan hanya berbaring di kamar tidur sewaktu saya menemuinya. Tetapi jika diajak bicara masih dapat merespon dengan baik, walaupun banyak hal yang menurutnya sudah banyak hal yang  ia sudah lupa.

Termasuk ketika saya tanya siapa nama cikal bakal Kampung Miri. Siswo Pranoto tidak dapat menyebutkan namanya, hanya saja ia mengetahui di mana cikal bakal Miri dimakamkan yaitu di pemakaman Kampung Miri. Lebih lanjut Siswo Pranoto menuturkan terkait nama Kampung Miri dan Kampung Sawit.

Jika dipas-paske, kemungkinan besar nama Miri menurut para orang tua dan para simbah-simbah terdahulu karena di kampung tersebut dahulunya banyak Pohon Miri. Seingatnya banyak tanah milik warga yang ditanami Tanaman Miri, sebelum akhirnya di tanami Tanaman Tebu pada zaman penjajahan  Belanda.

Demikian juga dengan gotak gatik gatuk terkait nama Kampung Sawit, menurut para orang tua dan para simbah-simbah dahulu, kemungkinan besar dikarenakan di kampung tersebut banyak ditanami pohon Sawit. Masih menurut Siswo Pranoto, bahwa dahulu di utara makam Kampung Miri terdapat Pohon Sawit tertua berdampingan dengan Pohon Randu Alas.

Terkait perkembangan pembangunan Kampung Sawit dan Kampung Miri, Siswo tidak dapat menuturkan dengan detail karena ada beberapa memori di masa lalu yang sudah tidak dapat dingat-ingatnya lagi.

Ingatannya hanya terbatas pada masa Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, tahun 1965. Menurutnya ada empat tokoh warga Kampung Sawit yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G 30 S PKI), dan pada waktu itu ketika ada operasi pengamanan dari G 30 S PKI oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) empat orang warga Kampung Sawit tersebut terciduk dan hingga kini tidak kembali lagi ke Kampung Sawit. Keempat orang tersebut bernama Sastro Kengkong, Noto Sawit, Tris dan Baidah (JNT).

Referensi:

  1. Sukirman, S.H., Ketua Badan Permusyawartan Desa, tahun 2012-2018.
  2. Akabadi Badi Asmara, tokoh sesepuh masyarakat Weden dan Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat.
  3. Sis Murkijo alias Siswo Pranoto, tokoh sesepuh Kampung Miri dan Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat.

Tentang Junaedi

Penulis esai. Penulis Buku Cuitan Wong Ndeso. Bekerja sebagai staf PSID, yang membawahi PCL.

Baca Juga

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X