Nama lengkap saya adalah Sugiharto, S.T. Sejak bulan Juli 2018 ketika masih duduk dibangku kuliah, saya sudah menjadi staff Ulu-Ulu Kaluruhan Panggungharjo walaupun masih belum bisa bekerja full time. Sampai pada bulan Januari 2020 baru bisa kerja full time setelah selesai mengerjakan tugas akhir skripsi dari kampus  Institut Teknologi Yogyakarta tercinta. Sebagai staff Ulu-Ulu yang terbilang masih muda sering mendapat tugas sampingan di luar tupoksi Ulu-Ulu. Begitu juga halnya ketika terjadi lonjakan pandemi Covid-19 Varian Delta begitu merajalela saya mendapatkan tugas sebagai bagian dari tim medis shelter tanggon.

Pengalaman ini terjadi, awalnya pada tanggal 20 Juni 2020 saat saya terkonfirmasi positif Covid-19. Bahwa keluarga saya yang semuanya berjumlah 7 orang, 5 orang diantaranya terkonfirmasi positif Covid-19. Termasuk saya, bapak, ibu dan kakak saya semuanya terpapar positif Covid-19, hanya kakak ipar saya dan keponakan saya yang tidak terpapar positif Covid-19.

Tetapi baru pada tanggal 27 Juni saya mendaftarkan diri masuk shelter tanggon sebagai penyintas Covid-19, dan selanjutnya secara resmi saya menjadi pasien shelter tanggon pada awal-awal didirikannya shelter tanggon setelah melalui proses rembugan dan persetujuan dari Dukuh Pelemsewu. Semasa menjadi pasien shelter tanggon terkadang sudah dimintai bantuan oleh teman-teman relawan shelter untuk menangani sesama pasien shelter yang membutuhkan pertolongan terutama dari kalangan lansia.

Hingga akhirnya, pada tanggal 5 Juli 2021, ketika saya sudah tidak bergejala lagi, dan dinyatakan sembuh secara medis sehingga sudah diperbolehkan untuk pulang. Selanjutnya karena di kantor Kalurahan Panggungharjo  tidak ada pekerjaan terkait program pembangunan yang selama ini menjadi tupoksi pekerjaan saya.  Seiring  adanya kebijakan dari Lurah Panggungharjo untuk fokus pada penanganan pandemi Covid-19 melalui pelayanan shelter tanggon ketika pertama kali saya masuk setelah sembuh dari Covid-19  adalah dengan membantu mengabsen pamong Kalurahan Panggungharjo  yang bertugas  piket jaga pos  di shelter tanggon.

Seiring lonjakan pandemi Covid-19 yang semakin merajalela, maka Lurah Panggungharjo membentuk divisi-divisi untuk memaksimalkan penanganan shelter tanggon dengan membagi menjadi divisi medis (klinis) dan divisi non medis (non klinis). Dan saya pun ditunjuk  dan ditugaskan untuk masuk dalam divisi medis.

Pada awalnya saya menolak tugas dari  Lurah Panggungharjo, dengan beberapa alasan diantaranya adalah alasan pertama bahwa kedua orang tuanya yang sudah yang sudah tua keberatan jika saya bertugas di shelter, alasan kedua bahwa saya tidak memiliki basic medis seperti belum pernah terkait pemasangan instalasi oksigen pada pasien. Tetapi Lurah Wahyudi berusaha meyakinkan terus kepada saya  dan mencontohkan kepada saya tentang bagaimana memasang instalasi oksigen pada pasien, akhirnya saya menyanggupi tugas dari Lurah Panggungharjo tersebut secara diam-diam,  dan saya tidak memberitahukan hal tersebut  kepada kedua orang tua saya terkait tugas sampingan saya yang baru menjadi tim medis shelter tanggon.

Dari sinilah mulai ada cerita pengalaman nyata ketika menjadi tim medis shelter tanggon. Pertama, ketika pada suatu hari  sekitar pukul 10.00 WIB datang seorang bapak berumur 40 tahunan, warga Kalurahan Timbulharjo yang bernama Teguh dengan bergejala berat.  Begitu masuk ke shelter tanggon kita  periksa tanda-tanda vital (TTV), tensinya 160, saturasi 60-65%, dan ketika kita tanya apakah mengalami sesak nafas dijawabnya dengan “gelengan kepala”. Selanjutnya kita masukan ke kamar yang berada di dekat pos skrining agar lebih mudah dan lebih cepat dalam penanganan. Untuk petugas selanjutnya kita serahkan kepada tim yang jaga pada shift berikutnya yaitu Melina dan Vina.

Menurut informasi dari Melina dan Vina pada pukul 12.00, Teguh dicek TTV nya lagi, saturasinya turun terus hingga 30 %, selanjutnya oleh Melina dibawa ke ruang oksigenasi. Teguh masih dalam pantauan tim medis, sekitar pukul 17.30 WIB ketika diadakan visit lagi ke shelter, ia tidak ada dikamarnya. Katanya sempat mandi dan jalan-jalan. Setelah dicek saturasinya 55%, sudah dicoba diberi oksigen dengan tabung besar dengan kecepatan 10 l/detik  tetapi tidak bisa terisi.

Karena yang kita urusi tidak hanya Teguh, maka kami sambi melayani pasien lain. Tetapi menurut informasi yang saya dapat bahwa  instalasi oksigen yang dipasangkan kepadanya terkadang dilepas terkadang dipasang lagi, hingga ada tim medis yang menyayangkan atas tindakan tersebut.

Pada pukul 07.00 WIB seperti biasanya diputarkan iringan lagu-lagu yang disalurkan dari pos penjagaan shelter tanggon. Setelah dua jam berlalu kok tiba-tiba musiknya tidak bunyi lagi. Usut punya usut ternyata terjadi listik mati. Hal tersebut menyebabkan gangguan  sesak nafas padanya. Kemudian saya beri saluran oksigen tabung kecil untuk memberikan pertolongan padanya. Dikarenakan APD yang saya pakai sobek maka saya keluar sebentar untuk menutupnya dengan isolasi hingga akhirnya listrik pun menyala, sehingga kami bisa memakaikan oksigen konsentrat kepadanya.

Selanjutnya datanglah ke shelter tanggon adik Teguh beserta suami, kemudian saya tanyakan : “apakah mau menemui  ke kamar shelter atau tidak?”, ternyata jawabannya adalah mau menemuinya. Maka jika menemuinya maka protokol kesehatannya adalah harus mengenakan APD lengkap. Setelah memakai APD lengkap keluarga Teguh  menemuinya dengan membawakan bekal untuknya.

Setelah bertemu dengan Teguh,  kemudian  keluarga tersebut menanyakan terkait kapan mau dirujuk ke rumah sakit  rujukan. Dan saya menjawab pertanyaan dari keluarganya bahwa masih menunggu surat rujukan dari Puskesmas Sewon 1.

Sekitar pukul 12.00 WIB, surat rujukan dari Puskesmas Sewon 1 sudah jadi yang isinya paien dirujuk RSUD Panembahan Senopati Bantul. Setelah mobil ambulance siap, saya menanyakan kepada Teguh :”apakah bisa berjalan”  tetapi dia sudah tidak bisa menjawabnya. Tetapi tiba-tiba dia berdiri dari kasur sambil gemetar sekali, dan saya berusaha memapahnya menuju mobil ambulance. Tetapi begitu sampai mobil ambulance, tiba-tiba  Teguh sudah tidak sadarkan diri, hingga saya harus meminta bantuan  relawan shelter lainnya untuk menaikkannya  ke mobil ambulance karena tubuhnya  terasa berat sekali.

Dalam kondisi tidak sadar ini, saya memangkunya untuk mengantarkannya ke RS Panembahan Senopati, tetapi takdir berkata lain sebelum sampai perempatan Manding saya merasakan bahwa Teguh telah meninggal dunia. Sesampainya di  RSUD Panembahan Senopati Bantul di cek dan benar adanya bahwa alat menunjukkan 0 saturasi dan 0 nadi. Walaupun demikian untuk memastikan meninggal dunia atau tidaknya, Teguh tetap di bawa UGD/ICU, selang beberapa menit berlalu kita mendapatkan informasi bahwa Teguh telah meninggal dunia.

Kedua, cerita pengalaman ketika menindaklanjuti laporan dari hotline shelter tanggon dari salah satu warga Bangunharjo. Namanya Teguh, seorang penyintas difabel. Pada saat shift jaga malam bersama Melina yang baru visit di dalam shelter tanggon , sementara saya yang bertugas home visit ke luar shelter dengan ditemani oleh driver ambulance bernama Sugik, dan disusul oleh Silvi menaiki sepeda motor. Dalam perjalanan dari shelter menuju rumah pasien, ada kejadian aneh. Kejadian pertama, Sugik meminta tolong kepada saya untuk membetulkan posisi spion sebelah kiri yang dekat saya.

Tetapi tidak tahu kenapa tiba-tiba spionnya putus. Sudah dicoba dibetulkan tetapi tidak bisa. Kejadiabn kedua, sesampainya di rumah pasien. Saya sudah menyiapkan perlengkapan tabung oksigen lengkap dengan instalasinya termasuk Kunci Inggris tetapi entah kenapa Sugik, saya tunggu di rumah pasien malah tidak datang-datang akhirnya saya susul ke mobil ambulance, ternyata Sugik masih mencari keberadaan Kunci Inggris yang sudah saya bawa dari tadi.

Begitu ketemu dengan pasien ternyata Teguh sudah tidak sadarkan diri. Istrinya begitu paniknya. Setelah saya dicek TTV pasien, saturasinya 30 %, kemudian setelah diberi oksigen selama setengah jam saturasinya naik menjadi 65%, dan menyebabkan Teguh sempat sadarkan diri juga. Setelah dicek lagi saturasi cenderung naik terus akhirnya kita pulang ke shelter lagi.

Tetapi sebelum kita pulang, saya memberikan edukasi kepada keluarganya terkait penanganan pertama, dan memberikan simulasi cepat terkait cara menghidupkan dan  mematikan tabung oksigen. Kita juga memberikan nomor telepon jika terjadi kondisi darurat.

Sesampainya di shelter keluarga Teguh sempat menelpon terkait oksigen yang mati kemudian setelah dipandu melalui handphone oksigen bisa hidup kembali .  Tetapi saya mendapatkan informasi tentang kejadian selanjutnya ketika Kevin homevisit ke rumah Teguh karena ada laporan dari pihak keluarga Teguh bahwa alat saturasi tidak berfungsi. Setelah dicek oleh Kevin sesampainya dirumah Teguh, ternyata Teguh sudah meninggal dunia.

Pengalaman yang saya temui ketika menjadi relawan shelter tanggon, yang menurut saya unik adalah ada pasien yang homuris suka geguyon, ada pasien yang suka mengajak ngopi bareng, ada pasien yang suka mengajak makan lotisan bersama, ada juga pasien yang suka selfie, dan ada pasien yang ingin nobar sinetron ikatan cinta, yang akhirnya benar-benar terealisasi nobar sinetron ikatan cinta menggunakan layar lebar selama satu minggunan.

Menurut saya, nilai-nilai positif yang dipraktikkan oleh sesama penyintas Covid-19 adalah rasa kegotong royongan masih terjalin dengan baik, saling memotivasi dan menghibur sesama penyintas berdampak positif dapat meningkatkan daya imunitas tubuh penyintas  Covid-19 sehingga cepat dapat proses penyembuhan (recovery).

Ada satu cerita tentang romantika sesama tim relawan shelter, yang menimbulkan benih-benih cinta dan kecemburuan. Ya, pada waktu itu terdengar semacam isu yang mengaitkan saya dengan seseorang. Mungkin karena sifat saya yang akrab terhadap siapapun banyak yang salah mengartikan. Hampir setiap hari banyak yang menduga bahwa saya menjalin suatu hubungan dengan seseorang dan pada akhirnya seseorang yang disangka mempunyai hubungan dengan saya bercerita tentang beberapa orang yang selama ini menggosipkan kita berdua.

Dari cerita yang dia sampaikan akhirnya saya bertindak untuk memanasi suasana untuk sebatas guyonan (just kidding). Pada suatu malam saya merencanakan untuk membuat story whatsaap dengan menggunakan foto dari rekan saya yang bekerja di salah satu rumah sakit yang ada di Kasihan Bantul.

Benar saja setelah saya mengupload story ada yang menanggapi story saya seperti ini:  “iki tangane si kae to?” sontak seketika saya tertawa, ternyata benar saja ada yang terpancing dengan story WA saya ini. Terlepas dari semua itu dalam tulisan ini, saya juga ingin menegaskan bahwa selama ini saya sendiri memang tidak mempunyai hubungan khusus dengan siapapun dan yang selama ini rekan-rekan lihat mungkin hanya sebatas gaya berteman saya saja yang akrab dengan siapapun.

Terakhir saya tuliskan bahwa adanya anggapan dari masyarakat tentang pasien yang di Covidkan, bahwa Covid bukanlah sebuah aib dan siapa saja bisa terpapar Covid, berhusnudzhonlah kepada Allah Azza wajalla bahwa semua yang terjadi sudah menjadi kehendak Allah dan ketika Allah menurunkan musibah atau penyakit kepada hambanya boleh jadi ini sebagai penggugur dosa bagi penderitanya (JNT).

Referensi :

Sugiharto, S.T. (Staff Ulu-Ulu Kalurahan Panggungharjo).