Seni Budaya

Transformasi Budaya Dalam Merti Kali Sawit

Oleh

pada

Sawit (Jurnalis Warga) – Sejarah sungai bukan hanya soal sekedar sungai tempat air mengalir. Sungai adalah sumber kehidupan pertama sejak sebelum ditemukan teknologi terbaik untuk membuat sumur dalam dan belum ditemukan teknik distribusi air terbaik. Cerita kuno banyak mengambil sungai tidak hanya sebagai latar cerita tetapi menjadikan sungai sebagai peran utama. Sungai pada saat itu adalah urat nadi kehidupan karena menghasilkan air sumber utama kehidupan. Sungai adalah ruang perjumpaan karena di situlah umat manusia menjaga dan berbagi. Sekian banyak cerita bisa kita temukan tentang sungai-sungai yang disucikan.

Sekarang, dengan perkembangan teknologi, sungai tidak lagi sebagai sumber utama air. Sumber utama air bergeser ke sumur, mata air dan perusahaan air jika dilihat dari segi kepraktisan serta jaminan kesehatan yang membuat manusia bergeser. Akhirnya, sungai tidak lagi menjadi halaman depan, tetapi menjadi halaman belakang dari pemukiman masyarakat. Sungai dengan karakternya merupakan air mengalir yang pada akhirnya menjadi tempat untuk pembuangan. Baik itu pembuangan air hujan, pembuangan limbah cair rumah tangga, dan tempat membuang sampah. Kemunduran peradaban ini merajarela di Indonesia pasca stabilitas ekonomi politik negara tercapai dan ledakan penduduk pada awal tahun 80-an. Sejak saat itu sungai menjadi semakin kotor.

Di wilayah Yogyakarta yang bentang alamnya sangat unik, dari ujung utara hingga pantai selatan benar-benar berada garis lurus. Otomatis daerah selatan adalah daerah yang “kaya” akan limbah bila sungai tidak terjaga kebersihannya. Limpahan dari wilayah utara sangatlah banyak, mengingat padatnya pemukiman dan industri di wilayah Yogyakarta bagian utara.

Sedangkan Desa Panggungharjo, celakanya terletak di wilayah Yogyakarta bagian selatan yang sudah sangat padat penduduk. Belumlah mengurus permasalahan limpahan limbah dari utara, Desa Panggungharjo harus mengurus persoalan sampah yang berasal dari warganya sendiri.

Sudah banyak inisiatif yang sangat baik dari Desa Panggungharjo terkait dengan penyelesaian persoalan sampah. Bahkan sudah mendapatkan pengakuan dan apresiasi dari daerah maupun nasional. Dari bank sampahnya hingga pengolahan energi dari minyak goreng bekas. Akan tetapi pekerjaan rumah terbesar Pemerintah Desa Panggungharjo adalah merubah kebiasaan masyarakat. Kebiasaan dan perlakuan masyarakat pada sungai yang menganggapnya hanya sekedar benda mati saja.

Warga Pedukuhan Sawit dalam Merti Kali yang dilakukan pada Senin (1/9/2018) lalu, mengkampanyekan kegelisahan di atas dengan pendekatan budaya. Merti dipahami warga Pedukuhan Sawit sebagai bersih desa atau dusun yang harus dilaksanakan dengan dua cara, yaitu secara langsung dan secara simbolik. Secara langsung, dilakukan warga dengan kerja bakti membersihkan Kali Buntung yang mengalir membelah Pedukuhan Sawit serta terletak di perbatasan Pedukuhan Sawit dan Pedukuhan Glondong. Kemudian kegiatan dilanjutkan mulai dari siang hingga sore hari dengan upacara budaya merti dusun secara simbolik.

Dalam upacara merti dusun tersebut, kegiatan dimulai dengan kirab berbagai sesaji adat Jawa lengkap. Sesaji tersebut berisikan Tumpeng Gundul, Sega baskom, Sate Daging, Takir, Ingkung, Pisang Sanggan, Jajan Pasar, Kemenyan, dan Pala Kependem. Ini sebagai upaya syukur warga kepada Tuhan Yang Maha Esa atas anugerah alam yang subur dan melimpah bahan pangan. Selain itu, warga Sawit nampaknya ingin memperkenalkan lagi kepada generasi muda bahwa betapa kayanya Jawa dengan tradisi yang adiluhung.

Setelah kirab selesai, kegiatan dilanjutkan dengan sebuah tarian oleh seorang gadis remaja. Biarpun tariannya adalah tarian penyambutan, tapi keberadaan penari perempuan ini adalah simbol dari kesuburan. Berlanjut dengan performance art (seni Pertunjukanredyang dilakukan oleh seniman berkolaborasi dengan pemuda kampung. Mereka semua turun ke sungai sambil membawa patung manusia sampah. Kemudian para pemuda tersebut menempelkan sampah yang masih tersisa di sungai ke badan patung sampah.

Kegiatan dilanjutkan dengan mengarak patung sampah tersebut, yang diarak oleh para sesepuh kampung dan kemudian dibakar bersama-sama. Ini adalah simbol pembakaran angkara murka. Murka sampah di sungai yang bisa menyebabkan berbagai penyakit. Setelah pembakaran patung, warga melanjutkan kegiatan dengan doa bersama oleh para pemuka agama. Kegiatan diakhiri dengan makan bersama seluruh warga.

Warga Pedukuhan Sawit sudah menampilkan kepada kita semua tentang apa itu transformasi budaya. Budaya tidak hanya berfungsi sebagai ritual rutin dan pertunjukan mengejar gebyar belaka dengan teknik tinggi yang susah dimengerti masyarakat. Budaya pada titik tertentu harus diposisikan berfungsi sebagai alat perjuangan. Budaya sebagai ruang yang tidak kaku untuk memberi pesan pada masyarakat untuk berubah dan bila memungkinkan pada penguasa agar berubah atau setidaknya mendengarkan suara rakyat kecil.

Sampah itu bisa menjadi berkah, masukkan dalam (k)otak kreativitasmu. Sedangkan, sungai harus dijaga karena bagaikan aliran darah di tubuh manusia, sungai adalah urat nadi kehidupan. Urat nadi kebudayaan jati diri bangsa. (Setowijaya)

Tentang setawijaya

Warga Biasa

Baca Juga

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X