Seni Budaya

Merawat Srawung Dalam Merti Dusun (Bagian I)

Oleh

pada

Panggungharjo (Jurnalis Warga) – Kemanusiaan umat manusia saat ini semakin lama semakin dipertanyakan. Betapa manusia semakin terasing dari genetika dasarnya sebagai mahluk sosial. Mahluk sosial yang selalu mendamba relasi dan perjumpaan. Betapa pula manusia semakin haus akan konflik, dan justru hidup harmonis dengan konflik. Seolah konflik adalah tetangga terdekatnya.

Manusia semakin tidak mampu diidentifikasi kemanusiaannya. Seolah naluri saja yang dipakai untuk bernafas dan bertindak, tanpa menggunakan pikiran yang jernih dan olah rasa yang bijak penuh perdamaian. Tidak berlebihan memang bila dikatakan manusia semakin terasing dari kemanusiaan. Terasing dari relasi yang damai dan keberpihakan atas kehidupan.

Problem filosofis di atas, secara nyata di kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia saat ini, termanifestasi dalam mengemukanya politik identitas. Politik saat ini menjadi panglima dalam kehidupan berbangsa. Tidak lagi ideologi bangsa dan persatuan bangsa yang menjadi panglima. Politik keterlaluan dominannya dalam relasi kehidupan masyarakat Indonesia. Masih untung bila praktek politik yang dominan itu adalah politik yang beradab, beretika dan bermoral, sayangnya tidak.

Politik di Indonesia makin lama cenderung makin menghalalkan segala cara, kasar, makin menggemari teori konflik, makin pula menggemari politik identitas yang nyaris tanpa batas. Jualannya sama yaitu rakyat. Justru kemerdekaan masyarakat dari problem konkret di kehidupan sehari-hari semakin jauh dari tercapai. Kemerdekaan dari soal sampah di kampung, pendidikan anak, ekonomi kecil, asuransi kesehatan, lahan pertanian yang makin menyempit, penyakit ternak, debit air di sumur yang berebut dengan gedung-gedung besar, sampai ke soal kebudayaan lokal (Jawa -red) yang semakin tergerus.

Konflik dan politik yang dominan serta menghalalkan segala cara menjadi bentuk baru dari penjajahan. Bila kondisi ini berlarut-larut terus, maka kita bersama perlu merefleksikan lagi, masih pantaskah kita berteriak dengan lantang Merdeka ! pada saat peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus ?. Bukankan kita masih dijajah dengan kebencian akan liyan.

Desa Panggungharjo, sebuah Indonesia mini, saat ini berjalan di persimpangan jalan. Secara sosiologis, Desa Panggungharjo telah diubah oleh posisi geografis menjadi masyarakat sub-urban khas dengan kampung yang berhimpitan rumahnya, disertai gang-gang sempit, dengan profesi yang lebih ke jasa, perdagangan dan perburuhan. Akan tetapi secara psikologis dan kultural Desa Panggungharjo masihlah sebuah pedesaan. Padahal karakter desa selalu khas dengan sosio-agraris. Perubahan ini tentu bukan tanpa soal. Banyak pengalaman perbenturan psikologis, sosiologis maupun kultural terjadi di daerah sub-urban seperti Panggungharjo ini.

Sejarah yang tidak bisa diingkari oleh Panggungharjo hanya satu, yaitu desa ini dulunya adalah desa agraris. Catatan sejarah menyebutkan, sejak sebelum abad 18 daerah yang sekarang merupakan wilayah Desa Panggungharjo sudah berpenghuni. Bahkan mungkin jauh sebelum abad 18, mengingat ditemukannya sebuah peninggalan Yoni di wilayah Desa Panggungharjo.

Artinya melihat periodisasi munculnya Yoni yaitu abad 15-an, maka bisa dikatakan Desa Panggungharjo adalah salah satu titik penting peradaban di Jawa Jogja bagian selatan. Yoni adalah sebuah perlambang kesuburan. Patut diduga daerah Desa Panggungharjo adalah daerah yang sangat subur pertaniannya.

Sayangnya, saat ini di Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW) Kabupaten, wilayah Desa Panggungharjo nyaris sebagian besar tidak lagi hijau (daerah pertanian -red) tetapi sudah menjadi kuning (daerah pemukiman -red). Perubahan inilah yang membuat efek domino perubahan sosial, psikis dan budaya masyarakat. Bersambung ke bagian II. (SETOWIJAYA)

Tentang setawijaya

Warga Biasa

Baca Juga

1 Komentar

  1. Pingback: Merawat Srawung Dalam Merti Dusun (Bagian II) - Panggungharjo

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X