Seni Budaya

Medan Negosiasi Budaya

pada

Panggungharjo (Jurnalis Warga) – Budaya tidak pernah lahir dari ruang kosong. Kehadirannya selalu beriringan dengan pelaku dan ide-ide, kemudian melahirkan identitas budaya. Sebab ide-ide selalu tumbuh dan berkembang, budaya senantiasa bergerak secara dinamis. Menjaga nilai-nilai budaya kemudian menjadi hal yang wajib ditelateni.

Dalam kontestasi sosial, budaya adalah medan. Ia bukan ruang tanpa tuan. Keberadaanya menjadi perebutan. Meski demikian, tak ada hukum rimba di dalamnya. Artinya, budaya menjelma medan negosiasi antar pelaku budaya.

Medan negosiasi yang dimaksud adalah sikap kritis, kemampuan literasi, dan inovasi karya. Ketiganya menjadi pilar bagaimana pelaku budaya dapat bertahan dalam medan sosialnya. Tanpa ketiganya, pelaku budaya hanya berperan sebagai “tukang”, padahal kita tahu bahwa sesungguhnya ia adalah kreator.

Sikap Kritis
Bagi sebagian orang, menyikapi budaya leluhur dengan apa adanya cenderung membosankan. Ironisnya, yang merasa bosan itu tak pula menunjukkan sikap kritisnya. Sikap ini dibutuhkan untuk menumbuhkan ketajaman berpikir. Keberanian dalam membongkar nilai, pakem, hingga pada tataran teknis, akan mampu menampilkan karya budaya pada tahap berikutnya. Akan tetapi, bentuk bisa saja berubah sebagai suatu kemasan kekinian, namun nilai-nilainya harus tetap dijaga.

Kemampuan Literasi
Kemampuan literasi bukan hanya milik akademisi. Pelaku budaya musti bersedia dan menyediakan diri untuk berkubang dalam literasi. Dalam konteks ini, budaya diharapkan tidak sekadar atraksi, melainkan juga ruang untuk mereproduksi pengetahuan. Dasar dari pengetahuan adalah pengetahuan itu sendiri. Dengan demikian, karya-karya pelaku budaya yang menolak berkubang dalam literasi tidak akan pernah bisa menggugah masyarakat. Ia hanya berkarya lalu dilupakan.

Inovasi Karya
Seperti gadis cantik yang tak bersolek dan tak melakukan perawatan, bentuk eksotisnya hanya mampu bertahan beberapa tahun. Sebab usia bertambah, dan bentuk fisik berubah. Analogi bisa kita gunakan untuk meneropong produk budaya yang melulu begitu-begitu saja. Artinya, dibutuhkan interpretasi-interpretasi yang relatif segar terhadap bentuk-bentuk produk budaya lama sehingga menghasilkan inovasi karya. Inovasi inilah yang sesungguhnya ditunggu oleh masyarakat.

Ketiga medan negosiasi di atas akan menentukan posisi pelaku budaya dalam menghadapi medannya. Apakah ia hanya “angkrem” di zona nyaman sembari terus menyuarakan kegelisahan dan keluhan-keluhannya atau ia bergerak untuk menolak mati. (VIRUZ)

Tentang Fajar Budi Aji

Hanya seorang yang beranjak tua dan terus mencoba untuk lebih dewasa tanpa menghilangkan rasa kekanak-kanakannya. "Urip Iku Urup" dan "Rasah Wedi Dirasani Karena Hidup Banyak Rasa" Dua motto andalan inilah yang dijadikan pegangan dalam menjalani kehidupan sehari-harinya.

Baca Juga

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X