Seni Budaya

Sangkan Paraning Dumadi: Saka Guru-ku Memaknai Nilai Kehidupan dalam Dua Babak

Oleh

pada

Berikut karya esai yang mendapatkan juara favorit 2 pilihan juri, yang telah dinilai oleh juri. Dan dengan bangga kami muat esai juara 1-3 dan 2 juara favorit pilihan juri, dalam website kami dan dapat dikunjungi melalui laman berikut  https://www.panggungharjo.desa.id, untuk menjaga originalitas karya dari peserta lomba sengaja tidak kami edit.

Di dunia modern ini, saya sebagai manusia Jawa masih familiar dengan filsafat kejawaan. Salah satu filsafat Jawa yang banyak bergaung di tengah masyarakat ialah bahwa orang Jawa dalam hidupnya sangat passionate dalam hal knowing the purpose of life. Masyarakat Jawa memandang kehidupan dengan penuh refleksi, tak jarang kita berkontemplasi dalam menentukan arah dan nilai kehidupan kita. Dalam hal ini Sangkan Paraning Dumadi, Masyarakat Jawa mengemukakan siklus kehidupan manusia mulai dari lahir hingga kembali ke Sang Maha Pencipta. Untuk memahami filosofi tersebut, saya menelusuri warisan budaya Kasultanan Yogyakarta yang merupakan perwujudan dari Sangkan Paraning Dumadi.

Dalam sejarahnya Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengku Buwana I mengejawantahkan konsep Sangkan Paraning Dumadi kedalam bentuk tata ibu kota Kasultanan Yogyakarta berupa sumbu filosofi yang membentang mulai dari Panggung Krapyak ke Keraton Yogyakarta serta dari Tugu Yogyakarta kembali menuju ke Keraton Yogyakarta.

Panggung Krapyak dan Tugu Yogyakarta merupakan sebuah perwujudan Lingga dan Yoni yang dalam tradisi Hindu dimaknai sebagai simbol laki-laki dan perempuan. Pertemuan keduanya melambangkan kesuburan dan kesejahteraan layaknya pandangan masyarakat pra modern yang percaya bahwa keturunan adalah sumber kebahagiaan. Keraton Yogyakarta yang berada tepat di tengah kedua bangunan tersebut menjadi sumber dari kesejahteraan dan kebahagiaan. Kesejahteraan yang tidak lain bersumber dari Raja yang merupakan perwakilan Tuhan di dunia.

BABAK PERTAMA; SANGKANING DUMADI

Sangkaning Dumadi mengandung makna awal dari kehidupan. Perjalanan itu dimulai dari Panggung Krapyak yang tak ubahnya merupakan Yoni, menyimbolkan perempuan yang menjadi asal muasal manusia. Di sekitar Panggung Krapyak, kawasan perkampungannya disebut Kampung Mijen yang berasal dari kata miji yaitu benih. Simbol yang menguatkan proses kelahiran hingga remaja adalah vegetasi tertentu yang ditanam sepanjang jalan dari Panggung Krapyak menuju Keraton Yogyakarta.

Pohon Asam dan Pohon Tanjung adalah vegetasi yang terpilih, Pohon Asam diwakili oleh pucuk daunnya mengartikulasikan sinom atau isih enom (masih muda/ anak anak) yang mana sebagai individu yang masih anak-anak yang hendaknya perlu diarahkan dan dididik, Pohon Tanjung yang bersinonim dengan kalimat tansah dinunjung (senantiasa disanjung) dapat diandaikan apabila masih anak-anak, kita sering disanjung. Dari sini, nilai kehidupan yang dapat dipetik bahwa sebagai individu mulai dari lahir hingga anak-anak hendaknya dibimbing  dan diarahkan sehingga kelak akan menjadi manusia yang bermanfaat.

Perjalanan berlanjut di Alun-alun Selatan, disimbolkan manusia yang telah beranjak remaja. Keberadaan 5 akses jalan di Alun-alun Selatan dimaknai sebagai 5 panca indra yang harus dijaga. Tak hanya sampai disitu, vegetasi di Kawasan ini juga menguatkan filosofi tersebut. Pohon Kweni diambil maknanya menjadi kata wani yang berarti berani, seorang remaja yang telah berani mengungkapkan pendapatnya serta menunjukkan keberaniannya dalam melamar calon pendampingnya. Pohon Pakél  menyimbolkan kematangan hidup, hal ini disebabkan buah pakel hanya bisa dinikmati saat betul-betul sudah matang.

Kedua pohon tersebut masih satu famili yaitu Mangifera indica atau mangga yang dalam Bahasa Jawa disebut pelem. Kata pelem diartikulasikan sebagai gelem yaitu kemauan antara laki-laki dan perempuan untuk berumah tangga. Tujuan dari rumah tangga adalah diperolehnya hidup yang ayom ayem tentrem yang disimbolkan pada Pohon Gayam.

Pertemuan antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah pernikahan disimbolkan pula dengan vegetasi Bunga Soka berwarna merah yang menyimbolkan rahim dan Bunga Cempora Putih menyiratkan sperma yang disatukan dalam hubungan intim. Peristiwa ini diejawantahkan kedalam bentuk jalan yang mengitari Sasana Hinggil mengambil bentuk layaknya dua kaki yang direntangkan. Jalan tersebut dikenal dengan nama Pamengkang. Saya mencoba memaknai filosofi ini sebagai sebuah kematangan individu yang dapat dicapai jika kita berhasil dalam mengontrol 5 panca indra kita. Hal ini menjadi tantangan serius bak quarter life crisis atau kegundahan dalam menentukan arah hidup yang menyerang banyak remaja termasuk saya.

Perjalanan dilanjutkan menuju Keraton, kawasan pertama yang akan dijumpai yaitu Bangsal Kamandungan yang memiliki makna mengandung. Kawasan ini merupakan kelanjutan dari proses pernikahan menuju kepada upaya melanjutkan keturunan. Setelah mengandung, sang bayi akan dilahirkan dalam kondisi suci, hal ini disimbolkan dengan keberadaan bangunan Regol Gadung Melati. Pemaknaan suci diambil dari warna melati yang putih.

Masyarakat Jawa sangat percaya bahwa menjadi orangtua itu tidaklah mudah. Setelah sang anak lahir, orangtua harus menyiapkan gizi untuk anaknya. Usaha menyiapkan gizi sang anak dimaknai dengan keberadaan Kampung Sekulanggen dan Gebulen yang didiami oleh abdi dalem yang memiliki tugas menyiapkan hidangan untuk raja. Tugas orangtua yang tak kalah penting adalah mendidik anaknya dengan penuh kasih sayang.

Hal ini disimbolkan dengan keberadaan Bangsal Kamagangan (berasal dari kata magang) diartikan sebagai orangtua harus senantiasa menuntun dan membekali anaknya dengan ragam pengetahuan. Inilah siklus kehidupan yang menakutkan bagi saya saat ini, yaitu menjadi orangtua. Dari sini saya belajar bahwa menjadi orangtua bukanlah pekerjaan sehari atau dua hari namun pekerjaan seumur hidup demi mempersiapkan keturunan yang bermanfaat bagi masyarakat.

BABAK KEDUA; PARANING DUMADI 

Dalam filosofi Paraning Dumadi, perjalanan kehidupan manusia dalam melanjutkan kehidupan hingga kembali ke Sang Pencipta dimulai dari Tugu Yogyakarta menuju Keraton Yogyakarta. Perjalanan itu akan melewati 4 lajur jalan, yang pertama Marga Utama yang memiliki pesan bahwa individu yang akan menghadap Sang Pencipta harus memiliki bekal yaitu keutamaan hidup, kedua Malioboro yang bermakna menjadilah wali yang mengembara untuk mengajarkan nilai keutamaan hidup.

Jalan ketiga disebut  Marga Mulya yang menyiratkan makna bahwa kemuliaan akan bisa dicapai jika kita mencapai keutamaan hidup dan mengajarkannya kepada orang lain. Jalan terakhir yaitu Pangurakan yang diambil maknanya dari kata ngurak yaitu memisahkan mana yang baik dan mana yang buruk. Walau hanya sekedar nama jalan ternyata Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengku Buwana I) menaruh pesan yang cukup kuat bagi generasi selanjutnya. Setelah melewati 4 lajur jalan kini perjalan telah tiba di Alun-alun Utara. Kata alun memiliki arti yaitu ombak dan dimaknai sebagai jalan awal menghadap Sang Pencipta (alam barzah).

Perjumpaan dengan Tuhan masih harus melalui beberapa proses yaitu peristiwa pengumpulan manusia di Padang Mahsyar yang disimbolkan oleh Bangsal Sri Manganti (Manganti dimaknai menanti atau menunggu). Setelah menanti di Padang Mahsyar, tibalah saatnya pada hari penghakiman untuk menimbang amal baik dan amal buruk manusia, tahapan ini disimbolkan dengan keberadaan Bangsal Traju Mas (Traju Mas berarti timbangan emas).

Setelah ditimbang amal baik dan buruk manusia telah bersiap berjumpa dengan Tuhan. Perjumpan ini disimbolkan pada bangunan Bangsal Kencana yang dimana terdapat Ndalem Ageng Prabayeksa. Di area ini tersimpan sebuah pusaka Keraton yaitu Lampu Kiai Wiji yang cahayanya tidak pernah padam sejak Hamengku Buwana I hingga sekarang. Hal ini menyiratkan bahwa Tuhan tidak akan pernah mati, tidak akan pernah tidur, serta tidak akan pernah abai terhadap ciptaannya. Penamaan Kiai Wiji menjadikan perjalanan hidup manusia akhirnya paripurna dengan nyawiji atau bersatunya manusia bersama Tuhan.

Sangkan Paraning Dumadi ini walau hanya diwujudkan dalam bentuk simbol, namun ia akan bermakna jika nilai-nilainya diterapkan dalam kehidupan. Di tengah perkembangan keilmuan yang semakin rasional terkadang kita sering lupa atas makna hidup kita sebagai manusia (knowing the purpose of life). Pertanyaannya adalah jika Sangkan Paraning Dumadi ini masih relevan, bersediakah kamu untuk mengamalkannya?

Juara Favorit 2 Pilihan Juri karya Wisnu Febri Wardana, warga Mejing RT 01 Mulyadadi Bambanglipuro Bantul.

Tentang Junaedi

Penulis esai. Penulis Buku Cuitan Wong Ndeso. Bekerja sebagai staf PSID, yang membawahi PCL.

Baca Juga

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X