Terkait asal usul nama Garon, siapakah tokoh yang mempublikasikan tentang nama Garon untuk pertama kalinya saya kurang begitu mengetahuinya,”begitu kata KH. Muhammad Maksum, salah tokoh tokoh agama yang dihormati dan disegani oleh warga Padukuhan Garon. Lebih lanjut dia menuturkan, yang selanjutnya saya inventarisir hasil interview tersebut menjadi sebuah tulisan tentang sejarah Kampung Garon.
Secara persis saya tidak tahu terkait arti nama Garon. Tetapi ada dua infromasi yang berkembang waktu saya masih kecil yaitu: Pertama, Garon berasal dari kata megar alon-alon (berkembang secara perlahan). Pembangunan dan perkembangan masyarakatnya berproses sedikit demi sedikit.
Kedua, Garon berasal dari kata nggaru. Nggaru artine ngratake lemah sawah sing bar diluku (meratakan tanah sawah setelah dibajak). Bisa jadi setelah cikal bakal membuka lahan yang dulunya adalah hutan kemudian meratakan tanah, setelah tanahnya diratakan(digaru) kemudian barulah dibuat tempat hunian (rumah) satu demi satu bagi warga kampung lama-lama bertambah banyak rumah disini akhirnya terbentuklah Kampung Garon.
Menurut para sesepuh kampung dan orang tua saya dahulu kala , bahwa cikal bakal kampung Garon ada 3 orang yaitu : Sobo Menggolo, Banyak Wide dan Gagak Rimang. Hal ini dbuktikan dengan adanya tiga makam cikal bakal yang terdapat di Makam Muslim Garon sampai saat ini. Tetapi terkait letak dan atas nama siapa-siapanya tidak ada yang mengetahuinya, termasuk saya.
Tetapi beberapa warga meyakini bahwa makam cikal bakal atas nama Sobo Menggolo terletak persis di utara pintu Makam Muslim Garon. Kemudian dua makam lainnya berada di tengah-tengah area makam muslim Garon bercampur dengan makam warga Garon lainnya. Dan tidak ada yang bisa memastikan yang sebelah mana makam cikal bakal Banyak Wide dan yang sebelah mana makam cikal bakal Gagak Rimang.
Dari dua makam cikal bakal yang tidak tahu milik cikal bakal atas nama siapa, satu diantaranya adalah kijing atau batu nisannya berdesain sebuah lingkaran kecil seperti bulan. Dan dari maijan (batu nisan) tersebut, saya pernah melihat dengan mata dan kepala saya sendiri waktu saya masih kecil dulu, saya melihat sinar berwarna biru jelas sekali dan menyala terus yang bersumber dari kijing tersebut.
Sepanjang sejarah Kampung Garon yang saya tahu, bahwa khususnya di makam Muslim Garon apabil ada warga kampung Garon yang meninggal dunia tidak boleh menggunakan kijing (bangunan di atas makam yang terbuat dari batu), cukup menggunankan prasasti batu nisan (maijan) saja. Dari zaman dahulu jika ada yang menggunakan kijing batu maka misal pagi hari atau siang harinya dipasang kijing batu maka pada malam harinya kijing batu tersebut akan hilang dengan sendirinya.
Tetapi seiring berjalannya baru-baru ini, terdapat kijing keramik yang ikut mewarnai rumah masa depan bagi warga Padukuhan Garon meninggal dunia dan dimakamkan di Pemakaman Muslim Garon tersebut.
Pernah suatu waktu, saya pernah diberitahu oleh salah seorang warga dari Padukuhan Ngireng-ireng yang mempunyai kelebihan dalam ilmu kebatinan (kejawen), yang menyarankan bahwa di Makam Muslim Garon harus ditanami tanaman Kelor. Saya tidak tahu persis tentang apa dan bagaimana manfaat daun kelor ketika ditanam di Makam Muslim Garon ini.
Setahu saya, dari beberapa informasi yang saya dapatkan bahwa Daun Kelor dapat menghilangkan “cekelan neng awak”, bagi siapa saja yang sedang sakit kritis tetapi ketika mau meninggal dunianya ruhnya sulit oncat (lepas) dari raga meskipun pun secara fisik si sakit sudah tidak berdaya lagi, maka biasanya disranani (disyarati) dengan mengusapkan Daun Kelor yang sudah dicampur dengan air putih ke tubuh si sakit tersebut.
Pernah ada salah seorang yang berasal dari Gunung Kiidul mencari saya, kebetulan rumah saya dekat dengan Makam Muslim Garon. Setelah saya tanya apa keperluan kok mencari saya ternyata mau meminta daun kelor yang ditanam di sekitar area Makam Muslim Garon sebagai srana. Katanya untuk mencari obat untuk keluarganya yang sedang sakit. Dan setahu saya banyak sekali manfaat dari Daun Kelor untuk pengobatan herbal, bahkan pada saat awal-awal pandemi Covis-19 banyak warga yang mengkonsumsi Daun Kelor untuk menjaga imunitas tubuh.
Oleh karena itu, sampai saat ini atas saran warga Ngireng-ireng tersebut di area Makam Muslim Garon masih tumbuh subur tanaman Kelor.
Dalam perkembangan dan perjalanan sejarah kampung Garon, menurut sumber yang saya dapat dari para sesepuh dan orang tua saya, pada zaman dahulu ada satu cerita tentang tokoh yang bernama Maling Suka atau Maling Aguna. Ceritanya begini, konon orang tersebut, suka mencuri hartanya orang-orang yang kaya tetapi tidak mau bersedekah alis pelit (util). Kemudian hasil curiannya dibagikan kepada orang-orang yang miskin. Ceritanya hampir mirip dengan cerita Raden Syahid (Sunan Kalijaga) sebelum diangkat menjadi waliyullah.
Konon ceritanya bahwa Maling Suka atau Maling Aguna diakhir hayatnya, meninggal dunia disebabkan terjepit oleh pagar bambu. Karena tokoh tersebut berjasa bagi warga Padukuhan Garon, maka pada zaman dahulu ada larangan bagi warga Garon tidak boleh menggunakan pagar bambu yang dianyam. Tetapi cerita tokoh ini hanya ikut mewarnai kehidupan warga masyarakat Garon tetapi bukan sebagai cerita cikal bakal Kampung Garon, juga bukan sebagai adeging Kampung Garon.
Setahu saya, terkait dengan praktik-praktik baik warga Garon yang hingga sampai saat ini, yang masih berjalan dengan baik dan istikomah diamalkan adalah amaliyah “tahlilan”. Bahkan saya sering mengajak kepada semua warga Padukuhan Garon bahwa dalam setiap perkumpulan yang diadakan oleh warga Padukuhan Garon seyogyanya diawali dengan membaca tahlil secar berjama’ah, baik di perkumpulan RT, PKK, Karang Taruna, bahkan kelompok siskamling (ronda) pun saya sarankan untuk mengawalinya dengan membaca tahlil. Mengingat perjalanan sejarah betapa luar biasanya tahlil dalam membentengi warga Padukuhan Garon.
Terkait aktivitas warga Garon yang cukup familiar di mata masyarakat Garon dalam membaca dzikir dan tahlil ternyata memiliki sejarah tersendiri. Pada waktu saya masih kecil sudah sering menjumpai adanya aktivitas pembacaan tahlil. Bahkan pada waktu saya kecil dahulu, ada seorang ulama dari Krapyak Wetan yang bernama Kyai Abdul Wahab yang menuurt saya adalah tokoh ulama yang paling berjasa dalam membentengi masalah yang dihadapi oleh warga Garon. Saya juga diajak oleh bapak saya, sowan silaturahmi ke rumah Kyai Abdul Wahab.
Pada waktu itu, dia hanya berpesan kepada saya yang sebenarnya saya juga tidak mengerti apa makud dan tujuan yang dikatakan oleh Kyai Abdul Wahab dengan nada halus dan lirihnya itu.
“Saiki omahmu wis dhuwur, wis kandel. Mula iku aja dirusak ya. Nek isa tambahana pager omahmu ben tambah dhuwur, ben tambah kandel”.
Saya yang waktu itu masih kecil tidak tahu apa artinya kata pesan Kyai Abdul Wahab, maka pada suatu hari saya sowan lagi menanyakan terkait pesan Kyai Abdul Wahab tersebut . Ternyata yang dimaksud kata pager yang dimaksud adalah amaliyah tahlil.
Pada jaman dahulu, di Kampung Kowen Timbulharjo terjadi pageblug. Banyak warga Kowen Timbulharjo yang meninggal dunia sampai dampaknya kemana-mana, ternyata oleh Kyai Wahab disarankan untuk membentengi pageblug tersebut dengan membaca tahlil 7 leksan agar bencana pageblug tersebut tidak sampai ke Kampung Garon, karena arah pageblug dari selatan ke utara.
Pada waktu itu, Kyai Abdul Wahab menyuruh kepada 6 orang, tiga orang diantaranya saya lupa namanya dan tiga orang lainnya adalah Mbah Amat Ansor Garon, Mbah Projo Sastro Sujoko Kadangan dan Mbah Kromonggeno Candran.
Tahlil 7 leksan adalah bacaan tahlil lengkap seperti biasa tetapi ketika sampai pada membaca lafadz “laa ilaha illallah” dibaca sebanyak 77.777 kali. Alhamdulillah setelah dibacakan tahlil 7 leksan oleh 6 orang tersebut, Kampung Garon aman dari bencana pegeblug. Tidak ada satu orang warga pun yang meninggal dunia pada waktu itu.
Cerita kedua, terkait kehebatan tahlil 7 leksan adalah menurut perjalanan sejarah Kampung Garon, sejak zaman penjajahan Belanda dan zaman penjajahan Jepang, tidak ada warga Garon satu pun yang meninggal dunia akibat berperang melawan Belanda dan Jepang. Demikian pula ketika terjadi pemberontakan oleh PKI, tidak ada satu pun warga yang tersangkut dengan PKI.
Cerita ketiga, Ketika ada warga Garon yang menebang Pohon Munggur yang besar sekali. Sebagi gambaran besarnya diameter pohon itu seukuran dengan 5 orang yang merentangkan tangan kanan dan kiri. Bahkan satu cabang pohonnya dapat membuat satu rumah. Setelah Pohon Munggur tersebut ditebang semua warga Garon menderita sakit .
Ada warga yang bisa melihat secara kasat bahwa setiap rumah warga sakit, di depan pintu didatangi oleh seekor anjing. Oleh Kyai Abdul Wahab kembali menyarankan kepada 6 orang pilihan tersebut, untuk membaca tahlil sebanyak 7 leksan, Setelah selesai dibacakan tahlil 7 leksan, alhamdulillah semua warga Garon sembuh dari sakit.
Sampai saat ini, dipercaya bahwa ketika ada warga yang memiliki hajat tertentu harus membaca tahlil sebanyak 7 leksan. Ketika terjadi pandemi Covid-19, saya membaca tahlil sebanyak 7 leksan untuk membentengi dari penyakit Covid-19. Sebagai tambahan informasi, terkait berapa lama jika dibaca oleh beberapa orang. Saya pernah membaca tahlil 7 leksan dibaca oleh sekitar 180 orang menghabiskan waktu selama 45 menit.
Sampai saat ini, warga Padukuhan Garon istikomah selalu membaca tahlil rutin setiap malam Jum’at (tahlil lengkap biasa) dan juga setiap perkumpulan apa saja selalu diawali membaca tahlil. Hingga saat aktivitas warga Padukuhan Garon yang membaca tahlil sebanyak 7 leksan masih dilestarikan oleh warga Padukuhan Garon ketika ada hajat tertentu saja.
Kyai Abdul Wahab yang merupakan salah seorang ulama yang berasal dari Krpyak Wetan, yang ikut mewarnai bagi warga Kampung Garon agar tetap istikomah membaca tahlil. Seingat saya, pasuryan (wajah)nya Kyai Abdul Wahab tergantung dengan tanggal, ketika tanggal wajah nampak muda ketika tanggal tua wajahnya nampak tua juga. Gaya bicara lemah lembut. Pelan tetapi selalu mengandung makna. Kyai Abdul Wahab meninggal dunia pada tahun 1987 (JNT).
Referensi :
K.H. Muhammad Maksum (tokoh agama Padukuhan Garon).