Kebencanaan

Edukasi Medis Penyintas Covid-19 Bagi Warga Masyarakat

Oleh

pada

Sebelum saya menuliskan cerita pengalaman saya selama menjadi relawan shelter tanggon Kapanewon Sewon. Perkenalkan terlebih dahulu, saya diberi nama oleh kedua orang tua saya Wahyu Putro Wicaksono. Alamat rumah saya di Padukuhan Kweni RT 07 Kalurahan Panggungharjo, Kapanewon Sewon, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Saat ini, saya menjadi bagian dari lembaga desa yang bernama Karang Taruna Cahyaning Amerta disingkat KTCA Kalurahan Panggungharjo.

Ketika ada ajakan bergabung menjadi relawan Covid-19, oleh ketua KTCA sebagai anggota KTCA tidak ada alasan bagi saya untuk menolaknya. Apalagi sebagai lulusan SMK Kesehatan Bantul dan lulusan Diploma 3 Poltekes Karya Husada, sudah selayaknya saya untuk bergabung dengan ajakan ketua KTCA saat itu.  Saya bergabung masuk menjadi salah satu relawan Covid-19 menempati posisi sebagai tim medis shelter tanggon Kapanewon Sewon dibawah koordinasi Kamituwo dan Dukuh Jaranan.

Tugas utama saya, sebagai anggota tim medis adalah sesuai dengan penjadwalan per shiftnya adalah sejak pagi yaitu skrining tanda-tanda vital (TTV) penyintas Covid-19 yang sedang menjalani karantina di shleter tanggon.  Memberikan obat dan vitamin yang dibutuhkan penyintas Covid-19 selama masa penyembuhan penyintas Covid-19 di shelter tanggon, dan juga ikut mendampingi home visit penyintas Covid-19 yang isolasi mandiri di rumah masing-masing.

Tugas pokok untuk selalu memantau secara intensif penyintas Covid-19 yang sedang menjalani karantina di shelter tanggon setiap enam jam (setiap[ pergantian shift) terhadap pasien khusus yang satuirasinya di bawah 90 %, karena sangatlah urgen jika saturasinya menurun terus akan beresiko sakit berkelanjutan atau parahnya adalah pasien dapat menyebabkan meninggal dunia.

Suasana di shelter tanggon Kapanewon, orangnya asyik-asyik menurut saya. Setiap waktu ada guyonan, ada kerjasama tim yang luar biasa, ada beberapa pasien yang rewel dan ngeyel, ada juga pasien yang suka ngajakin main (seperti main bulutangkuis) bersama sekedar mencari keringat. Ada juga pihak kelurga pasien yang suka kasih aneka mkanan, ada proses antrian yang panjang dalam soal makan. Ada juga salah satu penyintas cewek yang minta nomor handphone saya tetapi tidak pernah saya kasihkan takutnya malah menganggu tugas-tugas saya.

Selama menangani penyintas Covid-19, ada beberapa cerita atau pengalaman yang saya alami. Pertama, cerita ketika home vist salah satu warga Semail Bangunharjo, Kapanewon Sewon yang sedang isolasi mandiri yang menurut medis menunjukkan kondisi kesehatan kurang menggembirakan. Sekitar pukul 11.00 WIB saya sampai di eumah pasien. Setelah saya lakukan cek tanda-tanda vitalnya saturasinya 50%, selanjutnya saya oksigenasi 5 liter per menit berangsur-angsur saturasinya dapat naik. Selanjautnya kami melakukan langkah-langkah dengan mncarikan rumah sakit rujukan Covid-19 untuk perwatan lebih lanjut tetapi saat itu, tidak dapat rumah sakit rujukan Covid-19 dikarenakan semua rumah sakit rujukan penuh dan persediaan oksigen di pasaran baru saja kosong.  Kemudian siangnya atau sore harinya saya mendapatkan kabar duka bahwa pasien yang berdomisili di Semail, Bnagunharjo tersebut telah meninggal dunia, ternyata Allah SWT berkendak lain.

Kedua, cerita home visit bersama Lurah Panggungharjo setelah mendapat laporan dari salah satu warga yang beralamat di Padukuhan Sawit. Menurtu laporan yang masuk dari call center shelter bahwa ada warga tersebut saturasinya 80. Setelah dicek oleh Pak Lurah (saya mempersilahkan Pak Lurah untuk mengeceknya) ternyata warga tersebut hanya lemas biasa dan bukan [enyitas Covid-19. Lemasnya disebabkan karena tingginya gula darah. Ternyata warg tersebut memang punya riwayat gula tinggi (diabet), dan infromasi yang dilaporkan tadi adalah bukan saturasinya yang 80 tetapi nadinya yang 80. Padahal untuk nadi 70/80 itu adalah normal. Akhirnya dengan sedikit menahan tawa dan Pak Lurah, kembali pulang ke shelter tanggon Kapanewon Sewon.

Ketiga, cerita dari penghuni shelter yang unik yang bernama Mbah Imam, salah satu warga Rusunawa yang sebelumnya menderita sakit biasa tetapi karena hidup sebatang kara akhirnya di bawa ke shelter tanggon Kapanewon Sewon dan akhirnya malah terkonfirmasi positif Covid-19. Saya pernah ditolak oleh Mbah Imam, ketika mau menyuapi makan kepada Mbah Imam. Ternyata usut punya usut. Mbah Imam hanya mau disuapi oleh tim medis perempuan, dan tidak mau disuapin oleh tim medis laki-laki termasuk saya.

Keempat, cerita menindak lanjuti laporan  dari call center shelter untuk mengecek kebenaran informasi tentang salah satu laporan dari warga Timbulharjo, di dekat SD Gandok, yang menduga salah keluarganya sudah meninggal dunia. Sesampainya di lokasi setelah cek kesehatan sesuai dengan prosedur dan kita lakukan pemompaan pada jantung pasien. Dan kondisi pasien sudah tidak bisa diselamatkan lagi, memang sudah meninggal dunia. Kemudian sesuai dengan prosedur kita laporkan kepada tim FPRB Timbulharjo untuk proses pemakaman jenazah  Covid-19 selanjutnya, sesui dengan protokol kesehatan.

Kelima, cerita agak mistis terjadi di ruang penyimpanan tabung-tabung yang besar. Waktu itu posisi saya baru bangun tidur, sekitar pukul 02.00 WIB. Setelah saya melihat ke posisi tabung oksigen yang besar kok jumlahnya ada 3 tabung padahal tadi hanya 2 tabung. Dan herannya ada 1 tabung yang tingginya berbeda (lebih tinggi) dengan 2 tabung lainnya. Dalam hati kecil saya yang 1 tabung jangan-jangan penampakan makhluk tak kasat mata. Tetapi saya tidak memperpanjang kecurigaan saya tersebut dan saya memilih untuk meneruskan tidur kembali. Karena penasaran keesokan harinya saya cek lagi, ternyata memang hanya ada 2 tabung besar saja.

Selama saya menangani pasien Covid-19 di shelter tanggon Kapanewon Sewon. Tugas yang paling krodit adalah ketika pagi hari harus mengecek tanda-tanda vital semua paisen yang berjumlah sekitar 20-an orang, tiba-tiba ada permintaan dari warga untuk home visit. Belum lagi adanya gejala psikosomatis dari para penyintas seperti keluhan sesak dalam bernafas, kemudian permintaan untuk oksigenasi padahal kenyataan tidak demikian, penyintas hanya berprangka takut jangan-jangan begini, jangan begitu. Maka langkah yang saya lakukan mengedukasi penyintas dengan cek saturasi sendiri dengan standar normal diangka 95% atau 96%, kemudian dengan edukasi tarik nafas hembus nafas secara perlahan-lahan.

Satu hal yang menurut penting dalam mengedukasi semua warga masyarakat terkait dengan bagiamana kriteria pasien yang harus dilaporkan kepada call center shelter tanggon Kapanewon Sewon agar tidak terjadi salah lapor informasi denyut nadi dengan saturasi, antara penyintas Covid-19 dengan paisen biasa (JNT).

Referensi :

Wahyu Putro Wicaksono (anggota KTCA Kalurahan Panggungharjo).

Tentang Junaedi

Penulis esai. Penulis Buku Cuitan Wong Ndeso. Bekerja sebagai staf PSID, yang membawahi PCL.

Baca Juga

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X