Kebencanaan

Kisah Suka Duka Menjadi Tim Dapur Umum Shelter Tanggon

Oleh

pada

Cerita nyata ini, sengaja saya tuliskan untuk membagi pengalaman berharga yang tak akan terlupakan. Cerita tentang kepedulian Pemerintah Kalurahan Panggungharjo dan Pemerintah Kapanewon Sewon yang berkolaborasi dengan karang taruna, tokoh masyarakat, tokoh agama, Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (TP-PKK), perwakilan semua lembaga desa, dan semua warga yang turut berpartisipasi. 

Saya, sebagai perwakilan dari kaum perempuan yang tergabung dalam PKK Padukuhan  Garon, merasa terpanggil atas dasar nilai kemanusiaan. Untuk pertama kalinya saya tergabung dalam tim untuk pengelola Shelter Gabungan Kapanewon Sewon (Shelter Tanggon). Sebab, saat itu dibutuhkan relawan yang bisa membantu di bidang logistik, terutama penyediaan makan untuk pasien dan petugas yang ada di shelter. 

Ketersediaan makanan belum ada bantuan dari Dinas Sosial. Maklum saja. Ketika itu shelter baru beroperasi. Umi Haniah selaku ketua TP-PKK, menunjuk PKK Padukuhan Garon untuk mengurusi kebutuhan makan penghuni shelter, karena secara geografis, lokasi Padukuhan Garon berdekatan dengan lokasi Shelter Tanggon.

Bersama teman-teman PKK Padukuhan Garon, melalui arahan Umi dan Kepala Dukuh Garon, akhirnya kami mendirikan dapur umum yang bertempat di salah satu rumah anggota PKK. Tepatnya di Dukuh Garon RT 07. Saya, Yuyun Supraptiningsih, turut membantu sebagai koordinator dapur umum.

Kami sama sekali belum memegang anggaran yang dapat dikelola, padahal pembukaan shelter tinggal satu hari lagi. Namun, di sore hari, kami diberi uang 1 juta rupiah oleh  Lurah Panggungharjo untuk dapat kami gunakan terlebih dahulu. 

Hari pertama, kami menyediakan makan untuk sekitar 5 pasien, ditambah dari FPRB yang berjumlah 4 orang. Tim dapur umum harus aktif bertanya terkait jumlah yang harus disediakan, karena jam masuk pasien sore hari. Perihal makan malam, beberapa pasien ada yang kami belikan. Sebab, persiapan yang dilakukan di pagi hari, sesuai data yang masuk pada malam hari. 

Menu yang kami sediakan pun sederhana, namun tidak mengabaikan kebutuhan gizi pasien. Contoh menunya, yaitu nasi, oseng sawi, ayam goreng, dan tahu bacem. Tak lupa kami mengagihkan kudapan sebagai pengganjal perut pasien. Pada pagi hari, jadwal kudapan yang disediakan berupa susu kedelai. Kami juga menyiapkan buah-buahan untuk kudapan di siang hari.

Semakin lama, jumlah pasien semakin bertambah. Bahkan, dapat mencapai 40 orang. Saya bersyukur, karena baru beberapa hari berjalan, tiba-tiba ada bantuan makan dari Dinas Sosial. Sayangnya, tidak konfirmasi dulu ke tim dapur umum sehingga ada dua makanan di shelter. 

Mengapa mendadak begini? Namun, tak apa. Nasi sudah menjadi bubur, tidak ada gunanya menyesali sesuatu yang sudah terjadi. Saya bersyukur, Pemerintah Kalurahan Panggungharjo dengan sigapnya mengupayakan bantuan makan dari Dinas Sosial, sehingga dapat menyenangkan hati saya, barangkali hati yang lain pun turut senang  dan merasa terbantu sekali.

Meskipun makan sudah dibantu dari Dinas Sosial, namun saya tetap mengontrol penyediaan makan pasien setiap hari. Hal itu karena ada beberapa pasien, terutama anak-anak dan lansia yang menginginkan makanan lain, seperti bubur, jenang, dan lain-lain. Jadi, di malam hari saya sudah mengumpulkan data pesanan yang mereka inginkan. 

Pukul 05.00 WIB,  saya sudah belanja aneka bubur sesuai pesanan pasien. Ada yang minta bubur tanpa kuah, bubur sayur gurih, bubur sayur krecek, dan sebagainya. 

Ketika siang tiba, saya mengumpulkan pesanan jenang. Biasanya, saya belikan jenang di Perempatan Dongkelan. Selain banyak variannya, jenang di sana juga masih hangat sehingga pasien merasa senang. Tidak hanya pasien, relawan pun saya sediakan jenang, agar mereka semakin semangat dan sebagai bentuk hadiah kecil-kecilan karena sudah bekerja keras.

Terkadang, pesanan juga datang ketika sore. Untuk menutup hari, mereka biasanya memesan bubur kacang hijau. Sebab, warung bubur kacang hijau hanya buka saat hampir malam, maka sering kali pasien baru bisa mendapatkannya pada pukul 19.00 WIB.

Selain bertanggung jawab perihal makan warga shelter, tak jarang saya juga membantu mencuci gelas, piring ataupun membuatkan kopi untuk penjaga malam shelter. Tidak terkecuali Kamituwo Panggungharjo dan Kepala Dukuh Jaranan. 

Pagi, siang, sore, dan malam, saya ada di shelter, walaupun hanya kadang-kadang. Kisah sukanya menjadi  bagian dari Shelter Tanggon ini adalah ada kebersamaan yang saya rasakan. Bahkan, saat hari Iduladha pun, pasien bisa melaksanakan salat bersama. Namun, tetap menjaga jarak.

Kebetulan, ada tiga orang shohibul yang bersedia berkurban di shelter. Mereka adalah Jamiluddin dan kedua temannya.  Lurah Panggungharjo pun ikut menikmati daging kurban yang dimasak untuk pasien, sehingga mereka bisa merasakan suasana seperti di rumah sendiri. 

Sebab, para ibu tak mampu menyembelih daging kurban, maka saya dan Umi mencari orang yang bisa mengolahnya. Alhamdulillah, daging kurban bisa dimasak gulai, tongseng, dan kambing guling untuk warga shelter selama dua hari .

Ketika pasien Covid-19 terus bertambah, bahkan banyak pasien yang meninggal dunia. Hal itu membuat Tim Forum Pengurangan Resiko Bencana (FPRB) Kalurahan Panggungharjo kewalahan dalam menangani jenazah. Bermodalkan keberanian dan tekad yang kuat, saya bersama Dokter Melina selaku ketua Fatayat NU Sewon, dimintai membantu mengurus jenazah wanita di Padukuhan Krapyak Wetan. 

Sampai suatu hari, Kamituwo Panggungharjo terpapar Covid-19. Kami yang sehari-hari berkegiatan di Shelter Tanggon harus melakukan tracing dan menjalani tes swab antigen. Berdasarkan hasil tes swab antigen, alhamdulillah, saya negatif. 

Setelah semua petugas shelter melakukan swab, ternyata ada satu orang yang hasilnya terpapar Covid-19, yaitu Kepala Dukuh Garon. Ia kemudian menjalani isolasi mandiri di rumah. 

Kisah duka pun turut menyertai pengalaman saya selama menjadi relawan. Duka itu dimulai setelah tes swab antigen. Seminggu kemudian, saya mendapat panggilan lagi dari puskesmas untuk menjalani tes Polymerase Chain Reaction (PCR) bersama relawan yang lain. 

Melihat hasil tes PCR, pikiran langsung kacau balau. Saya dinyatakan positif Covid-19. Alhasil, urusan logistik jadi agak kerepotan. Beruntung ada rekan saya yang bernama Niken dan Arief. Mereka dibantu oleh relawan dari divisi logistik untuk mengoordinasikan penyediaan makan warga shelter. Hari itu juga, saya harus merasakan apa yang selama ini saya urus, yaitu menjadi pasien di Shelter Tanggon.

Selama 14 hari saya dirawat di shelter. Selama 14 hari itu pula, saya mulai memahami alasan di balik banyaknya pasien yang rewel minta a, b, hingga z. Hal itu karena nafsu makan yang turun membuat pasien enggan untuk menyantap nasi kotak yang sudah disediakan. Mereka lebih memilih makanan yang segar. Sebagai pasien yang berada di shelter, saya tak hanya  berdiam diri. Sebisanya memanfaatkan tenaga untuk bisa membantu shelter. Walaupun tidak bisa mengurus logistik, minimal saya bisa membantu mengurus pasien.

Ada seorang pasien lanjut usia bernama Imam. Ia termasuk pasien bergejala berat dan wajib menggunakan tabung oksigen. Setiap makan, Imam harus disuapi. Biasanya relawan yang akan menyuapinya. Mereka pun perlu mengenakan Alat Pelindung Diri (APD) lengkap untuk mengurusnyai. 

Kemudian, saya berinisiatif menyuapi pasien tersebut, jika relawan sudah terlanjur melepas APD. Ada kejadian yang membuat panik, yakni tabung oksigennya lepas dan saya tidak tahu cara mengaktifkan. Beruntung sekali saya menyimpan kontak beberapa relawan shelter, sehingga saya langsung menghubungi melalui panggilan video untuk meminta dipandu memfungsikan tabung oksigen. 

Selama menjadi pasien shelter, saya aktif mengikuti kegiatan yang ada. Pemeriksaan pagi, berjemur, olahraga ringan, dan lain-lain. Pasien pun diajari senam pernafasan dan seminar melalui WhatsApp. Bahkan, bagi pasien yang aktif bertanya ketika seminar, mendapat 50 ribu rupiah. Selain itu, fasilitas pendampingan untuk para penyintas Covid-19 oleh mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) juga diberikan. 

Empat belas hari pun berlalu, saya sudah dinyatakan bisa keluar dari shelter dan melanjutkan isolasi mandiri di rumah. Lima hari setelah isolasi mandiri, saya mendapat surat sehat dari puskesmas. 

Lega rasanya. Saya mulai beraktivitas kembali dan membantu di shelter, meskipun tidak begitu aktif seperti di awal karena tugas saya sebagai guru TK. Sebetulnya, banyak cerita yang tak dapat saya tulis. Namun, pengalaman berharga ini saya dapatkan berkat sugesti yang tertanam dalam diri, yakni jangan pernah berhenti berbuat kebaikan selama kita masih bisa melakukan (JNT).

Referensi :

Yuyun Supraptiningsih (PKK Padukuhan Garon).

Tentang Junaedi

Penulis esai. Penulis Buku Cuitan Wong Ndeso. Bekerja sebagai staf PSID, yang membawahi PCL.

Baca Juga

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X