Kebencanaan

Pengalaman Menjadi Relawan yang Paling Berkesan

Oleh

pada

Nama saya Agung Prananto, sejak dilantik menjadi Ulu-Ulu Kalurahan Panggungharjo pada tanggal 12 April 2021 oleh Lurah Panggungharjo Wahyudi Anggoro Hadi, setelah sebelumnya pada hari Sabtu, 28 Maret 2021 diputuskan hasil seleksi formasi Ulu-Ulu. Dibawah sumpah dan janji jabatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, disaksikan dan dihadiri oleh Pejabat dari Pemerintah Kabupaten Bantul, Forum Komunikasi Pimpinan Kapanewon Sewon, Lurah Panggungharjo dan beberapa tamu undangan dengan tetap menerapkan protokol kesehatan.

Sesuai dengan Peraturan Bupati bahwa Ulu-Ulu mempunyai tugas sebagai berikut :  Pertama, merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi dan melaporkan kegiatan pembangunan Kalurahan. Kedua, mengelola sarana dan prasarana perekonomian masyarakat Kalurahandan sumber-sumber pendapatan Kalurahan. Ketiga, mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat sesuai bidang tugasnya. Keempat, mengembangkan sarana prasarana permukiman warga.

Kelima, meningkatkan peran serta masyarakat dalam pelestarian lingkungan hidup. Keenam, melaksanakan urusan keistimewaan di bidang Kebudayaan. Ketujuh, melaksanakan tugaslain yang diberikan oleh Lurah sesuai dengan bidang tugasnya.

Tiga bulan menjabat sebagai Ulu-Ulu, dalam situasi dan kondisi yang sangat mencekam dimana lonjakan pandemi Covid-19 begitu tingginya, dan semua lini kehidupan dibuat porak poranda. Begitu juga yang melanda dengan keluarga saya, dari enam anggota keluarga, kakak kandung saya, kakak ipar saya, saya dan bapak saya, empat orang setelah menjalani test PCR terpapar positif Covid-19 sedang saya dan bapak saya sendiri yang negatif.

Walaupun hasil test PCR saya negatif  tetapi saya menjalani isolasi mandiri di rumah seperti isolasi mandiri positif, sambil menunggu test PCR lanjutan dari Puskesmas Sewon 2. Jujur saya katakan, bahwa dalam masa isolasi mandiri ini, saya sempat mengalami tidak bisa mencium bau. Saya berdoa untuk saya dan keluarga semoga cepat sembuh seperti sedia kala.

Saya mendengar informasi dari teman-teman pamong tentang pembukaan Shelter Tanggon Kapanewon Sewon di Eks-SMK N 2 Sewon di Jalan Parangtritis, dan banyak pamong Kalurahan, lembaga desa, dan relawan Covid-19 yang terlibat tetapi saya belum bisa bergabung dengan tim shelter tanggon dikarenakan saya masih dalam masa isolasi mandiri.

Setelah selesai isolasi mandiri, barulah bisa bergabung dengan tim shelter tanggon, tepatnya setelah lebaran haji (idul adha) yaitu pada tanggal 20 Juli 2021. Saat bergabung dengan tim shelter tanggon inilah saya dapat pengalaman baru ketika berinteraksi dengan teman-teman pamong Kalurahan Panggungharjo ketika berada di shelter dan juga dengan para relawan yang memiliki karakter yang berbeda-beda serta bermacam-macam.

Dari shelter saya berusaha memahami jobdesk saya baik sebagai Ulu-Ulu maupun sebagai relawan shelter tanggon. Yang membuat saya heran adalah ketika teman-teman pamong Kalurahan Panggungharjo yang nota bene sudah senior mau curhat atau sharing pendapat atau sharing ide dengan saya sebagai pamong Kalurahan Panggungharjo yang baru seumuran jagung. Menurut saya ini menarik bahwa kita dapat belajar dari pengalaman yang tidak mengenakkan, ibarat diksi asing: learning by accident, learning by doing.

Tiga minggu bergabung dengan tim shelter ada kejadian kurang mengenakkan, beberapa tokoh kunci shelter tanggon dari Pamong Kalurahan Panggungharjo banyak yang terpapar positif Covid-19, seperti Kamituwa, Dukuh Garon, Dukuh Krapyak Kulon membuat Lurah Panggungharjo memutuskan bahwa saya diberi mandat sebagai koordinator non medis (logistik) menggantikan sementara tugas Dukuh Garon.

Menjadi koordinator logistik bukan pekerjaan yang mudah, karena setelah saya pelan-pelan berusaha menginventarisir beberapa hal yang menurut saya urgen untuk dilakukan oleh tim shelter tanggon.

Pertama, terkait kemampuan tenaga relawan yang tergabung baik dalam FPRB Kalurahan  maupun dalam lembaga desa yang lainnya, menurut saya tidak semua relawan  memiliki kapasitas sebagai relawan dari perspektif Rescue, P3K, dan medis lainnya.

Kedua, setelah saya menginventarisir data penyintas Covid-19 masih rapuh, di sana sini masih banyak bolong-bolongnya, terkait proses recording data, terkait monitoring dan evaluasi (monev), dan terkait kontrol data.

Ketiga, stock opname kurang terkontrol (tidak berjalan dengan baik). Stock opname  persediaan bagi penanganan medis dan penunang medis harus ada. Jangan sampai persediaan medis yang vital seperti oksigen sampai kehabisan stok. Dan hal tersebut yang coba saya perbaiki sedikit demi sedikit.

Beberapa pengalaman yang unik mungkin, seperti ketika menjadi inspektur upacara bendera menggunakan baju hazmat ketika upacara bendera di shelter tanggon, yang saya rasakan adalah susah nafas dalam balutan baju hazmat. Belum lagi kaca mata yang saya pakai menjadi berembun sehingga menghalangi pemandangan ketika harus membacakan teks sambutan saat menjadi inspektur upacara memakai baju hazmat.

Berkaraoke ria untuk menghibur semua pasien penghuni shelter tanggon. Kebetulan saya punya hobby bernyanyi, sehingga ketika berkaraoke tidak mengalami kesulitan.

Harus banyak meluangkan waktu untuk sekedar berbagi pengalaman dengan penyintas, agar mau sharing pengalaman dan membuka diri bercerita tentang keluhan-keluhan sakitnya sehingga tim shelter dapat dengan mudah menindaklanjuti apa yang dibutuhkan oleh semua penyintas penghuni shelter tanggon.

Dengan pendekatan kesehatan semesta alam, pendekatan psikis dan bukan melulu pendekatan medis. Karena sebetulnya secara psikis penyintas butuh teman curhat yang mau menemani dan mendengarkan cerita tentang sakit ynag di deritanya sehingga dengan psikis yang menyenangkan maka otomatis akan meningkatkan daya imunitas tubuh pasien.

Selama saya menjadi koordinator non medis tim shelter tanggon ada banyak cerita yang bisa saya tuliskan:

Ada seorang pasien yang baru datang ke shelter, mungkin selama hidupnya serba kecukupan dan selalu dimanja. Baru datang ke shelter, sedikit-sedikit protes  sedikit-sedikit protes. Baru datang ke shelter katanya sudah tidak betah dan sudah minta pulang. Ada juga pasien yang nangis-nangis. Ada juga sepasang suami istri. Istrinya minta pulang dengan cara berguling-guling di halaman. Kemudian dilakukan mediasi antara suami istri tersebut dengan tim sheter tanggon untuk mencapai kesepakatan bersama, dan akhirnya disepakati untuk isolasi mandiri di rumah sendiri.

Tetapi ketika ambulan datang untuk menjemput mereka berdua pulang, istrinya tidak mau pulang, aneh kan?. Ada juga pengalaman saya ketika menangani penyintas yang mengalami gangguan psikis (depresi, benar-benar cukup menguras tenaga dan pikiran, karena sulit untuk mengkomunikasikannya.

Hal terberat yang saya rasakan adalah ketika mendengar informasi (laporan) dari tim medis tentang pasien  shelter yang saturasinya dibawah 95. Serasa tidak  bisa tidur, walaupun hanya sekedar mendengar informasi.

Walaupun standar operasional prosedur masuk shelter hanya untuk pasien terkonfrimasi positif dengan gejala ringan atau tanpa gejala. Dan untuk pasien terkonfirmasi positif dengan gejala berat atau kormobit harusnya di rujuk ke RS rujukan khusus Covid-19 yang sudah ditentukan oleh pemerintah daerah. Tetapi dalam praktiknya ada juga pasien Covid-19 yang memiliki kormobit dan bergejala berat memaksa masuk ke shelter, dengan pertimbangan kemanusiaan shelter tanggon  dengan berat  hati menerima pasien tersebut.

Ada pengalaman yang kurang mengenakan, ketika suatu maghrib saya ikut homevisit ke rumah pasien yang isolasi mandiri di rumah, namanya Pak Teguh. Setelah menjalani pemeriksaan tanda-tanda vital suhunya cukup tinggi yaitu 39 derajat, saturasinya menurun terus, kondisinya semakin memburuk akibat pikirannya tidak tenang. Keesokan harinya, belum ada kabar yang menggembirakan. Dan akhirnya, siang harinya meninggal dunia. Rasanya sedih sekali hati ini. Sejak kejadian hari itu, rasanya agak malas untuk pergi ke shelter, bayang-bayang Pak Teguh selalu menghantui saya.

Satu hal yang membuat saya dan beberapa pamong Kalurahan Panggungharjo terkait jalannya shelter tanggon agak kecewa. Namanya Shelter Tangguh Kapanewon Sewon disingkat Shelter Tanggon, yang notabene milik empat kalurahan yaitu Kalurahan Timbulharjo, Panggungharjo, Pendowoharjo dan Bangunharjo, tetapi mengapa yang aktif mengurusi manajemen shelter tanggon koq hanya Kalurahan Panggungharjo saja, tiga kalurahan lainnya kemana?. Ibarat kerja sama tidak jalan sama sekali.

Ada cerita lucu dari salah seorang pamong Kalurahan Panggungharjo. Saya dan teman-teman pamong sempat memperhatikan salah satu pamong yang ketika rapat koordinasi sempat menciumi rokok berkali-kali. Kebetulan anaknya terpapar positif Covid-19. Kemudian beberapa teman sempat menanyakan kepada saya, tentang keberadaan salah satu pamong tersebut. Tetapi ia tidak menampakkan batang hidungnya. Suatu hari, ketika bertemu di shelter tanggon ia bercerita bahwa waktu itu sempat hilang penciuman rasa, tetapi tidak mau tes swap.

Senangnya ketika ada beberapa penyintas Covid-19, setelah sembuh banyak yang mengirimkan buah-buahan dan makanan, sambil diberi catatan khusus untuk nama yang dikirimi tersebut. Termasuk nama saya pernah dituliskan oleh penyintas Covid-19 yang telah sembuh. Jadi hubungan kami dengan para penyintas sangat baik.

Terkait cerita mistis yang saya alami ketika berada di shelter tanggon adalah saya pernah mencium bau bunga melati di pintu gerbang shelter. Saya merasakan aura mistis di ruang oksigen, terasa singup dan lembab. Ada juga cerita dari relawan yang sempat kesurupan atau kerasukan makhluk yang tidak kasat mata.

Satu lagi menurut saya yang perlu redifinisi kata relawan. Relawan seharusnya menolong sesama dengan semata-mata karena ibadah kepada Allah SWT. Ikhlas lillahi ta’ala, tanpa ada pamrih apapun. Bukan untuk tujuan yang lain-lainnya (JNT).

Referensi :

Agung Prananto (Ulu-Ulu Kalurahan Panggungharjo).

Tentang Junaedi

Penulis esai. Penulis Buku Cuitan Wong Ndeso. Bekerja sebagai staf PSID, yang membawahi PCL.

Baca Juga

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X