Kebencanaan

Hal Terpenting di Dunia ini adalah “Kemanusiaan”

Oleh

pada

Saya seorang pemuda desa berusia 24 tahun yang kebetulan tinggal di Panggungharjo, Kapanewon Sewon, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Saya adalah salah satu pemuda dari mungkin ratusan pemuda lainnya yang diberi kesempatan untuk belajar banyak hal atas apa yang sudah dan akan dilakukan oleh desa juara nasional tahun 2014 ini. Kebeulan saya diberi amanah sebagai direktur BUMDes Panggung Lestari yang merupakan satu dari sepuluh lembaga desa lainnya yang ada di Panggungharjo.

Pada pertengahan bulan Juni, saat melonjaknya gelombang kedua Covid-19 yang hampir dialami di berbagai tempat di Indonesia sekali lagi Panggungharjo bergerak cepat dalam penanganannya dengan kembali digerakkannya secara massif Panggung Tanggap Covid-19 atau biasa kami sebut PTC-19 yaitu gugus tugas yang dibentuk untuk merespon adanya dampak penyebaran pandemi Covid-19.

Pertengahan Juni 2021 Pemerintah Desa Panggungharjo bersama perwakilan dari lembaga-lembaga desa melaksanakan rapat koordinasi untuk membahas langkah strategis yang harus dilakukan untuk merespon melonjaknya gelombang kedua pandemi Covid-19 ini. Salah satu hasil rapat koordinasi tersebut memutuskan didirikannya shelter desa untuk dijadikan tempat isolasi bagi warga desa yang tidak mungkin melakukan isolasi mandiri di rumah karena ada anggota keluarga lain yang rentan tertular atau karena memang fasilitas di rumah sangat terbatas dengan Pak Ali Yahya yang juga merupakan Kasie Pemerintahan (Jaga Baya sebutan Kaistimewaan ) sebagai koordinator shelter serta diputuskan SMK 1 Sewon sebagai bangunan yang akan digunakan sebagai shelter tersebut.

Berbagai persiapan pun dilakukan dengan seksama dari mulai kebutuhan infrastruktur, administrasi, sampai dengan sistem informasi yang akan digunakan untuk memonitoring kondisi pasien yang menginap di shelter selama masa isolasi. Shelter desa SMK 1 Sewon ini dalam pelaksanaannya juga dikolaborasikan dengan tiga desa lainnya yang ada di Kecamatan Sewon. Sehingga dalam perjalanannya shelter ini tidak hanya menampung warga Desa Panggungharjo saja tetapi juga warga Desa Timbulharjo, Pendowoharjo, dan Bangunharjo.

Pada awal pengelolaanya shelter ini terdiri dari beberapa tim yang bertugas sesuai dengan perannya dari mulai tim medis, tim non-medis, tim sekretariat dan tim logistik. Namun terdapat satu tim yang menurut saya unik, kami menyebutnya tim “garuda 1” berisi beberapa pengurus shelter yang hampir setiap hari ada di shelter bahkan lebih banyak waktu dihabiskan di shelter daripada di tempat kerjanya ataupun di rumah. Tim garuda 1 ini berisi mas Dukuh Garon dari sekretariatan, mas Dukuh Jaranan dan pak Bimo dari tim medis, mbak Silvy dari FPRB, pak Jamil dan mas Koko dari tim media, mas Dani dari tim teknologi dan infomasi, serta saya sendiri dari tim logistik.

Garuda 1 dihubungkan dengan grup WA yang cenderung digunakan untuk sambatan selain juga digunakan untuk koordinasi di shelter. Tentu saja ada sambatan dari kawan-kawan relawan shelter yang memang pada awal pengelolaannya baru sedikit sekali relawan yang bergabung sehingga setiap orang bisa saja mengerjakan banyak pekerjaan. Tetapi luar biasanya semangat dari tim garuda 1 terus menggelora sampai pada akhirnya shelter ini dinonaktifkan sementara sampai hari ini karena kasus Covid-19 sudah mulai menurun. Semangat ini muncul salah satunya dari betapa gigihnya perjuangan relawan tanpa lelah yang terus berusaha semaksimal mungkin untuk “ngopeni” pasien-pasien Covid-19 baik yang isolasi di shelter maupun yang melakukan isolasi mandiri.

Ada beberapa cerita dimana saya begitu dibuat semangat olehnya, salah satunya yaitu pada 5 Juli hari senin sekitar jam 10 malam. Saat itu saya sedang menjaga pos sekretariat bersama mas Dukuh Garon yang menyaksikan langsung tim medis saat itu sedang memantau pasien Covid-19 yang mengalami gejala dan sudah memakai seragam hazmat 2 jam lamanya. Tiba-tiba saat akan melepaskan hazmat yang membuat orang berkeringat dan kepanasan karenanya itu ada panggilan pasien Covid-19 isolasi mandiri di rumah dari warga Bangunharjo yang mengalami sesak nafas dan membutuhkan supply oxygen, dengan sigap dan tanpa istirahat tim medis yang belum sempat melepaskan hazmatnya meluncur ke rumah warga tersebut dengan segala keterbatasannya. Satu setengah jam kemudian tim medis tersebut baru kembali dengan ekspresi lesu dan penuh lelah. Saat itu relawan medis hanya terdiri dari lima orang saja yang terbagi ke dalam tiga shift dan menjalankan tugasnya setiap hari tanpa henti. lima pejuang itu adalah pak Lurah Panggungharjo, dokter Laras dari puskesmas sewon 1, pak Bimo, mas Dukuh Jaranan, dan mbak Silvy dari FPRB.

Cerita lainnya yang tak kalah membuat saya terenyuh dan begitu berkesan saat menjadi relawan di shelter SMK 1 Sewon sampai saat ini adalah ketiga pada suatu malam melihat keasyikan anak-anak penghuni shelter bermain dengan riangnya. Saat itu ada satu keluarga yang juga terdapat anak-anak kecil didalamnya. Pada malam hari yang sunyi tiba-tiba terdengar suara penuh tawa dari anak-anak kecil yang sedang bermain dengan sederhananya, mereka gembira di tengah sulitnya keadaan yang mereka alami. Kedua anak ini bermain dengan riangnya dan tanpa beban hal tersebut seolah menampar saya yang selalu sambat dengan pasien Covid yang terus meningkat. Saya hanya bisa menyapa mereka dari kejauhan dan seakan-akan ikut bermain dengan mereka.

Kejadian-kejadian yang terjadi dan bahkan disaksikan sendiri ini yang membuat saya dan para relawan lainnya tidak kehilangan semangat untuk terus berjuang melawan keadaan ini. Namun satu-persatu dari kami tumbang, setidaknya ada tiga pengurus shelter yang juga terinfeksi Covid-19 padahal kami sudah menerapkan protokol kesehatan seketat dan sebaik mungkin tapi apalah daya sebagai garda terdepan tentunya resiko yang diterima juga sangat tinggi dan dengan tiga kawan kami yang tumbang membuktikan bahwa inilah harga yang harus dibayar.

Pengelolaan shelter sempat terjadi perubahan yang cukup signifikan akibat beberapa relawan shelter yang tumbang dan juga mulai banyaknya relawan yang menyediakan waktu dan tenaganya untuk bergabung. Dengan demikian seolah cerita barupun dimulai. Pada 20 Juli 2021 setelah makan siang bersama dengan tongseng kambing hasil qurban orang baik yang membagikan daging qurbannya untuk relawan dan pasien yang berisolasi di shelter, seluruh relawan shelter berkumpul untuk mengadakan rapat koordinasi lanjutan membahas perubahan struktur kepengurusan yang baru.

Saya masih berada di tim logistik yang dibantu dengan beberapa relawan lainnya. Tim logistik bertanggungjawab atas ketersediaan makan pasien dan relawan, obat-obatan, ketersediaan oksigen, kebutuhan laundry, ketersediaan bed, APD dari mulai hazmat, masker, sarung tangan lateks, isolasi kertas, faceshield, sampai dengan cairan desinfektan, serta kebutuhan-kebutuhan lainnya. Tim logistik juga bertanggungjawab atas pengelolaan aset yang dimiliki serta bantuan-bantuan yang diterima oleh shelter baik berupa uang maupun barang.

Ada satu kejadian yang masih terngiang-ngiang sampai sekarang yaitu pada saat ada salah satu pasien perempuan yang membutuhkan pembalut segera, karena saat itu tim logistik yang berada di shelter hanya saya sendiri oleh karenanya saya lah yang berangkat ke toko kelontong terdekat untuk membelikan pembalut setelah diberitahu ukuran dan merknya. Sesampainya di warung tersebut ternyata ada dua variasi pembalut yaitu pembalut yang bersayap dan  tidak bersayap. Ditengah-tengah kebingungan itu saya memilih pembalut yang bersayap karena berfikir fiturnya akan lebih banyak daripada pembalut yang tidak bersayap. Saya pun belum pernah melihat wujudnya seperti apa. Sesampainya di shelter ternyata pilihan saya salah dan harus kembali ke toko yang berbeda karena malu sama mbak-mbak penjualnya. Haha!!!

Satu lagi cerita yang muncul di tim logistik. Saat itu saya baru saja pulang dari shelter sekitar jam 11 malam sesampainya di rumah ternyata ada pesan masuk dari salah satu tim medis yang membutuhkan obat diare karena salah satu pasien mengeluhkan diare. Belum sempat rebahan saya langsung berangkat kembali untuk membelikannya di apotek terdekat. Sialnya beberapa apotek terdekat sudah tutup dan harus mencari apotek lain yang masih buka hingga pada akhirnya mendapatkan obat yang dimaksud dan langsung diberikan kepada pasien.

Tim logistik ini terdiri dari empat orang, dua orang diantaranya berhenti di tengah-tengah keriwehan dan tidak dapat melanjutkan perjuangan karena terinfeksi Covid-19 sehingga harus menjalankan isolasi. Namun salah satunya melakukan isolasi di shelter sehingga justru memudahkan relawan dalam memantau pasien-pasien yang bergejala sedang maupun berat. Sebenarnya shelter tidak difungsikan untuk pasien Covid yang bergejala berat karena keterbatasan tim medis dan alat yang dimiliki namun karena beberapa rumah sakit rujukan Covid saat itu memang sudah penuh sehingga tidak dapat menampung pasien lagi sehingga dengan terpaksa pasien bergejala berat  juga dirawat di shelter desa ini. Tetapi kita selalu berkoordinasi dengan pihak puskesmas sewon 1 dan 2 untuk mendaftarkan pasien bergejala berat yang melakukan isolasi di shelter agar dapat mendapatkan rujukan di rumah sakit.

Selain bertugas di tim logistik, saya juga beberapa kali membantu tim medis karena pada saat itu ada dua tempat yang membutuhkan bantuan dengan membawa APD lengkap saya dan Pak Bimo meluncur ke lokasi. Ternyata saat itu yang membutuhkan bantuan adalah warga Pendowoharjo. Keluarga pasien menghubungi petugas shelter untuk mengecek kondisi pasien yang tiba-tiba pingsan setelah menjalankan sholat isya’.  Sesampainya di lokasi ternyata pasien tersebut sudah bersuhu badan sangat dingin dan tidak ditemukan detak jantung. Setelah berkonsultasi dengan dokter dan memastikan kematian pasien kami memberi tahu kepada keluarga pasien yang sangat terpukul atas kematian pasien. Dengan sangat berat saya ikut berbela sungkawa dan atas kematian pasien, semoga khusnul khotimah dan amal ibadahnya di terima disisi Allah SWT.

Banyak hal yang saya dapatkan dari pengalaman menjadi relawan di shelter desa SMK 1 Sewon ini. Namun ada satu hal yang dapat saya simpulkan dari pengalaman luar bias ini, bahwa hal terpenting dari segala apapun itu adalah kemanusiaan. Cerita-cerita yang saya utarakan di atas hanya sedikit bagian dari perjuangan-perjuangan yang telah dilakukan oleh relawan-relawan tangguh yang peduli dengan kemanusiaan. Atas dasar itu saya tidak pernah menyesal menjadi bagian dari relawan Panggung Tanggap Covid-19 dan begitu sangat bersyukur atas apa yang saya dapatkan. Semoga ini menjadi pembelajaran penting bagi kita semua dan semoga Indonesia selalu sehat dan baik-baik saja (JNT).

Referensi :

Ahmad Arief Rohman (Direktur Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Panggung Lestari Kalurahan Panggungharjo).

Tentang Junaedi

Penulis esai. Penulis Buku Cuitan Wong Ndeso. Bekerja sebagai staf PSID, yang membawahi PCL.

Baca Juga

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X