Seni Budaya

Jagongan Selapanan #2 : Arsitektur Bangunan Jawa Melihat Ulang Tata Ruang yang Selaras Alam Hidup Orang Jawa

pada

Mengupas tentang arsitektur Jawa, ternyata tidak bisa tuntas dalam durasi dua jam, dalam Jagongan Selapanan #2, yang diadakan oleh Kalurahan Panggungharjo bekerja sama dengan PT. Pegadaian Persero Tbk, dengan mengambil tema ‘Arsitektur Bangunan Jawa, Melihat Ulang Tata Ruang yang Selaras Alam Hidup Orang Jawa’ pada 29 Januari 2022, pukul 15.00 sampai 17.00 WIB, di Balai Budaya Karangkitri Kalurahan Panggungharjo.

Baru mengupas tentang bangunan joglo saja, waktunya sudah habis. Ternyata banyak pengetahuan—yang diamini oleh peserta jagongan tematik—tentang rumah orang Jawa yang menarik dikaji dari banyak perspektif. Sebagai pemantik, Ki Herman Sinung Janutama memancing peserta jagongan dengan mengawali bercerita tentang bangunan joglo dengan cagak bernama saka (empat tiang utama pada bangunan tradisional Jawa).

Dua saka yang belakang, menurutnya, biasanya terbuat dari kayu jati. Kemudian, yang depan terbuat dari kayu nangka dan kayu sukun. Kayu nangka mempunyai makna simbolik minangkani. Sedangkan, kayu sukun mempunyai fungsi untuk mengancing karena kerapatannya berbeda sehingga membuat kontruksi lebih lentur. Oleh karena itu, rumah zaman dahulu tidak hanya kokoh, tetapi juga memperhatikan kelenturan kayu.

Biasanya, orang zaman dahulu ketika membuat joglo menunggu ada angin yang kencang agar sampai terdengar bunyi ‘krek’ sebagai penanda bahwa sambungan antar-kayu saling mengancing. Jadi, apabila terjadi gempa tidak akan roboh, malah sudah lentur.

Dalam setiap saka, kayu bagian bawah yang kecil yang dinamakan purus dimasukkan ke ompak. Bawah purus diberi dua koin agar purus tidak mengancing, kalau mengancing purusnya bisa patah. Biar purusnya bisa geser-geser dan tidak patah. Konsep gendheng pada zaman dahulu sebelum tahun 1933 berupa gerabah (sirap), kemudian setelah tahun 1933 sudah berubah menjadi gendheng biasa. Tetapi kelemahan gendheng biasa adalah pasti bocor.

Sementara Wahyudi Anggoro Hadi, memantik bahwa bagian rumahnya sebelum gempa meliputi: pringgitan, omah tengah, senthong (kiwa, tengah, tengen), gandok, longkangan, kolah dan sumur serta pawon. Setelah gempa bangunan itu berubah semua. Ketika gempa sentongnya tidak ambruk. Setelah diamati atapnya tidak ambruk karena atapnya berupa empyak (raguman bambu).

Orang Jawa dahulu dalam membuat joglo justru yang perlu diperhatikan adalah suara, untuk peredam suara adalah tanah pasir. Termasuk dalam memboyong joglo harus mengikutsertakan satu genggam tanah setempat, untuk menyesuaikan frekuensi di tempat yang baru. Jika tidak satu frekuensi joglonya bisa jadi tidak berumur lama. Dan bisa juga berpengaruh kepada penghuninya, misalnya akan mengakibatkan penghuninya sakit-sakitan terus menerus secara turun temurun. Pada zaman dahulu sangat arsitektur Jawa sangat peduli dengan aksesibilitas penyandang disabilitas, misalnya bangunan Limasan lantainya hampir rata dengan tanah.

Zaman dahulu tiap saka dibungkus kain, fungsi sebagai tulak bala. Menurut ilmu fisika kain berfungsi supaya peret (tidak licin). Orang Jawa dalam membuat rumah selalu dipikirkan soal akses kepada leluhur, akses kepada alam, akses kepada langit. Omah itu mengandung makna obah mosiking lemah, obat mosiking manah dan obat mosiking Gusti Allah. Fungsi sesajen sebagai sangganya supaya obah mosiking lemah, obah mosiking manah dan obat mosiking Gusti Allah ini terhubung antara ketiganya.

Dalam bangunan joglo dalam atap biasanya dapat kita jumpai model tumpang sari. Ini dimaksudkan untuk menyangga, saling menguatkan. Kenapa tumpang sari diletakkan di atap supaya tidak bertumpu pada bagian bawah joglo, tetapi disebar di atap-atapnya.

Soal serat kayu juga menjadi penting jadi jangan sampai terbalik. Kayu yang digunakan untuk membuat rumah, menurut orang Jawa zaman dahulu pohonnya tidak boleh menimpa binatang, tidak boleh menimpa korban. Filosofinya kayu tersebut sebelum digunakan untuk membuat rumah saja sudah membuat celaka apalagi nanti kalau sudah dijadikan rumah.

Rumah Jawa ada pekiwan dan tidak ada penengen. Pekiwan merupakan bahasa Jawa secara umum, tetapi menurut bahasa Kawi adalah kereng. Kereng berarti kairing (menyertainya). Sebetulnya itu hukum listrik, bahwa pekiwan adalah arah berputar listrik ke kiri berputar terus hingga akhirnya sampai ke atas. Filosofinya, adalah agar ketika kita berdoa apa saja dari rumah kita bisa sampai ke atas (Gusti Allah).

Bahwa Den Baguse Ngarso yang sendiri yang pada sore itu bertindak sebagai moderator, mengakui bahwa hal-hal yang menarik yang belum diketahui sebelumnya, dan seperti tidak percaya bahwa peradaban Jawa yang begitu detailnya. Padahal masih banyak arsitektur Jawa selain joglo, masih ada limasan, kampung dan lain sebagainya.

Di akhir acara Jagongan Selapanan #2 sore itu, sekaligus diadakan peluncuran buku Potret Wajah Panggungharjo karya 19 mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama dari tiga program studi Akuntansi, Manajemen dan Agribisnis yang sedang melakukan laboratorium sosial di Kalurahan Panggungharjo.

Buku Potret Wajah Panggungharjo juga merupakan project buku pertama dari Wahyudi Ahadi Imprint dan Panggungharjo Creative Library bekerja sama dengan LPPM Universitas Nahdlatul Ulama. Selamat dan sukses, apresiasi sebesar-besarnya untuk semua tim tak terkecuali Pandiva Media Network, Jogjadaily.com dan semua yang sudah mewujudkan buku Potret Wajah Panggungharjo di penghujung Januari 2022.

Semoga dapat memacu Imprint-imprint Jogja yang lainnya. Sehingga gerakan literasi di Daerah Istimewa Yogyakarta semakin gayeng. (JND)

Tentang Eka Birawan

kadang kesendirian lebih berharga, ketimbang kebersamaan yang tidak independent

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X