Tokoh

Sekapur Sirih KH. Zainal Abidin Munawwir

pada

KH. ZAINAL ABIDIN MUNAWWIR BIN KH. MUHAMMAD MUNAWWIR BIN KH. ABDULLAH ROSYAD BIN KH. HASAN BASHORI
Jurnalis Warga ( Krapyak Desa Panggungharjo) – Al Maghfurlah KH. Zainal Abidin Munawwir (atau demikian para santri menyapa dengan Mbah Zainal) adalah putra ke 9 dari 11 bersaudara KH. Moenawwir bin KH. Abdullah Rosyad dengan Ny. Hj. Khodijah (Sukistiyah). Beliau lahir pada hari Sabtu Pahing jam 17.30 tanggal 18 Jumadil Akhir tahun Za / 31 Oktober 1931 M / 18 Jumadil Akhir 1350 H/1862. Beristrikan Ny. Hj. Ida Fatimah binti KH. Abdurrahman dari Bangil, Pasuruan, Jawa Timur. Dan mempunyai 3 orang putra-putri yang bernama Agus Muhammad Munawwir, Agus Khoiruzzad dan Ning Khumairo’.

Tumbuh dan besar dalam lingkungan pesantren, usai ditinggal oleh ayahandanya dalam usia baligh, beliau dididik secara khusus oleh guru sekaligus kakaknya, KH. Ali Maksum (suami Nyai Hj. Haysimah Munawwir) yang saat itu merupakan pengasuh Pondok Pesantren Krapyak bersama saudaranya yang lain. Masa remajanya dilalui seperti halnya remaja-remaja lain. Sekolah SR, SMP, SMA dan juga pernah sekolah di UNU, Surakarta. Hanya saja tidak sampai selesai. Beliau tidak pernah mondok diluar Krapyak, tetapi mengaji dengan KH. Ali Maksum. Yang kemudian dikader oleh KH. Ali Maksum untuk mengajar (asisten) yang menitik beratkan pada pelajaran fiqih, tasawwuf, dan aqaaid. Seluruh hidupnya, didedikasikan untuk tumbuh berkembangnya pesantren Krapyak.

Sepeninggal KH. Ali Maksum pada tahun 1989, beliau menggantikan sebagai pengasuh Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak. Pada periode beliau, Pondok Pesantren Krapyak mengalami kemajuan yang sangat pesat. Dengan tetap berpedoman pada tradisi salaf, lembaga pendidikan yang didirikan oleh beliau adalah Madrasah Salafiyayah II dan perguruan tinggi ilmu salaf Al Ma’had Al ‘Aly.

Banyak kenangan dan kesan tentang kepribadian kiai berkharisma tinggi ini, beliau adalah kiai yang sangat ketat memegang teguh fiqih Madzab Syafi’i. Apa yang menurut beliau benar, beliau tidak pernah ragu untuk melakukannnya, termasuk jika harus berbeda dengan mayoritas ulama yang lain. Tak kurang pujian dan pengakuan atas keilmuan disematkan oleh Rais ‘Am Nahdhatul Ulama KH. Ali Maksum yang tak lain adalah kakak dan guru beliau sendiri. “Zainal iku kiai Ampeg, Spesial Fiqh 4 Madzhab “. Mbah Ali pun konon sering berdiskusi dengan Mbah Zainal perihal persoalan fiqih.

Mbah Zainal adalah sosok seorang kyai yang ‘alim yang memiliki beberapa haliyah yang belum tentu dimiliki orang lain, diantaranya :

1. Tawadhu’. Di saat sakit yang sudah sedemikian parah, untuk gerak sedikit saja atau bahkan untuk batuk saja badan terasa sakit, KH. Zainal Abidin Munawwir masih meminta kepada yang menjenguknya agar mau memaafkan beliau dan jangan lupa mensholatinya saat beliau meninggal, padahal tidak dimintapun tentu banyaklah yang ingin mensholatinya. Disamping itu, ketika menghadiri pertemuan-pertemuan dengan para kyai di luar daerah sering tidak menampakkan ke-kyai-annya dengan cara hanya mengenakan kopyah hitam.

2. Istiqomah. Semua kegiatan yang beliau jalankan baik di lembaga maupun majlis ta’lim yang beliau dirikan (Salafiyyah, Ma’had ‘Aly, pengajian tiap malam Sabtu Wage, dan pengajian IKAPPAM tiap malam Ahad Wage), beliau tidak pernah mengeluh. Mbah Zainal sangat memperhatikan pendidikan dimana beliau sangat istiqomah dalam mengajar, memberi contoh kepada santri-santrinya. Anti Libur adalah sebutan untuk keistiqomahan beliau dalam mengajar, meskipun dalam keadaan apapun, muridnya berapapun beliau tetap mengajar, kecuali sudah benar- benar tidak mampu lagi. Beliau sangat suka kepada santri yang rajin mengaji, bukan santri yang rajin bekerja. Karena itu beliau sangat kecewa ketika ada santri yang tidak disiplin belajar. Beliau juga selalu memuthola’ah dahulu pelajaran yang akan disampaikan kepada santri-santri, dengan begitu beliau selalu menjawab dengan dasar hukum (rujukan yang diambil dari kitab-kitab). Contoh ketika Ibu Nyai pernah menanyakan sesuatu dan beliau belum pernah mendengar, maka beliau akan mencari rujukan dahulu. Setelah menemukan rujukannya, baru kemudian menyampaikan jawabannya kepada Ibu Nyai. Termasuk keistiqomahannya dalam mengimami sholat jama’ah 5 waktu juga hampir tidak pernah absen, kecuali jika sedang bepergian yang memang harus beliau lakukan atau sedang sakit, maka beliau menunjuk seseorang untuk mengimaminya.

3. Ikhlas. Dari sekian waktu beliau mengajar setiap hari mulai ba’da subuh hingga larut malam, beliau tidak pernah mau menerima bisyaroh. Bahkan isteri beliau yaitu Ibu Nyai Hj. Ida Fatimah ditegur beliau karena di awal-awal mengajar (karena tidak tahu) diberi bisyaroh oleh bendahara madrasah pada saat itu.

4. Berpendirian teguh dan sangat berhati-hati dalam masalah hukum. Sering ketika mendapatkankan pertanyaan tidak langsung menjawab (kalau memang belum mengerti), tetapi beliau menjanjikan untuk mencarinya terlebih dahulu. Contoh ketika Ibu Nyai pernah menanyakan sesuatu dan beliau belum pernah mendengar, maka beliau akan mencari rujukan dahulu. Setelah menemukan rujukannya, baru kemudian menyampaikan jawabannya kepada Ibu Nyai. Dan jika ada dua atau beberapa qaul maka beliau mengambil qaul yang paling shahih, sekalipun qaul itu lebih berat dan sekalipun dianggap aneh oleh orang lain.

5. Senantiasa menjaga selamatnya aqidah dan sahnya ibadah ummat Islam, diantaranya :

a. Beliau menulis sebuah risalah dan menjelaskan kepada masyarakat tentang larangan percaya dengan adanya ramalan. Hal ini dilakukan pada waktu ada seorang tokoh masyarakat yang mengatakan akan ada musibah dan tokoh tersebut memerintahkan hal-hal yang tidak masuk akal untuk menolak musibah tersebut.

b. Pada waktu Ibu Nyai ( istri mbah Zainal ) matur (menyampaikan -red) bahwa toko yang dituju sedang tutup maka beliau bertanya,”lha ngapa kok tutup?” (kenapa kok tutup?-red), lalu ibu nyai matur kalau hari itu hari besar. Lalu mbah Zainal bertanya,”hari libur apa?”, ibu nyai matur hari Waisak. Mendengar jawaban itu kontan mbah Zainal melarang dengan nada keras dengan mengucapkan, “huss”.

c. Beliau mengirim surat kepada KPU agar memberi kelonggaran kepada ummat islam untuk tidak mencelupkan jari ke tinta setelah memberikan hak suaranya dalam pemilihan umum, karena hal itu akan mengakibatkan tidak sahnya bersuci (berwudhu).

Mbah Zainal termasuk ulama yang produktif dalam menulis kitab, ada belasan kitab-kitab karya beliau antara lain Tarikhu al Hadharah Al Islami, Al Furuuq, Al Muqthathafat, Ta’rifu Ahlissunnah Wa Al Jama’ah , Wadhaifu Al Muta’allim, Gharib Al Nadlir Bi Kasyf Min Mas’uliyat Al Muta’allim Bahtsan Fighiyyan, Kitabus Shiyam, Manasik Haji, Majmu’ur Rasa’il, Ahkamul Fiqhi, dan Al Insya’ . Namun, memang tidak sempat dipublikasikan secara luas, hanya dikaji di kalangan santri Pondok Pesantren Krapyak saja. Beliau terkenal sebagai ulama yang ahli ilmu qiraat Al Qur’an dan dijuluki sebagai ulama ahli fiqihnya daerag Yogyakarta di masa sekarang.

Ketika dulu ingin naik haji, Mbah Zainal Abidin Munawwir menabung segobang demi segobang. Berapapun yang terkumpul setiap tahun, beliau menzakatinya, walaupun belum mencapai nishob. Mbah Ali Maksum, kakak ipar dan gurunya, terkekeh-kekeh mendengar laku yang demikian itu.
“ Itu fiqih model apa?,”beliau meledek.
Dengan mesem (yang hingga kini jarang terlihat beliau tertawa hingga kelihatan giginya), yang diledek hanya bergumam,
” Yah … siapa tahu yang begini ini lebih disukai Pengeran…”.
Mbah Ali Maksum jelas hafal tingkah adik ipar sekaligus anak muridnya itu.
“Zainal itu adikku yang paling antik!,”Kata Mbah Ali, setengah bergurau,
“ Dia itu cagaknya langit. Selama dia masih ada, nggak bakalan kiamat!”.

KH. Zainal juga pernah satu periode menjadi anggota DPRD Kabupaten Bantul, wakil dari Partai Nahdhatul Ulama. Selama itu, beliau wira-wiri ke kantor tiap hari dengan sepeda onthel tua miliknya. Beliau juga tidak mau mengambil gaji bulanannya maupun uang apapun dari DPRD itu, karena menganggapnya syubhat. Beliau ngotot mengandalkan nafkah hanya dari telur sejumlah bebek yang dipeliharanya.
“Karena Kang Zainal nggak mau, ya aku yang ngambil gajinya,”kata Kyai Ahmad Warson Munawwir, adik Mbah Zainal, sambil senyum-senyum menikmati kenangannya.
“Waktu itu Kang Zainal belum kawin,” Mbah Warson menyambung,
”Sedangkan aku pengantin baru. Jadi…aku yang kawin, Kang Zainal yang menafkahi!”.

Sebelum beliau wafat, beliau sakit selama 8 hari dan dirawat di RS Sardjito ruang Kusumawijaya, kemudian dirawat dirumah selama 12 hari. Dalam keadaan sakit pun beliau tetap mengajarkan ilmu seperti cara berwudhunya orang yang sakit. Karena kehati-hatian beliau dalam hal ibadah, selang infus dipasang di lengan bagian atas(bukan anggota wudhu). Karena kewira’ian beliau beberapa tahun terakhir ini beliau tidak makan yang bernafas seperti ayam, ikan dll. Bukan karena mempunyai penyakit, tetapi karena mengurangi kenikmatan dunia, supaya ditambah kenikmatan di akhirat kelak. Bahkan hasil pemeriksaan laborat, semua dokter mengatakan bahwa beliau tidak mempunyai penyakit. Menjelang kewafatan beliau, santri-santri mengadakan muqoddaman (tadarus Al Qur’an) di kediaman beliau.

Beliau wafat pada hari Sabtu, 15 Februari 2014 /15 Robi’ul Akhir 1435 H pukul 18.30 WIB dalam usia 85 tahun dan dikebumikan pada pukul 14.00 WIB hari Ahad keesokan harinya di pemakaman Sorowajan, Pedukuhan Glugo, Desa Panggungharjo sesuai permintaan beliau sebelum meninggal . Seperti yang dituturkan Ibu Nyai Ida Fatimah,” Bapak tidak suka wasiat. Karena dirasa, wasiat itu memberatkan bagi yang diwasiati. Yang penting pokoknya jalan, Ma’had ‘Aly dan Salafiyyah dijalankan terus dan hal-hal yang baik diteruskan .”
** Disadur dari berbagai sumber. ( JUNAEDI )

Tentang Fajar Budi Aji

Hanya seorang yang beranjak tua dan terus mencoba untuk lebih dewasa tanpa menghilangkan rasa kekanak-kanakannya. "Urip Iku Urup" dan "Rasah Wedi Dirasani Karena Hidup Banyak Rasa" Dua motto andalan inilah yang dijadikan pegangan dalam menjalani kehidupan sehari-harinya.

Baca Juga

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X