Seni Budaya

Merawat Srawung Dalam Merti Dusun (Bagian II)

pada

Sambungan Merawat Srawung Dalam Merti Dusun (Bagian I)

Panggungharjo (Jurnalis Warga) – Salah satu kosmis relasi khas masyarakat Jawa agraris adalah syukur atas panen. Syukur atas panen, artinya secara luas sebagai syukur atas pangan yang merupakan salah satu sumber kehidupan utama manusia, syukur atas keseimbangan alam sehingga masih bisa menikmati hasil pangan, dan syukur atas masyarakat yang damai sehingga petani masih bisa menanam bahan pangan.

Di Kerajaan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat tempat Desa Panggungharjo berada, ada budaya khas terkait syukur ini yaitu Merti Dusun. Biasanya pada jaman dahulu, Merti Dusun sering disebut Bersih Desa (secara fisik maupun spiritual -red) atau juga sering disebut sebagai Sedekah Bumi dan berbagai sebutan lain sesuai konteks dan adat wilayah. Intinya adalah syukur atas pemberian Tuhan dan merayakannya dengan doa bersama dan makan bersama. Biasanya pula diakhiri dengan pagelaran wayang kulit semalam suntuk atau pagelaran kebudayaan Jawa lainnya. Tentu secara biaya Merti Dusun memungkinkan dilakukan nanggap wayang dan makan besar bersama dikarenakan penyelenggaraannya di waktu sehabis panen atau pada masa sedang banyak rejeki.

Sayangnya Merti Dusun semakin ditinggalkan seiring dengan perubahan masyarakat. Dari yang semula agraris menjadi tidak lagi agraris. Dari yang komunal menjadi individual. Keseimbangan ekologi alam dan harmoni hidup antar sesama manusia apapun perbedaannya pun menjadi tidak lagi penting. Ini tentu sinyal yang berbahaya bila parameternya kita sama-sama meyakini bahwa keutuhan keluarga-keluarga kecil dan kampung-kampung serta desa menjadi pilar utama dari kekuatan bangsa.

Inisiatif dari Pengelola Desa Budaya Bumi Panggung dan Pemerintah Desa Panggungharjo untuk mendorong adanya Merti Dusun di empat pedukuhan di Desa Panggungharjo patut diapresiasi. Apalagi judul yang diusung dari Merti Dusun yang kebetulan berturut-turut ini adalah Srawung. Srawung dalam bahasa Jawa artinya adalah bergaul, membangun relasi, berjumpa, mendekatkan diri dengan sesama, membangun persaudaraan, menjalin silaturahmi, dan sejenisnya yang semakna.

Srawung jelas mempunyai makna sangat mendalam, karena masyarakat Jawa dalam membangun relasi selalu dari hati ke hati. Esensi dari Merti Dusun dan relasinya dengan keseimbangan lingkungan alam serta harmoni sesama manusia terbungkus dalam kata Srawung ini. Refleksi tulisan panjang lebar di atas menjadi tidak berarti setelah muncul kata Srawung ini. Inisiasi dari Bumi Panggung dan Pemerintah Desa Panggungharjo ini nampaknya direspon dengan antusias oleh empat pedukuhan pada bulan September 2018. Sehingga tema yang diusung oleh masing-masing pedukuhan pun menjadi menarik dan penuh kekhasan.

Sabtu (1/9/2018), Pedukuhan Sawit yang fokus dengan Merti Kali (Sungai)-nya mengangkat tema tentang persoalan sampah. Warga memulainya dari titik sungai sebagai urat nadi kehidupan (air -red) dan titik parameter utama dari bersih tidaknya sebuah lingkungan. Dipilih oleh warga Pedukuhan Sawit adalah Kali Buntung sebagai titik merti. Sudah tersiar kabar pula bahwa Sabtu tersebut, pada pagi hari, akan diselenggarakan kerja bakti bersih Kali Buntung oleh warga. Ini menarik, karena warga tidak hanya bermain simbol, tetapi melakukan aksi nyata.

Kemudian siangnya, rangkaian Merti Kali dimulai. Dari pertunjukan seni oleh anak-anak Pedukuhan Sawit, kemudian dilanjutkan dengan Cokekan yang melantunkan tembang tentang asal-usul pedukuhan. Di tengah Cokekan ini, digelar sebuah Performance Art oleh pemuda dengan mengangkat tema tentang sampah dengan melibatkan patung sampah. Esok harinya, akan dilanjutkan dengan pertunjukan hiburan Jathilan.

Judul yang diusung sendiri yaitu “Srawung Sowan Mbah Buntung” (bersama-sama mengunjungi sungai buntung -red). Artinya warga Sawit sepertinya ingin menyampaikan pesan bahwa alam bila tidak pernah dipedulikan maka akan merugikan manusia. Sungai bila tidak pernah dibersihkan atau diperhatikan maka akan menyebarkan penyakit. Ruang kehidupan yang bersih secara spiritual mesti pula bersih secara fisik, sehingga tulisan “kebersihan adalah bagian dari iman” tidak lagi sekedar kata-kata.

Sabtu (8/9/2018), sebetulnya masih dalam suasana peringatan HUT RI ke-73, warga Pedukuhan Pelemsewu menggabungkan acara peringatan HUT RI ke-73 dengan Merti Dusun. Mengangkat judul “Srawung Sewu Sedulur” (persaudaraan hingga seribu saudara -red) nampaknya warga Pedukuhan Pelemsewu ingin mengingatkan kepada kita semua bahwa satu musuh itu terlalu banyak, sedangkan seribu saudara itu masih terlalu sedikit. Pesan perdamaian di sini terasa kuat sekali.

Apalagi pada hari Sabtu tersebut, warga Pedukuhan Pelemsewu menyelenggarakan kirab budaya dengan mengangkat tema “Lurah Pertama Panggungharjo”. Penulis belum membuka buku sejarah secara detail, tetapi sekilas bisa kita pahami bahwa lurah pertama Desa Panggungharjo berasal dari Pelemsewu. Ini menarik, sepertinya warga Pelemsewu ingin mengingatkan kita juga bahwa Desa (disimbolkan lurah pertama -red) yang masyarakatnya berlomba-lomba mencari perdamaian di tengah berbagai perbedaan adalah kunci majunya peradaban bangsa. Malamnya, disambung gelar seni budaya warga dilanjutkan dengan pagelaran wayang kulit semalam suntuk dengan dalang yaitu Ki Seno Nugroho. Bersambung ke bagian III. (SETOWIJAYA)

Tentang Fajar Budi Aji

Hanya seorang yang beranjak tua dan terus mencoba untuk lebih dewasa tanpa menghilangkan rasa kekanak-kanakannya. "Urip Iku Urup" dan "Rasah Wedi Dirasani Karena Hidup Banyak Rasa" Dua motto andalan inilah yang dijadikan pegangan dalam menjalani kehidupan sehari-harinya.

Baca Juga

1 Komentar

  1. Pingback: Merawat Srawung Dalam Merti Dusun (Bagian III) - Panggungharjo

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X